Judul: Buku Harian Keluarga Kiri
Penulis: Dhianita Kusuma Pertiwi
Penerbit: Pelangi Sastra
Tahun: 2019
Tebal: vi + 176 hlm
ISBN: 978-623-7283-13-3
“Jika nanti, suatu saat tiba waktunya bagi kita semua untuk bicara, apakah itu tidak cukup untuk membuat Anda bertahan?” (103)
Bung dan Nona, bagaimana sekiranya kalau pertanyaan itu dilontarkan pada Anda?
Tidak masalah yang dikemukakan itu tentang apa. Pemenang, di kemudian hari tidak akan ditanya, apakah yang dilontarkannya benar atau tidak.
Apakah begitu menjawabnya?
Tentu tidak, jika tidak ada perjuangan yang diusahakan.
Bapak Wadi menyampaikan pertanyaan tersebut pada seorang pemuda yang ditemuinya di atas kapal menuju Pulau Buru, “Pulau Harapan”. Tampak jelas, ada pergulatan batin yang rumit berbingkai ketakutan, kesepian, penderitaan, dan kemarahan, yang bersenyawa dengan keyakinan, cinta, serta harapan. Sisa-sisa harapan yang dimiliki beliau, dibagi cuma-cuma pada pemuda yang tidak disebutkan namanya itu; berpatokan bahwa banyak hal luar biasa bisa terjadi karena keberserahan setelah berusaha keras.
Dhianita Kusuma Pertiwi, dalam Buku Harian Keluarga Kiri, mencoba membunyikan lonceng alarm apokaliptik melalui penggalan kisah Bapak Wadi selama periode kelam Indonesia, terkait salah satu kejahatan kemanusiaan yang pernah disorot dunia tersebut. Ya, apa lagi kalau bukan pesta darah berlabel pemberangusan komunisme di Indonesia. Padahal, ideologi, merupakan wilayah konsistensi yang serius, karena terbentuk benturan antara realitas sosial, kemajuan zaman, tradisi lokal, dan kebutuhan untuk diakui. Mencoba mengakhirinya, dengan cara mematikan kehidupan makhluk, atau mengubah statusnya menjadi “sampah sosial” pasca kejadian, tentu bukan hal sederhana yang bisa dilupakan begitu saja.
Sebagai Awal: Menerima, Kemudian Memperjuangkan
Ditemui dalam wawancara virtual, secara pribadi, Dhian menyampaikan bahwa pelanggaran HAM terus dialami oleh penduduk lokal; mengimplikasikan impunitas atas kekerasan. Menurutnya, kekerasan akan terus terjadi, dan impunitas akan terus bertahan jika pemerintah tidak mengupayakan penyelesaian atas kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang melibatkan negara. Bukan hanya tragedi 65-66, tapi juga daftar panjang yang isunya, seharusnya menjadi salah satu alat pendewasaan negara dalam menyikapinya.
Dhianita memilih tulisan sebagai ujung panah beracunnya. Sesuatu yang subtil. Bukan hal yang mudah pastinya, mengingat musuh yang dihadapi bukan lagi pemerintah atau manusia. Dia melawan nir-kemanusiaan, intoleransi, fanatisme, kediktatoran, keserakahan, kebencian, dan diskriminasi yang masih tersimpan.
“Kalian tidak punya hak untuk mengambil hasil dari tanah milik negara! Sungguh tidak tahu diri kalian!” (127)
Baruch Spinoza (1632-1677) pernah berujar, damai adalah kebajikan dan kondisi pikiran, bukan ketiadaan perang. Namun, jika dikaitkan dengan kisah Bapak Wadi, kondisi saat itu mempersempit pilihan beliau, juga tapol lainnya; mati bunuh diri, atau mempertahankan hidup. Jika ingin lanjut, mereka harus menapaki jalan terjal untuk menemukan kehidupan baru. Jika memilih bertahan hidup dalam situasi yang serba terbatas, yang tersisa adalah puing. Meski kita bisa saja berkeras, hidup masih bisa dibangun dari sisaan puing tersebut.
Isu-isu yang bersinggungan dengan HAM, dengungnya melemah. Walaupun sekarang masyarakat sudah banyak yang memahami hak-hak dasar mereka sebagai warga negara, tapi perkara ketidakadilan terhadap masyarakat kelas bawah dan marjinal akan terus terjadi. Secara kuantitas, tentu akan banyak ruang untuk menyampaikan isu-isu tentang HAM dan pelbagai masalahnya. Namun secara kualitas, Dhian menilai, andai kata, suatu hari nanti pemerintah Indonesia menunjukkan kemauan dan komitmennya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada periode tahun 1965–66, hal tersebut tidak serta merta akan menghapus impunitas atau pelumrahan atas kekerasan di masyarakat. Begitu juga sebaliknya.
Tulisan-tulisan Dhian sendiri bertujuan membentuk kesadaran publik, bahwa terdapat narasi lain di samping sejarah versi resmi yang diproduksi dan direproduksi oleh penguasa dengan segala kepentingannya, yang mengerdilkan atau bahkan membungkam suara rakyat. Kesadaran akan hal tersebut, menurutnya, akan menciptakan pola pikir yang lebih kritis dalam menyikapi berbagai fenomena sosial dan politik di masyarakat.
“Menuntaskan diri dari luka dengan menjadikannya kekuatan adalah strategi yang digunakan keluarga saya untuk mentas dari “penjajahan mental” yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Gerakan 30 September.”
Pola Yang Sama Adalah Tanda
“Banyak dari kami yang ditemukan mati atau kembali ke barak dalam keadaan tidak utuh lagi karena diserang binatang buas saat tengah bekerja. Kecelakaan semacam itu semakin tahun semakin sering terjadi seiring dengan semakin lebarnya hutan yang dibabat untuk keperluan proyek pembangunan Orde Baru yang rakus”
Bersama Bapak Wadi, kita sepertinya ikut dipaksa merasakan, memegang teguh prinsip Mensesneg Moerdiono, “right or wrong, my country”.
Saya yakin, meski isu lingkungan yang disampaikan dalam Buku Harian Keluarga Kiri tidak banyak disampaikan, namun potongan cerita tersebut masih tetap penad dengan kondisi yang terjadi, bahkan sampai hari ini. Proses pembebasan lahan beserta taktik penekanan yang dijalankan aparat pemerintah, perubahan kebijakan yang tiba-tiba dalam soal pemindahan penduduk, juga bagaimana kekuatan internasional memang dibutuhkan untuk memperjuangkan nasib rakyat kecil. Perjuangan ini diperlukan, karena dalam konteks politik Indonesia, pemerintah telah berhasil menghimpun kekuatan politik yang sangat besar, dan gaung kekuatan politik non-pemerintah menjadi relatif lemah.
Bukan hanya Bapak Wadi dan kawan lain yang dipaksa berlayar ke Tefaat Pulau Buru untuk mendulang “harapan baru”. Sebagai tahanan politik dan dianggap pengkhianat negara, tentu saja, tawaran menggiurkan seperti itu adalah satu-satunya pilihan yang paling menarik ketimbang duduk di dalam sel dan dipukul habis-habisan tanpa sebab.
1989, nama Kedung Ombo tiba-tiba mencuat. Hampir semua media massa memuat pemberitaan tentang waduk tersebut. Entah masalah pembebasan tanah, intimidasi terhadap penduduk yang kemudian melarikan diri ke hutan, pembangkangan penduduk di wilayah genangan waduk, juga narasi “harapan” hasil pembangunan waduk.
Pemerintah memberikan perspektif ekonomi yang lebih cerah kepada penduduk yang akan dipindahkan dari calon daerah genangan waduk. Bagian tandus daerah genangan dianggap pemerintah tidak dapat lagi memberi dukungan yang baik bagi penduduk yang bersangkutan. Selain itu, pemerintah berharap bisa membuka isolasi bagi penduduk yang masih tertinggal, memberikan lapangan kerja baru, sehingga, kondisi “rawan” yang sering timbul di masa lalu dapat dicegah.
Menurut pemerintah, daerah Kedung Ombo dan sekitarnya, seperti Simo, Boyolali, dan lainnya, di tahun 1965 merupakan basis PKI, di mana BTI memunyai akar yang cukup kuat. Konon, daerah Kedung Ombo merupakan salah satu tempat orang PKI dieksekusi. Pernyataan resmi bahwa Kedung Ombo dulunya adalah basis PKI diucapkan oleh Soeharto pada saat peresmian PLTA Mrica pada 23 Maret 1989.
Semenjak penggenangan mulai dilaksanakan, seluruh wilayah Kedung Ombo diberlakukan sebagai daerah tertutup. Di beberapa tempat, misalnya di daerah Kemusu, didirikan pos-pos militer di bawah komando Komandan Satuan Tugas Pengamanan 0724 yang dijabat Komandan Kodim Boyolali, Letkol Drajad Budi Santoso.
“Instruksi Kementrian Dalam Negeri tahun 1981 menyatakan status ET harus disematkan di Kartu Tanda Penduduk para mantan tahanan Orde Baru.” (160)
Intimidasi bukan fiksi. KTP penduduk di sekitaran Kedung Ombo yang habis masa berlakunya di tahun 1985, harus diperbarui. Agar KTP bisa keluar, mereka harus terlebih dahulu menyatakan ketersediannya untuk keluar dari lokasi genangan dengan cara membubuhkan tanda tangan atau cap jempol di blanko yang telah tersedia. Jika tidak, nomor KTP baru yang sudah dicetak akan dibubuhi cap ET. Tidak sedikit yang kelahiran tahun 60an yang diberi cap ET. (Sumber: Dokumentasi KSKPKO).
Model intimidasi lain yang digunakan supaya warga mau menerima uang ganti rugi atau bertransmigrasi adalah dengan cara menangkapi penduduk yang membeli kayu bangunan dari blandong (buruh tebang kayu). Mereka ditangkap dengan tuduhan menjadi tukang tadah kayu curian milik Perhutani. Lainnya lagi, intimidasi turut dilakukan oleh aparat desa. Bagi warga yang tidak mau menerima uang ganti rugi, mereka diancam akan dipetrus. Tengah malam, pintu rumah warga digedor oleh petugas BAKORI (Badan Koordinasi Intelijen), penghuninya diminta keluar untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan petugas. Penduduk yang tidak mau menerima uang ganti rugi, dipanggil menghadap ke Kodim berulang kali. Karikatur dalam Kompas, Sabtu, 20 Juni 1987, dengan jelas menggambarkan, penduduk yang tidak mau menerima ganti rugi, dikejar-kejar dan ditangkap. Mereka dituduh sebagai antipembangunan, anti Pancasila, PKI, juga subversif.
“Setelah sempat menghilangkan nama kami dengan nomor-nomor, membangga-banggakan prestasi Repelita yang terlihat dari pembangunan gedung-gedung pencakar langit, menurunnya tingkat kejahatan dan melimpah ruahnya hasil beras, sekali lagi kami yang sudah menjalani kehidupan sebagai tapol harus menerima status baru setelah lepas dari belenggu penjara.” (161)
Bonanza minyak selama tujuh tahun (1974-1981) sebelum berhasil melewati masa-masa sulit dalam melakukan penyesuaian terhadap kelesuan pasaran minyak bumi, pembangunan perekonomian Indonesia yang mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, pengetatan anggaran belanja, berhasil memenuhi kebutuhan pokok rakyat menyangkut sandang dan pangan. Terlalu dini untuk menilai pembangunan yang dikonsepkan melalui strategi Repelita telah berhasil.
Pada kenyataannya, tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini, paket-paket kebijakan yang dibuat pemerintah sama sekali belum memadai dan hanya dinikmati oleh segelintir pihak saja, terutama mereka yang lebih sanggup menggunakan kesempatan yang diberikan oleh sistem pembangunan, serta oleh mereka yang memiliki jabatan dan wewenang.
Upaya mengurangi kesenjangan sosial memang telah dilakukan oleh pemerintah guna menghindari terjadinya kerusuhan sosial. Jika saat itu muncul koperasi, pemberian kredit pada pengusaha lemah modal, sama halnya dengan saat ini, kredit usaha kecil atau Bantuan Langsung Tunai. Namun, kesemuanya hanya mempertegas peranan negara sebagai pencipta, perencana, dan pelaksana pembangunan, serta menempatkan rakyat sebagai konsumen pembangunan yang minim kesejahteraan.
Bagaimana tidak?
Semua keputusan tentang pemberian layanan dan fasilitas sosial yang pernah diberikan, siapa yang memberi, kapan, di mana, serta bagaimana diberikannya, sepenuhnya menjadi kebijakan birokrasi. Kelompok sasarannya tidak memiliki bentuk pasti. Kebutuhan subjektif rakyat tidak dipertimbangkan lebih dalam. Ketidakmampuan rakyat dalam memberi respon menjadikan mereka sebagai agen pasif pembangunan.
Pengalaman di banyak negara berkembang, rencana pembangunan pada umumnya berakhir dengan penguasaan sumber daya alam berupa tanah dan air yang beralih dari produsen kecil ke tangan pengusaha besar, yang proyek-proyeknya justru menciptakan sedikit lapangan kerja. Orang-orang yang sebelumnya bekerja bebas, berubah statusnya menjadi buruh tani yang tidak bertanah dan berupah rendah. Penduduk asli justru dipaksa bertransmigrasi ke luar daerah. Sebagian justru lari ke kota dan menjadi kaum urban, menjadi pengangguran atau bekerja di sektor informal. Parahnya, pekerja informal ini hampir tidak tersentuh pembangunan yang digadang-gadang jadi keberhasilan pemerintah dalam memberdayakan negaranya.
Pola yang sama muncul.
Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi telah terbukti hanya memperkuat ketimpangan dalam distribusi pendapatan, aset, dan kekuasaan yang menyebabkan yang miskin menjadi makin miskin. Upaya pencukupan kebutuhan dana tidak seharusnya dilakukan dengan menggadaikan kekayaan hutan dan bumi. Dana-dana yang bocor dan masuk kantong pribadi harusnya bisa diefisienkan.
Makna Sebuah Kritik
Periode 1965-98 mengundang beragam pendapat dari para pengamat dalam dan luar negeri. Sayap kanan memuji pemerintahan Soeharto karena mampu membasmi PKI dan berhasil mengadopsi kebijakan yang pro-barat. Sebaliknya, sayap kiri mencibirnya karena kedua kebijakan tersebut. Di antara para pengamat yang kurang memihak, terdapat banyak pengamat, yang di samping memuji prestasi pemerintahan Soeharto dalam menyeimbangkan ekonomi, juga mengutuk catatan buruk hak asasi manusia dan korupsi pemerintahan tersebut.
Buku Harian Keluarga Kiri ini merupakan tamparan keras pada pemerintah, bukan hanya pada tataran HAM, bukan hanya pada pemerintahan Orde Baru, yang berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi, namun juga pada pemerintahan saat ini dengan segala polemiknya. Model birokrasi Mataram yang bersifat tardisional-paternalisitik, tidak bisa lagi dilakukan. Apa lagi sentralisasi kekuasaan ekonomi, politik, administrasi, dan militer di tangan segelintir elite dalam pemerintahan.
Penerapan prinsip hubungan setara antara rakyat kecil dan aparat perencana dan pelaksana pembangunan, sebagai orang yang sama-sama berkepentingan dengan kehadiran proyek pembangunan, dapat dilakukan untuk menghindari kemungkinan diabaikannya kepentingan dan hak dasar rakyat. Karena yang terjadi selama ini adalah, pembangunan bagi mereka bukan berarti kesejahteraan, kemakmuran, atau kedamaian, tapi sebaliknya, penyengsaraan dan pemiskinan. Dominasi yang menguat, membuat negara tidak peka pada persoalan masyarakat.
Jangan lagi Indonesia jadi bangsa yang memanfaatkan dukungan rakyatnya untuk mempertahankan rezim korupsi dan kemunafikan. Tragedi yang lebih berat terdapat dalam penderitaan rakyat Indonesia.
Pernah disiarkan di kibul.in pada 6 Maret 2021