Segala serapah, hujat, sumpah, kutuk, dan kata atau istilah lain yang paling kasar dan keji sudah kita muntahkan dan lontarkan kepada para koruptor dan perilaku korupsi, tetapi korupsi dan koruptor tetap menjadi-jadi. Tampak tak berkurang, tak surut, dan tak beringsut. Beraneka tindakan hukum dan non-hukum juga sudah dilakukan untuk memberantas korupsi dan menangkapi para koruptor, tetapi fenomena korupsi makin kasat mata, perilaku korupsi terus meraja lela, dan para koruptor tetap putus urat malunya.
Beribu kajian dan analisis tentang korupsi juga telah dilakukan oleh berbagai pihak, tetapi rekomendasi-rekomendasinya tetap tak bisa membendung perilaku korupsi dan mencegah para koruptor. Mengapa? Ada apa dengan kita? Apakah kita memang masyarakat koruptif? Apakah kita memang menghidupi kebudayaan koruptif? Apakah korupsi memang bagian melekat (inheren) dalam kehidupan dan kebudayaan kita? Harus diakui, sebagian di antara kita memang membiarkan, malah menerima adanya korupsi sehingga para koruptor tak merasa terkucil secara sosial dan tak beroleh sanksi sosial.
Apakah hal ini pertanda kita masyarakat koruptif ataukah masyarakat yang sudah putus asa dan putus harapan akibat segala upaya pemberantasan korupsi tak mampu membersihkan atau membebaskan kita dari korupsi? Ataukah kita merupakan masyarakat yang sudah kehilangan sebuah idealitas dan imajinasi tentang masyarakat bebas korupsi? Tak heran, kita seperti menerima korupsi sebagai bagian dari kebudayaan kita. Secara empiris bawah sadar kita terkesan menjadikan korupsi sebagai bagian kehidupan dan kebudayaan kita. Benarkah demikian? Secara normatif, sesungguhnya korupsi merupakan baksil-baksil kehidupan dan kebudayaan yang menjadikan metabolisme kehidupan dan kebudayaan kita terganggu, bahkan sakit. Maka koruptor dapat kita katakan sebagai baksil atau benalu kehidupan dan kebudayaan kita.
Celakalah kita kini karena baksil itu telah menyerang sebagian besar organ kehidupan dan kebudayaan kita; benalu itu sudah meraja lela pada sebagian besar pohon kehidupan dan kebudayaan kita. Bahkan baksil atau benalu itu sudah menggerogoti jiwa kehidupan dan kebudayaan kita secara intensif sehingga sebagian besar di antara kita mendiamkan atau membiarkan korupsi beserta koruptor bergerak leluasa. Kehidupan dan kebudayaan kita pun terkesan imun alias kebal (tak sanggup merasa lagi) atas korupsi.
Tak pelak, kehidupan dan kebudayaan kita pun bagai mengidap “lumpuh layu” setiap berhadapan dengan kasus dan fenomena korupsi; tidak berdaya ketika berhadapan dengan koruptor; dan tak sanggup memberi perlawanan terhadap korupsi beserta koruptor. Karena itu, sebagian di antara kita yang melakukan tindak perlawanan terhadap korupsi selalu panik dan gamang setiap mendapat serangan balik dari koruptor. Tak heran, kita seperti menyaksikan kontestasi antara koruptor dan petugas pemberantasan korupsi dan pegiat anti-korupsi. Bahkan kita seperti melihat resistensi koruptor yang begitu kuat dan “di atas angin” terhadap para pemberantas korupsi dan pegiat anti-korupsi. Ketika kehidupan dan kebudayaan kita terasa “lembam” dan “majal” atau tak mampu memberikan dukungan terhadap usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dengan gigih dilakukan oleh para pemberantas korupsi dan pegiat anti-korupsi (yang bisa individual dan organisasional) kita sedang menyaksikan kehidupan dan kebudayaan yang sakit dan gering.
Kehidupan dan kebudayaan yang sakit dan gering adalah kehidupan dan kebudayaan yang tak sanggup membentangkan layar proyeksi dan antisipasi tentang idealitas dan imajinasi kehidupan yang dicita-citakan oleh para pemangku kebudayaan; kehidupan dan kebudayaan yang tak mampu mengontrol atau memberi sanksi kepada pemangku kebudayaan yang menyamping dari idealitas dan imajinasi kehidupan yang dicita-citakan; kebudayaan yang antar-lapisan, antar sub-sistem, dan antar-unsurnya tidak serasi dan saling mendukung, malah menimbulkan kontradiksi, paradoks, dan konfrontasi. Dalam kebudayaan yang sakit, yang membuat baksil atau benalu korupsi menyerang, bahkan merajalela, lapisan simbolik (norma, nilai), lapisan sosial (institusi sosial, etika sosial), dan dan lapisan material (ekonomi, teknologi) tak bekerja dan berjalan serasi dan saling mengisi, melainkan malah berbenturan, berkontradiksi, bahkan berkonfrontasi; subsistem gagasan, sosial, dan material saling bertolak belakang; unsur pengetahuan, seni, ekonomi, teknologi, dan lain-lain tidak bertautan secara kehesif atau padu, terlepas-lepas.
Dalam kebudayaan yang sakit kita akan berhadapan kebudayaan yang miskin, tertinggal, dan terasa renta. Dalam kondisi demikian sudah barang baksil-baksil atau benalu-benalu kebudayaan seperti korupsi dengan leluasa bisa bergerak dan berbiak. Kebudayaan seperti ini niscaya tak mampu mengatasi secara kuratif baksil atau benalu korupsi, apalagi mencegah secara preventif dan antisipatif korupsi. Kebudayaan seperti ini tak memiliki daya kuratif, preventif, dan antisipatif untuk mengatasi persoalan kebudayaan. Karena itu, wajar baksil korupsi terus berbiak dan menyebar dalam sendi-sendi kehidupan dan kebudayaan kita.
Dalam perspektif kebudayaan, untuk membunuh baksil-baksil korupsi di dalam kebudayaan harus dilakukan rejuvinasi, revitalisasi dan atau transformasi kebudayaan. Dalam usaha itu harus dilakukan upaya-upaya penyerasian, pemaduan, dan penautan antar-lapisan, antar-subsistem, dan antar-unsur kebudayaan. Ini tugas kita semua terutama para cendekiawan, akademisi, dan komunitas-komunitas masyarakat yang tercerahkan.