Jakob Sumardjo dalam Lintasan Sastra Indonesia Modern I (LSIM) mengklasifikasikan babakan sejarah dan angkatan sastra Indonesia berbeda dengan Zuber Usman dalam KBI, Bakri Siregar dalam SSIM, Ajip Rosidi dalam ISSI, dan Teeuw dalam SBI. Dalam LSIM, Jakob Sumardjo mengklasifikasikan sastra Indonesia menjadi enam babakan sejarah dan angkatan sastra. Dikatakannya, “dapatlah kita membuat sebuah babakan waktu dalam sejarah sastra Indonesia modern sebagai berikut: 1. Sastra Awal (1900-an); 2. Sastra Balai Pustaka (1920-1942); 3. Sastra Pujangga Baru (1930-1942); 4. Sastra Angkatan 45 (1942-1955); 5. Sastra Generasi Kisah (1955-1965); dan 6. Sastra Generasi Horison (1966-saat buku ditulis).
Lebih lanjut, Jakob Sumardjo menjelaskan alasan dan kondisi babakan sejarah dan angkatan sastra tersebut sebagai berikut. “Nama-nama angkatan … kebanyakan diambil dari nama badan penerbitan yang menyiarkan karya masing-masing angkatan. Sastra Balai Pustaka dinamakan demikian karena para sastrawannya menulis melalui bahan penerbitan pemerintah kolonial Belanda…. Masing-masing angkatan sastra tadi dimulai dengan munculnya sekumpulan sastrawan yang tahun kelahirannya hampir sama dan menulis dalam gaya yang hampir sama dalam majalah atau penerbitan yang sama. Sastra Balai Pustaka dimulai tahun 1920. Para penulis Balai Pustaka yang mula-mula menulis sekitar tahun 1920-an adalah mereka yang dilahirkan sekitar tahun 1895-an. Ada yang lebih dahulu ada yang lebih kemudian. Sastra Pujangga Baru diisi oleh para sastrawan yang dilahirkan sekitar tahun 1910-an…. Di luar pengelompokan para sastrawan berdasarkan tahun tersebut, ada beberapa sastrawan yang terus menulis di luar angkatan atau generasinya…. Jadi, periodisasi di sini bukan dalam arti matematik. Dalam periodisasi selalu ada yang lolos dari kelompoknya. Juga rentangan waktu seperti ditunjukkan dalam periodisasi bukanlah rentangan waktu yang mati…. (LSIM, x-xi).
Babakan sejarah dan angkatan sastra awal dibicarakan dalam Bab I LSIM dengan judul Sastra Awal (lihat hlm.1). Dalam pembicaraan sastra awal ini dikupas sosok, karak-teristik, dan keadaan sastra embrional, sastra Melayu Rendah bukan Tionghoa, sastra Melayu Rendah Tionghoa, dan pengaruh sastra Melayu Rendah terhadap karya sastra yang lahir kemudian (lihat hlm. 1-30). Pembicaraan ini tidak menukik, tetapi sekadar penjelasan pengantar sa-ja sehingga aspek-aspek yang lebih mendalam dari karya sastra dan sosial politik tidak dikupas lebih jauh.
Periode dan generasi sastra Balai Pustaka dibica-rakan dalam Bab II LSIM dengan judul Sastra Balai Pus-taka (lihat hlm.31). Di sini dibicarakan latar belakang munculnya Balai Pustaka, keberadaan dan sosok Komisi Bacaan Rakyat dan kemudian Balai Pustaka, kondisi sas-tra Melayu, Jawa, dan Sunda, perkembangan sastra Mela-yu, tema-tema dan ciri-ciri khas sastra Balai Pustaka, syair-syair pada zaman Balai Pustaka, keadaan sastra terjemahan pada zaman Balai Pustaka, dan sastrawan-sas-trawan penting Balai Pustaka (Merari Siregar, Marah Rusli, M. Kasim, Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Aman Dt. Madjoindo, Suman Hs., HAMKA, Adinegoro, Sutan Takdir Alisjahbana, A.A. Pandji Tisna, dan lain-lain). Pembicaraan semua hal ini sepintas saja, tidak mendalam ke aspek-aspek yang lebih detil (lihat hlm. 31-62).
Berikutnya babakan sejarah dan angkatan sastra Pujangga Baru dibicarakan dalam Bab III LSIM dengan judul Sastra Pujangga Baru (lihat hlm.63). Di sini dibicarakan latar belakang munculnya Pujangga Baru, masa-masa awal kehi-dupan Pujangga Baru, keberadaan majalah Pujangga Baru dalam menopang generasi Pujangga Baru, pengaruh Angkatan 80 di Belanda terhadap generasi Pujangga Baru, konsep seni generasi Pujangga Baru, berlangsungnya polemik kebudayaan, ciri-ciri khas sastra Pujangga Baru, dan para sastrawan penting Pujangga Baru (Sutan Takdir Ali-sjahbana, Armijn Pane, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Muham-mad Yamin, Roestam Effendi, J.E. Tatengkeng). Pembica-raan semua hal ini ringkas dan singkat, sekitar 20 halaman, sehingga hanya bersifat garis besar atau pokok-pokoknya saja.
Periode dan generasi sastra Angkatan 45 dibicarakan dalam Bab IV LSIM dengan judul Sastra Angkatan 45. Di sini dibicarakan latar belakang tahun 1942 yang me-munculkan generasi zaman Jepang, keberadaan dan keada-an sastra pada zaman Jepang, proses lahirnya Angkatan 45, sosok dan ketokohan puisi Chairil Anwar dalam Ang-katan 45 dan sastra-sastra terjemahan Angkatan 45, dan sastrawan penting Angkatan 45 (Rivai Apin, Idrus, Pra-mudya Ananta Tour, Mochtar Lubis, Achdiat Karta Mihar-dja, Trisno Sumardjo, Mh. Rustandi K., M. Balfas, Si-tor Situmorang, dan Utuy Tatang Sontani. Pembicaraan semua hal ini ringkas dan singkat, hanya bersifat per-kenalan (lihat hlm.93-140).
Selanjutnya babakan sejarah dan angkatan sastra Kisah dibicarakan dalam Bab V LSIM dengan judul Sastra Generasi Kisah (lihat hlm.141). Di sini dibicarakan latar belakang munculnya generasi Kisah, peranan majalah Kisah dalam memunculkan generasi Kisah, berbagai konsep sas-tra generasi Kisah, isu krisis sastra Indonesia, peranan majalah Sastra dalam melanjutkan eksistensi generasi Kisah, berbagai-bagai organisasi sastra dan hadiah sastra, kehidupan dan hiruk-pikuk sastra pada masa Demokrasi Terpimpin, dan para sastrawan generasi Kisah dan Sastra (lihat hlm.141-220). Pembicaraan semua hal ini relatif jelas dan luas sehingga mampu memberikan gam-baran keadaan sastra Indonesia pada babakan sejarah dan angkatan sastra Kisah meskipun belum mendalam dan menukik.