Sastra Untuk Kemanusiaan


Janji Kelud untuk Bapak

ilustrasi: budiono/jawa pos

FEBRUARI 1990. Malam menjelang. Hawa panas menyeruak. Kentong langgar bertalu-talu.

Di mbale* rumah, puluhan warga telah berkumpul. Duduk berjejal-jejal, beralas daun kelapa. Mereka percaya rumah pertama di pedukuhan ini laksana benteng kukuh karena tak roboh digempur abu gunung bertahun-tahun. Di langit-langit rumah, empat lonjor besi dari rel kereta pengangkut tebu mempertebal keyakinan mereka. Begitu juga empat pilar kayu jati yang mengikis ketakutan mereka.

Suasana masih sepi dan hening. Sesekali, garis merah mengiris langit di ufuk timur. Belum ada degup dentum ledakan, kecuali degup-detak resah yang meledak di balik dada setiap orang.

Listrik padam. Pijar lilin di setiap penjuru lebih mencekam dari gelap gulita. Sebab, ia mengiris raut wajah dalam gurat kekhawatiran. Semakin ditatap, takut semakin semerbak. Bapak, dengan sebulir tetes mengalir di pelipis, bersuara lirih agar handai taulan tak henti-henti membaca salawat dan meminta ampunan kepada Tuhan.

’’Aaaaaargh!”

Tiba-tiba Anam, adik sepupuku, berteriak. Mata-mata terbelalak kaget. Jantung-jantung tertikam. Gemerisik celoteh berhamburan, tanya ada apa dan mengapa.

’’Pipis,” ujarnya dengan tangis tertahan.

Terbit tawa dan cekikik kecil dari sekitar. Cubit kecil emaknya mendarat di pahanya. Sebongkah es khawatir meleleh perlahan di lubuk mereka, lalu tercekat di tenggorokan. Karena…

Braaaakk!!!

Sebongkah batu sebesar kepala menerjang genting dan terbentur tembok di pojok ruangan. Tubuh-tubuh kembali beringsut. Langit bergemuruh. Gelegar meletup-letup. Disusul kerikil-kerikil yang menghunjam bumi. Gaduh. Pecahan genting dan bebatuan sekepal tangan meluncur laksana perang tombak dan anak panah. Hujan pasir tak terhindarkan. Butir-butir debu merayap di atas atap, menerobos apa pun yang terlintas meski sekecil lubang semut, lalu bergemelitik di ujung telapak kaki. Terasa kasar, saat kuinjak.

Sejumput keberanian dibentangkan. Juga payung-payung, untuk menepis kepul debu yang terus bergemuruh. Kalut terus menyelimut. Resah berdesak-desak dengan aroma keringat. Takut berdesah-desah bersama bau pesing dan sengat balsam. Bibir-bibir merapal doa, ayat kursi atau apa pun yang bisa terucap. Dengan lembut, Bapak menatapku di pangkuannya. Ia memelukku lekat-lekat. Debu memaluri seluruh wajahnya. Juga darah yang menetes dari ujung ubannya. Segores cahaya harap terbit di ujung tatap matanya yang meredup.

’’Bapak, Lembu Suro keluar?”

’’Ingat! Jangan takut. Ini tidak akan lama. Bapak telah mengalaminya beberapa kali. Letus Kelud adalah siklus. Zaman yang cerah akan menjelang. Percayalah!”

Aku hanya membisu. Seorang raja raksasa berkepala sapi terkunci rapat di ingatanku. Teriakannya yang beringas menjulurkan lidah api yang membakar langit. Penthung di tangannya merobohkan gunung batu, lalu melemparkannya ke udara. Kakinya mengentak-entak kawah hingga terbit banjir lahar. Sosok itu lahir dari rahim cerita Bapak.

***

Semburat senja masih terlukis di ufuk barat saat Bapak menggandeng tanganku menuju masjid. Ia bilang, fajar besok, ia akan mengajakku menaiki gunung dengan sepeda kumbangnya. Hanya lima kilometer, katanya. Lonjak kegirangan adalah jawabku. Mungkin, di atas gunung, ada mainan yang bisa dibawa ke rumah.

Pagi masih buta saat Bapak memboncengku menaiki jalan setapak. Kaki kecilku terikat manis di rangka sepeda. Agar tidak terjerat jeruji, kata Bapak. Kedua tangan mungilku bergayut erat di punggungnya yang gagah. Kakinya mengayuh pedal dengan lincah. Selincah dongeng yang meluncur deras dari ingatannya.

’’Di puncak gunung ini, seorang raksasa bersemayam. Ia berkepala sapi. Berbadan manusia,” aku mengeratkan pelukan, bergidik membayangkan. ’’Tak perlu takut. Bapak di sini. Dia hanya keluar pada saat-saat tertentu. Sebagai isyarat perubahan di negeri ini.”

’’Kau pasti bertanya mengapa ada raksasa di atas gunung? Dulu, ia adalah seorang pangeran yang bernama Lembu Suro. Pangeran yang mencintai seorang putri kerajaan. Putri bak bidadari turun dari surga. Ia tinggal di istana pinggir Sungai Brantas sana. Setiap jejaka di negeri ini hendak meminangnya. Perempuan itu tahu bahwa ia sedang diburu dan digandrungi. Dia pun mengajukan syarat bagi siapa pun yang hendak menjadi suaminya harus mampu membuat sumur sehari semalam di puncak Gunung Kelud ini. Hanya Lembu Suro yang menyanggupi.”

’’Dia seperti sapi ya, Pak?” tanyaku.

’’Iya. Kepalanya saja yang seperti sapi. Badannya, tangannya, kakinya ya seperti punya kamu. Sama kayak punya Bapak juga. Nanti di ujung jalan ini, ada patungnya.”

’’Jangan, Pak. Takut.”

’’Tidak apa-apa. Itu hanya patung, Nak.”

Bapak terus mengayuh. Kelok-kelok dilintasinya dengan sigap. Petak-petak sawah menghampar tak berujung. Kata Bapak, deret-deret tumbuhan itu bernama nanas. Rasanya masam dengan manis sedikit. Tapi, aku belum pernah memakannya. Sesekali, dua tiga pesepeda melewati kami.

’’Mereka ke mana, Pak?”

’’Oh orang-orang itu? Mencari kayu di hutan.”

’’Mereka tidak takut Lembu Suro?”

’’Tidak. Sekarang, dia masih sembunyi di balik kawah.”

’’Kapan dia keluar? Haris takut, Pak.”

’’Menunggu waktu yang tepat. Saat gunung meletus. Yaitu saat langit bergemuruh. Gelegar meletup-letup. Disusul kerikil-kerikil yang menghunjam bumi.”

’’Seperti balon dong? Meletus?”

’’Iya, gunung yang meletus. Kalau Lembu Suro keluar, kamu harus bersembunyi di mbale rumah kita. Akan aman. Rumah itu disusun mbahmu sebagai tempat perlindungan untuk keluarga dan warga.”

Aku mengangguk mengiyakan. Pedal terus berputar. Gir sepeda berderit-derit ketika menanjaki gundukan. Napas Bapak terengah-engah, disertai sengal batuk yang begitu berat. Kutatap punggungnya yang telah basah oleh keringat. Terkadang, kring-kring bel sepeda berbunyi. Bapak menoleh ke belakang, menatap wajahku dengan senyum paripurna. Senyum yang terus terpahat di sanubariku kelak.

’’Jadi, Lembu Suro menggali sumur di kawah itu. Sesuai permintaan sang putri. Tapi, sang putri tak sudi diperistri raksasa. Seluruh pengawal dan prajuritnya diperintah untuk menguburnya di dalam sumur. Lalu, sang putri lari. Kamu tahu? Lembu Suro sudah terpendam di dasar Kelud. Tidak bisa keluar. Raksasa itu marah luar biasa. Ia berteriak dan bersumpah serapah bahwa kelak gunung ini akan menjadi sumber petaka. Kediri mbesuk bakal dadi pethuk piwalesku sing makaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi kedung.”**

’’Daerah ini, Nak, dan sekitarnya tidak akan bisa lepas dari geliat Kelud ini. Balas dendam Lembu Suro adalah sumber penghidupan warga Mataraman,” ujarnya sambil melempar kerikil ke tengah kawah. Ia memintaku meniru gerakannya. Seonggok kerikil menerabas kekang udara, lalu tercebur di atas kawah yang mendidih. Lembu Suro mungkin akan menangkapnya di dasar genang air ini.

Dalam runcing cerita Bapak, Kelud adalah pijar anugerah bagi penduduk sekitarnya. Kata Bapak, Kelud hanya meletus beberapa kali dalam puluhan tahun, tapi dampaknya abadi dalam ratusan tahun. Sawah-sawah subur dan menghijau membentang. Setiap debu yang membubung setelah ledakan adalah ritus penyuburan tanah. Sumber-sumber air juga mengucur deras dari kuku-kuku kaki Kelud. Membasahi ladang dan bermuara di pucuk Sungai Brantas. Pasir, kerikil, dan bebatuan tak habis dikeruk demi gedung dan bangunan di sepanjang penjuru negeri. Hela ledak Kelud adalah entak hidup penduduk Mataraman.

***

Desember 2007. Fajar masih basah. Kukayuh sepedaku kuat-kuat. Memecah kabut. Menyisir wajah cerita Bapak di sepanjang setapak menuju puncak gunung.

Jurang curam membentang. Selarik aliran air tertangkap ujung mataku. Jurang ini tempat luberan kawah panas bermigrasi. Sekali terjatuh, tulang belulang akan menguap. Terowongan gelap menghadang. Di ujung gulita, kan kau temukan panas kawah. Lubang ini juga jalan lahar. Begitu ucap Bapak.

Dulu, di antara padang bunga senduro***, Bapak berbicara kepadaku dengan mimik yang menegang. Bahwa setelah letusan gunung Kelud, akan ada peristiwa besar di negeri ini. Ia mencontohkan letusan tahun 1811 terjadi sebulan sebelum Inggris datang menyerbu, ledakan tahun 1901 adalah ledakan gerakan politik pemuda, erupsi 1919 adalah tanda gerakan kebangsaan Indonesia, dan 1966 adalah masa pergantian Orde Lama jadi Orde Baru. Aku merekam ujung kalimat Bapak; setiap Kelud meledak, perubahan sosial politik akan terjadi.

***

Februari 2014. Senja berlabuh lebih dini. Angin hangat menyengat hingga tulang belulang. Beduk masjid berdentum-dentum.

Ratusan kali, Lembu Suro memekik dan menggoyang bumi. Penduduk berduyun-duyun datang ke mbale rumah ini. Kalut menyelimut. Langit bergemuruh. Gelegar meletup-letup. Disusul kerikil-kerikil yang menghunjam bumi. Gaduh. Pecahan genting dan bebatuan sekepal tangan meluncur laksana perang tombak dan anak panah. Hujan pasir tak terhindarkan. Butir-butir debu merayap di atas atap. Resah berdesak-desak. Takut berdesah-desah.

Dengan lembut, kutatap anakku di pangkuan. Aku memeluknya lekat-lekat. Bayangan Bapak berkelebat. Sosoknya membentuk lapisan cahaya di bawah empat lonjor rel. Seberkas cahaya yang menangkis pasir, kerikil, batu, dan keresahan. Ingatanku terpatri saat dulu ia tergeletak karena batu seruncing tombak jatuh menggores kepalanya. Darah menderas di ujung ubannya. Bapak terjerembap mendekapku. Persis saat ia memangku tubuhku. Kegagahan Kelud abadi dalam cerita-cerita Bapak. Juga kematiannya. Ah, Bapak. (*)


Catatan:

*mbale : Ruang tamu

**artinya : Kediri suatu saat akan mendapatkan balasanku yang berlipat-lipat. Kediri akan jadi sungai, Blitar jadi daratan, Tulungagung jadi perairan.

***senduro : Bunga edelweiss Jawa. Banyak ditemukan sebelum puncak Kelud.

 

Pernah dimuat di Jawa Pos pada edisi 14 Juli 2019

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.