Sastra Untuk Kemanusiaan


Koyak

Kau memburukkan nasibmu, selalu memikirkan anakmu. Kau sama sekali tak berpikir tentang dirimu. Kau terlampau kerap menatap hampa ke arah sudut ruangan. Terakhir menangis, kauasatkan air matamu hingga menjadi seperti anak sungai di hari-hari kemarau. Kau semakin kurus, semakin tak terurus. Laki-lakimu telah membengkalaikanmu hingga beribu-ribu hari dan tak sedikit pun kau mencoba untuk bangkit.

Tak jadi soal jika kau mati sebetulnya. Andaikan kau diharuskan untuk bercerita, tentunya kau masih teramat ingat betapa gelisah gundah gulananya menunggu dan berharap agar bulan datang terlambat. Tahun kedua, tahun ketiga pernikahanmu, saat senggama yang kau dan laki-lakimu lakukan semakin tidak kerap, kau masih rajin mengecek perhitungan yang hanya kau pahami sedang laki-lakimu tidak, dan selalu mendapati hari-hari di mana segala hal seperti begitu amis dan merah.

Suatu hari kau mengaca, entah mengapa kau ingin mengaca, dan terkejut lalu menjauh sebab begitu takut dengan apa yang tampak di sana: perempuan yang berdiri lemah dengan rambut kusut, kantung mata hitam, dan tubuh yang nyaris tak berdaging. Duhai, bibir yang kering dan wajah kusam itu membuatmu tak bernafsu menatapnya lama-lama. Lalu mandilah kau, membersihkan kerangka yang menahan dingin guyuran air sumur. Kembali menatap kaca itu, masih sama, wajahmu tetap lungset lagi tak segar. Kau membuka handukmu. Apa yang kau temukan di kaca hanyalah belulang berbungkus kulit. Rambut, dada, dan bokongmu sudah terjatuh. Pantas dia minggat, desismu.

Dalam cermin, kau begitu sedih. Mungkin ingatanmu bergegas menuju tahun-tahun pernikahanmu yang tak lekas memberi tanda akan hadirnya momongan. Kukira, pada saat itu perasaan tak sedap kerap muncul dari pernyataan dan pertanyaan orang tua, mertua, dan dari orang-orang sekitar.

“Kapan, nih, punya bayi?”

“Duh, kasian, ayah dan ibu mereka pasti ingin lekas menggendong cucu.”

“Sudah sekian tahun, kok belum punya anak? Yang rajin, dong.”

“Mungkin mandul.”

“Apa mungkin karena penyakit?”

Hatimu tertusuk. Parasmu memilu. Tak jarang kau sesenggukan menangis menjelang tidurmu. Kala tersedu begitu, dulu, laki-lakimu bergegas memberi pelukan. Sebelah tangannya melingkarkan hangat lewat pundak atau bagian bawah punggungmu, sebelahnya lagi perlahan mengusap selangka ataupun hela-helai rambut di dekat keningmu. Memang tidak seberapa ampuh untuk meredakan tangis, tapi cukup sanggup untuk sedikit menyingitkan kata-kata yang mungkin saja berlompatan sebagai umpat atau ceracau.

“Belum.”

“Belum isi, ya?”

“Belum.”

Kau benci kedatangan bulan. Bahkan hingga kau hamil dan janinmu keguguran dan laki-lakimu kabur, kau masih mengutuk hadirnya bulan. Kau marah kepada Tuhan. Kau ingin agar Tuhan mempertemukanmu denganku. Lelah berdoa, kau mengumpat sepanjang sembahyang. Kaudatangi orang pintar tersohor di kampung sebelah.

“Pertemukan aku dengan si Bangsat itu!” serumu.

“Aduh, keliru kalau Ibu kemari. Ilmu dukun tak sampai tingkatan matra itu.”

Kau juga pergi ke tempat kiai.

“Pertemukan aku dengan si Bangsat itu!”

“Istigfar, Bu. Istigfar. Datanglah ke sini, setiap ahad ada pengajian, sedekahlah seikhlasnya. Berdoa. Mohon ampunan. Mohon pencerahan.”

Kau jengkel. Sudah jauh-jauh bertandang malah disuruh istigfar dan membayar. Tak bersolusi. Bersecakaplah kau pada orang-orang mengenaiku.

“Siapa pun yang bertemu dengannya pasti bergidik setengah mati!”

“Oh. Matanya melotot. Sentuhannya mengerikan. Bapak Paiso pengazan di langgar pernah melihatnya kemudian kejang-kejang!”

“Sosoknya tinggi dan besar. Konon katanya dia mempunyai sayap besar. Ampun. Semua orang membencinya setengah mati. Tapi, ya, bagaimana lagi, nanti pada saatnya juga kita pasti bertemu dengannya.”

“Kapan?” kau bertanya.

“Kalau sudah saatnya.”

“Saatnya, kapan?” cecarmu.

“Ya, nantilah.”

“Tak mungkin dipercepat?”

“Eh. Jangan mengawur, Mur! Jangan asal bicara!”

Kau terdiam. Mereka terdiam.

“Apa harus menderita dulu baru bertemu?” tanyamu penasaran.

“Sakit yang amat sangat sakit!”

“Tak bisa lewat semacam pembukaan mata batin begitu, seperti saat kita ingin melihat pocong?”

“Haha! Mur, Mur … Kau pikir dia setan rendahan?”

“Dengan berdoa, bisa?”

“Mungkin. Kau harus teraniaya dulu, Mur, biar cepat dikabulkan.”

“Bayiku pegat! Laki-lakiku minggat! Masih kurang?”

“Oh. Ya, ke mana dia, Mur?”

“Masa bodoh! Lebih baik aku mencari bangsat pencabut nyawa itu!”

“Aduh, aduh, Mur … lama tak keluar rumah, kau berubah jadi senang mendagel begini, Mur!”

Kau pulang, kembali ke rumah dengan senyum lebar. Orang-orang menatap langkah demi langkahmu, membincangkanmu, bergunjing tentangmu, membicarakan tubuhmu yang seperti jerangkong berjalan atau berkomentar tentang bibirmu yang melebar mengerikan. Sekilas kau mendengar orang-orang mengatakan kau gila karena kehilangan jabang bayi. Sekilas kau mendengar orang-orang menyebut kau sinting karena ditinggal pria. Namun kau tak mengindahkan mereka. Kau terus melafalkan asmaku sembari berjalan dan tersenyum seperti badut joker pembantai kartu-kartu kecil. Kau tak acuh, bahkan ketika bocah-bocah berlarian dan ikut menjulukimu si gila. Kau tak peduli.

Sesampainya di rumah, kau membasuh parasmu dengan air mengucur. Kau memanjangkan umpatan di sela gumam doa sembahyang. Kau marah kepada Tuhan. Kau ingin agar Tuhan memerintahkanku menemuimu. Kau mengambil pisau dari dapurmu, bilah besi tipis yang paling kotor dan berkarat, lalu menghunuskannya ke arah langit-langit. “Pertemukan aku dengan bangsat itu!”

Aku tahu, sebetulnya kau pernah bersukacita dengan laki-lakimu saat perkawinanmu memasuki tahun ketujuh. Berulang kali perutmu mual. Dan ketika itu tak ada hari-hari amis dan merah. Suatu malam kau menelepon orang tuamu, memberitahukan bahwa rahimmu telah berisi. Ranum sekali senyumanmu, seperti kembang baru mekar. Matamu berbinar. Andaikan kau diharuskan untuk mendedarkan cerita penantianmu, tentunya kau ingat bahwa di tahun keempat, juga tahun kelima, kau kerap mendapat wejangan agar selalu bersabar. Nabi Zakaria pun harus menunggu hingga usia tua baru kemudian punya anak, kata orang tuamu. Beberapa tetanggamu pun bercerita tentang penantian kehamilan, yang kebanyakan memang lebih lama dibanding penantianmu. Temanku menunggu sampai lima tahun. Oh, aku baru hamil setelah enam tahun menikah. Coba ke bidan, normal, kan? Sudah, tenang saja, mungkin Tuhan memegang mimpimu untuk waktu yang sedikit lebih lama. Satu-satunya guru mengaji di tempatmu memberi saran untuk terus beramal. “Kalau uang yang kami punya ini kurang atau pas-pasan, bagaimana?” tanyamu.

“Ya, tenang saja. Tak apa.”

“Tapi…”

“Kita tak akan miskin gara-gara sedekah.”

Pernah kau menjajal jamu racikan rimpang kunyit, bebijian kedawung, dan perasan jeruk nipis, seperti yang disarankan oleh seorang dukun beranak. Kau pun sudah lama menghindar dari buah nanas. Seorang bidan puskesmas bilang, kau tidak boleh capek, sering-seringlah beristirahat, dan kau menuruti anjuran itu.

Kau ingat, bukan, laki-lakimu tak sanggup menutupi rasa senang ketika mendengar kehamilanmu? Ia bercerita kepada beberapa kawan tentang kebahagiaan yang sayangnya hanya sejenak mengucapkan permisi. Sekitar lima pekan kemudian, janinmu luruh.

“Aku tidak menemukan janin,” kata bidan. “Ini kantungnya kosong.”

“Kosong?”

“Kosong.”

Dan sekarang kau sedikit mengiris lehermu. Kau terlihat bahagia meskipun karat pada pisau itu lumayan mempersulit usahamu. Merah kental kemudian muncrat semburat dari pembuluh darah lehermu. Tak sederas derau muara, memang, namun cukup sanggup untuk menjadikanmu kesusahan mengumpat.

“Pertemukan aku dengan bangsat itu!”

Apa kau tak ingat saat orang-orang menepuk-nepuk pundakmu agar jangan kau bersedih? “Sabar, sabar,” ujar mereka. “Kau akan memiliki bayi lagi.”

Jelas kau mengerti bahwa orang-orang itu bermaksud baik. Tetapi barangkali memang tak ada saran dan penjelasan yang mengenakkan hati bagi seorang ibu yang kehilangan anaknya. Yang paling dekat dengan menghibur adalah perkataan ‘aku ikut bersedih’ atau ‘kami mendoakan kalian’. Sok paham tentang persoalan, apalagi menawarkan pemecahan masalah, agaknya, justru semakin mendalamkan rasa berkabungmu.

“Ia lahir.”

“Iya, sudah…”

“Hanya tak sempat melihat,” katamu sesenggukan. “Ia lahir, sekalipun tak sempat melihat matahari terbit.”

“Sudah, iya. Sudahlah.”

Kau mengingat semua itu, bukan? Sekarang dengarkanlah ketukan pada pintu depan. Layangkan ragamu dan bukakanlah pintu untukku.

“Salam.”

“Siapa?”

“Aku.”

Kau terdiam. Apa yang kau pikirkan? Membandingkanku dengan penjelasan orang-orang tentangku? Aku ingin selalu muncul diiringi semburan kesedihan dari mata seorang manusia.

“Kembalikan bayiku!”

“Demi Tuhan, aku tak bisa melakukannya.”

“Kau yang mengambilnya!”

“Tugasku hanya menjemput.”

Lemah dan bergetar, kau menghunuskan ujung pisau ke arahku.

“Ya, bunuhlah aku.”

“Bangsat!” umpatmu keras.

“Tidakkah kau teraniaya? Berdoalah agar Tuhan mau membunuhku. Bukankah Tuhanmu pun Tuhanku?”

Kau mengumpat lagi. Ya, marahlah! Andaikan kau diharuskan untuk bercerita, tentulah kau belum lupa sebuah malam saat kepalamu rebah di dada laki-lakimu dan tangisanmu meraung, bergaung-gaung, dan air matamu tak semerdu bunyi alir sungai pada jam-jam hening. Ya, marahlah!

“Kenapa?”

“Semua orang membenciku, bukan? Aku yakin mereka menderita ketika jiwanya kuambil. Ruh yang lepas pun meraung-raung, memohon, dan memelas agar dapat kembali. Masihkah aku sanggup melihat lebih banyak lagi kepedihan? Lakukanlah! Bunuhlah aku!”

“Ambil nyawaku, lesapkanlah dari derita!”

“Untuk urusan itulah aku dititahkan kemari. Berjanjilah kau tak akan merengek dan memohon agar aku mengembalikan hidupmu. Sepertimu, aku pun lelah menderita.”

Dan di hadapanku, kau pun menggorok tenggorokanmu, semakin dalam. Semakin dalam, agar darahmu menderas. Kau seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tak jelas, sebab lehermu membuka. Agaknya kau berdoa. Ya, berdoalah kepada Tuhan agar kau masih punya tenaga sehingga bisa membunuhku meski dalam keadaan sakit. Aku mencabut nyawamu sedikit demi sedikit, menahannya untuk beberapa lama. Rubuhlah ke pundakku. Marahlah. Lakukanlah. Kenapa tanganmu begitu lemah? Merapatlah kemari, kubantu kau menancapkan pisau itu ke dadaku. Sakit. Teramat sakit. Andaikata aku tahu kematian bakal sesakit ini, aku kira, aku tak akan sanggup mengambil nyawa. Pedih. Begitu pedih. Aku merasakannya, Tuhan tengah murka. Aku merasakannya. Duhai, tenanglah. Tenang. Rasa sakit ini hanya akan berlangsung beberapa saat. Cerita ini sebentar lagi tamat.

 

(cerpen ini adalah hasil kolaborasi antara renjana wungu dan alra ramadhan)

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.