“Kerja benar-benar merupakan cinta yang mengejewantah”
Khalil Gibran
Puncak kenikmatan dalam bekerja adalah ketika kita bisa hanyut (flow) dengan suatu hal yang kita kerjakan. Ungkapan tersebut disampaikan oleh psikolog Mihalyi Csikszentmihalyi. Ketika membaca dan menulis sastra dianggap sebagai kerja-kerja sastra, maka keterhanyutan merupakan estetika baru dalam proses kerja-kerja sastra. David Bolter melalui bukunya bertajuk Digital Plenitude (2019) mengatakan bahwa estetika ini merupakan estetika flow. Estetika flow merupakan dikotomi dari estetika klasik .Estetika klasik mengandalakan katarsis atau kepuasan pada akhir bagian, sedangkan estetika flow mengandalkan kenikmatan pada setiap bagian atau prosesnya. Bolter (2019) mengatakan bahwa masifnya perkembangan media baru memicu terjadinya perubahan standard estetika. Musik EDM, video game, konser DJ, adalah opsi memperoleh estetika kenikmatan baru dan melepaskan diri dari estetika lama seperti musik klasik hingga film dengan satu klimaks pada akhir cerita. Wujud estetika baru inilah yang diterapkan oleh Minanto dalam mengerjakan novel Aib dan Nasib (2020).
Tak selamanya desa itu indah. Refleksi atas indahnya alam pedesaan telah direfraksi oleh realitas sosial yang terjadi di dalamnya. Novel Aib dan Nasib karya Minanto menggambarkan kondisi carut-marut masyarakat desa Tegalurung ketika diterpa revolusi digital. Ia tak mau terjebak dengan eksotisme pedesaan melainkan hanyut masuk dalam dinamika kondisi masyarakat yang terjadi di dalamnya. Refraksi lokalitas dalam aib dan nasib bukan hanya dari segi isi, melainkan juga dari segi bentuk.
Refraksi Bentuk
Membaca desa Teagulurung pada Aib dan Nasib membuat saya teringat pada lokasi imajiner bernama Rumbuk Randu pada novel Dawuk (2017). Keberhasilan Mafhud Ihwan sebagai penulis Dawuk menyajikan teknik penceritaan dalam bentuk gosip, membuat pembaca seolah masuk mendengarkan bualan tokoh Warto Kemplung. Sunlie Thomas Alexander mengatakan bahwa teknik naratologi yang digunakan oleh Mafhud adalah teknik naratologi seorang penutur kurang tau (frist person limited) dengan narator kedua (frist person omniscient). Kedua narator ini mampu masuk bukan hanya pada cerita melinkan pada kondisi psikologis pembaca sehingga pembaca benar-benar serasa menikmati kopi bersama narator di Rumbuk Randu.
Jelas sekali, ia sudah mendapatkan yang dibutuhkannya. Namun, ia tampaknya punya sedikit masalah. Beberapa orang di kerumunan, yang kemarin ikut mendengar cerita bersamaku, mengulangi keluhannya kemarin siang, meluapkan kesal dan maki yang belum tuntas ditumpahkan. Dan tentu saja, mengajukan gugatan-gugatan dan keraguan soal apakah cerita yang dikisahkannya memang benar-benar adanya. Apakah ia benar-benar tahu cerita itu;jikapun ia tahu, apakah ia menceritakan sebenar-benarnya; dan jikapun ia tahu dan menceritakan dengan sebenar-benarnya, kenapa di bagian cerita itu rasanya tidak masuk akal? Bagaimana Ia tahu obrolan Mat dan Inayatun di rumah kandangnya? Memang siapa dia? Bagaimana ia tahu perasaan Mat Dawuk saat istrinya meninggal? Apakah Ia Mat Dawuk sendiri? Warto tersenyum meremehkan mendengar gugatan-gugatan itu. (Dawuk, hlm 87)
Pada Novel Aib dan Nasib, pembaca dibawa masuk menjelajah desa Tegalurung sekaligus ikut tinggal dan melihat kejadian-kejadian setiap hari masyarakat Tegalurung. Pembaca tidak hanya mendengar gosip saja melainkan ikut melihat, menikmati, bahkan nyinyir pada kejadian-kejadian yang dialami masyarakat Tegalurung.
Pergantian babak yang sangat pendek, yaitu satu-dua halaman membuat pembaca seperti hidup desa dan melihat tetangga-tetangganya. Gaya narasi pada setiap babak dan kalimat yang pendek hampir sama seperti gaya narasi Hemingway. Menurut Budianta (dalam Buditjahja, 2018:vii) Hemingway cenderung tidak menggurui dan tidak berkotbah dalam menulis, ia tidak pernah memberikan kesimpulan yang sudah jadi tentang tokoh, latar, alur, maupun tema. Gaya penceritaan Hemingway dinamakan objektif atau dramatik. Gaya ini dapat dilakukan denan menuliskan frasa hingga kalimat pendek, pada novel Aib dan Nasib, plot juga ikut pendek dan cepat berganti. Sangat dekat dan sangat acak tapi terkait satu dengan yang lain.
Untuk mengisi babak per babak, Minanto menyajikan ketegangan pada akhir babak. Ketegangan pada novel Aib dan Nasib cenderung serius, dan disertai dengan emosi berupa kemarahan, keheranan, atau ketakutan.
“Saking keras Susanto memelintir lengan Boled Boleng, ia pun bergeming dengan agak gemetaran. Celana dipelorotkan dan nampaklah pantat Boled Boleng. Ia diperintahkan menungging sambil menoleh ke samping, menghadap kamera HP. Dan dalam hitungan ketiga, berkilatlah sinar dari kamera itu. Menangkap penampilan Boled Boleng dalam keadaan setengah telanjang” (hlm 85)
Berbeda dengan ketegangan novel berjudul Orang-Orang Oetimoe (2019) karya Felix K. Nesi yang cenderung humoris sekaligus satir. Perbedaan tersebut justru menunjukkan karakter dua daerah yang berbeda. Felix menunjukkan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) yang humoris, sedangkan Minanto ingin menunjukkan masyarakat Tegalurung yang selalu berkonflik karena tuntutan hidup. Berikut adalah contoh ketegangan yang humoris pada kutipan novel karya Felix:
Dua orang itu lalu bersepakat untuk menggoreng dua butir telur yang lain. Satu untuk Silvy, satu untuk pak polisi. Sersan Ipi melihat buah pepaya muda di dekat kompor dan bertanya apakah Silvy suka sayur pepaya.
Saya suka, tentu saja, pahit dan kenyal, tetapi saya tidak bisa mengolahnya. Tidak ada di dalam buku resep.
“Serahkan kepada saya, Nona,” kata polisi itu. “Saya sudah lama hidup membujang. Saya bahkan tahu cara memngubah batu menjadi roti.” (Orang-Orang Oetimu, hlm 78)
Menggabungkan teknik gosip, pengaluran acak, hingga ketegangan pada setiap akhir bab bukanlah perkara mudah. Minanto seperti memainkan boneka matryoshka dan menyusun puzzle dengan ketekunan serta kepengrajinan yang tidak biasa. Tokoh utama dalam novel sangat banyak dan mendapat porsi yang cukup berimbang. Setidaknya ada sepuluh keluarga yang terdapat pada novel ini dengan keberimbangan cerita yang membuat tidak ada yang menonjol antara satu dengan lainya.
Pada dasarnya Aib dan Nasib, penulis memang ingin menyajikan keberimbangan pada setiap tokoh dan membuat pembaca “seolah-olah” menjadi salah satu warga Tegalurung yang melihat beragam peristiwa di sana. Pembaca perlu mengernyitkan dahi untuk membedakan satu tokoh dengan tokoh lainya. Salah satu penyebabnya adalah nama-nama tokoh yang hampir sama. Nama-nama yang sama itu antara lain; Sota,Susanto, Ratminah, Yuminah, Rusniti, Bagong, Bagong Badrudin, Boled Boleng, Baridin, Nurumubin.
“Demi Gusti Pangeran, aku lebih senang kalau kamu berteman dengan Boled Boleng,” ujar Badrudin kepada Bagong setiap kali bertengkar perihal Susanto” (hlm 64)
Pemilihan nama tokoh dalam novel Aib dan Nasib hampir sama seperti teknik pemilihan nama tokoh dalam novel gabriel Gracia Marquez berjudul Seratus Tahun Kesunyian (2018). Dalam novel tersebut, banyak sekali nama-nama tokoh mirip seperti; Jose Arcadio Buendia, Kolonel Aureliano Buendia, Jose Arcadio, Aureliano Segundo, Jose Arcadio Segundo, Arueliano. Pada dasarnya memang nama-nama penduduk di sebuah tempat cenderung mirip-mirip meski tidak satu saudara. Ada upaya dari penulis untuk menyajikan Macondo (latar tempat dalam Seratus Tahun Kesunyian), seperti Tegalurung, setidaknya dari penamaan tokoh. Perlu pembacaan yang cermat untuk mengimajinasikan usia dan ciri fisik tokoh.
Selain bentuk penokohan, bentuk penulisan Aib dan Nasib yang dipengaruhi oleh Seratus Tahun Kesunyian juga terlihat pada pembagian plot dan penulisan alur. Waktu dalam novel Aib dan Nasib seolah diacak atau dijungkirbalikkan oleh penulisnya. Bentuk penulisan ini cenderung digunakan oleh penulis Amerika Latin. Berikut adalah contoh penulisan yang diambil dari novel Seratus Tahun Kesunyian;
Bertahun-tahun kemudian saat menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu sekali, ketika diajak ayahnya melihat es. Waktu itu Macondo hanyalah desa dengan dua puluh rumah berdinding tanah, di tepi sungai berair jernih dengan dasar dari batu-batu halus bagai dipoles, besar dan putih, seperti telur prasejarah. (Seratus Tahun Kesunyian, hlm 9)
Bentuk permainan alur yang demikian juga dapat dijumpai pada karya penulis Amerika Latin lainya seperti dalam novel Pedro Paramo (2017) karya Juan Ruflo. Aib dan Nasib memang tidak sepenuhnya mengadaptasi bentuk penulisan Seratus Tahun Kesunyian, ada modifikasi khususnya pada bagian kecepatan dan keringkasan dalam memainkan plot. Plot yang digunakan oleh Aib dan Nasib lebih ringkas, dan saling susun menyusun satu dengan yang lain sehingga membentuk sebuah kesatuan. Adanya garis pemisah yang menandai satu plot dengan plot lain pada setiap bab juga membantu pembaca dalam mengimajinasikan jala cerita. Minanto juga tidak terlalu sering melemparkan waktu mundur terlalu jauh seperti halnya Marquez dalam Seratus Tahun Kesunyian.
Selain pada bentuk permainan alur dan penyusunan plot, ada pengaruh gaya penulisan Amerika Latin lagi pada gaya penulisan Aib dan Nasib. Gaya penulisan tersebut dapat dilihat dari teknik memasukkan unsur realisme magis pada cerita. Menurut teori naratif Faris (2004), ada lima kategori utama sebuah karya disebut sebagai realisme magis yaitu (1) unsurnya tidak tereduksi, (2) adanya dunia fenomenal, (3) keraguan yang goyah, (4) dimensi realitas yang bercampur, dan (5) disrupsi pada waktu, ruang, dan identitas. Berikut adalah contoh kutipan unsur realisme magis pada Aib dan Nasib.
Begitulah ia merasa malam itu sangat mengerikan. Ia duduk saja memandangi karung itu. Ketika kelopak mata terasa berat, tba-tiba karung itu menggelinding ke arahnya, dan teronggok di antara kakinya. Samar-samar ia mendengar dengus nafas dari dalam karung dan keretak-keretak mendesak ingin keluar. Ia pun terkesiap saat mendengar Dulohminta dilepaskan, “Bapak Sota, leherku patah. Sakit sekali. Aku mau minta urut sama ibu” (Aib dan Nasib, hlm 11)
Pada dasarnya realisme magis bukan hanya sekedar memasukan unsur magis pada realitas. Menurut Sunlie Thomas Alexander dalam pembacaanya atas Dawuk (2020: 165), realisme magis dapat digunakan sebagai alat perjuangan menolak dan melawan dominasi kultur barat, sekaligus mengandalkan akar-akar budaya sendiri. Selain Aib dan Nasib, sesungguhnya karya sastra Indonesia banyak yang dipengaruhi gaya penulisan realisme magis dari Amerika Latin. Salah satu hal yang paling mencolok adalah bagian pembuka novel Eka Kurniawan berjudul Cantik itu Luka.
Sore hari, di akhir pekan bulan Maret, Dewi Ayu bangkit dari kuburan setelah dua puluh satu kematian. Seorang bocah gembala dibuat terbangun dari tidur siang di bawah pohon kamboja, kencing di celana pendeknya sebelum melolong, dan keempat dombanya lari di antara batu dan kayu nisan tanpa arah bagaikan seekor macan dilemparkan ke tengah mereka. Semuanya berawal dari kegaduhan di kuburan tua, dengan nisan tanpa nama dan rumput setinggi lutut, tapi semua orang menganggapnya sebagai kuburan Dewi Ayu. Ia mati pada umur lima puluh dua tahun. Hidup lagi setelah dua puluh satu tahun mati, dan kini hingga seterusnya tak ada orang yang tahu bagaimana menghitung umurnya.(Cantik itu Luka, hlm 1)
Gaya penulisan dengan memasukkan unsur realisme magis pada dasarnya menggunakan dua teknik utama yaitu underestimate dan hiperbola. Teknik underestimate dilakukan dengan cara menganggap hal yang seharusnya tidak wajar menjadi wajar. Contohnya adalah suara arwah Dollah dari dalam karung seperti yang dicontohkan pada kutipan Aib dan Nasib (hlm.11) di atas. Underestimate juga diterapkan oleh Juan Ruflo, penulis yang mempengaruhi gaya realisme magis Gabriel Gracia Marquez. Dalam novelnya berjudul Pedro Paramo, Juan Ruflo memulai novelnya dengan seorang tokoh bernama Juan Preciado yang disuruh ibunya untuk menemui ayahnya bernama Pedro Paramo di Kota Comala. Di kota tersebut, Juan Preciado ternyata berinteraksi dengan para arwah. Interaksi tersebut dilakukan dengan sangat biasa seperti mengobrol dengan orang hidup. Selain undersetimate, ada juga teknik hiperbola.
Hiperbola merupakan majas yang digunakan untuk melebih-lebihkan sesuatu. Pada novel Aib dan Nasib, hiperbolanya adalah arwah Dullah yang dapat memanggil-manggil nama Bapak Sota (hlm.11). Hal ini mirip dengan hiperbola yang terdapat pada Novel Cantik Itu Luka. Pada novel tersebut, tokoh Dewi Ayu yang sudah mati, bangkit setelah 21 tahun dikubur (hlm 1).
Refraksi Isi
Isi dalam karya sastra tentu tak lepas dari imaji yang ditawarkan oleh penulis pada pembaca. Berbicara tentang imajinasi, maka imaji yang diceritakan dalam novel Aib dan Nasib ini adalah imajinasi literer. Imajanisai literer merupakan imajinasi yang diharapkan oleh pembaca atau yang sudah menjadi konsensus secara umum. Imajinasi literer cenderung menuruti selera masyarakat umum dan biasanya dipengaruhi oleh modal baik kapital maupun simbolik.
Imajinasi literer yang paling jelas adalah imajinasi yang diucapkan oleh Kicong pada Gulabia. Dikisahkan Kicong dan Gulabia pernah pacaran. Namun karena Kicong menghamili Gulabia di luar nikah maka akibat buruk harus ditanggung keduanya. Gulabia memilih untuk bersama Kartono si supir angkot, sedangkan Kicong memilih dijodohkan.
‘”Kedua orang tua pemuda tampan itu, meskipun pekerja buruh kasar, berani menyekolahkan anaknya sampai tinggi. Namun, tanpa mereka tahu, si pemuda alih-alih belajar tekun demi masa depan, ia belajar menjadi belangsak dan mempermainkan hati para gadis, sampai nasib mengajukan dia persoalan semacam piliahan ganda: jika ia memilih kunci A, maka ia tidak dapat menikahi gadis pujaan, tetapi bersedia menjadi suami seorang janda tua pemilik kebon. Namun, jika ia memilih kunci B, maka ia dapat menikahi gadis pujaan, tetapi tidak dapat membebaskan orang tua dari kemelaratan” (hlm 183)
Pada dasarnya kejadian hamil di luar nikah sangat mudah ditemukan baik pada masyarakat desa maupun kota. Namun tidak semua berakhir buruk, ada yang malah bahagia dan diceritakan apa adanya.
Masih pada tokoh Gulabia. Imajinasi literer berikutnya terjadi antara Gulabia dan orang tuanya. Dikisahkan orang tua Gulabia adalah seorang Kiyai dan anaknya sangat nakal. Imaji ini sangat patriarki dan sangat kuno. Generasi tua dianggap superior dan lebih benar daripada generasi muda sehingga ketika generasi muda melakukan kesalahan maka sudah layak dan sepantasnya apabila generasi muda bernasib malang.
“ Bapak Gulabia itu seorang kiai. Kau tidak takut?”
“Ini bukan perkata dia seorang anak kiai atau bukan. Kalau seorang gadis merasa enak, mana sempat dia berpikir kalau dia adalah anak seorang kiai,” ujar Kicong (hlm 78)
Ketika saya mencoba membandingkan dengan cerita yang mengangkat lokalitas dari Madura, yaitu Tandak (2016) karya Royan Jullian. Posisi kiai pada Aib dan Nasib sangat berbeda dengan kiai pada Tandak. Pada cerita Tandak, sosok Kiyai berperangai buruk dengan memperkosa santrinya. Royan menyajikan fakta lain dari tokoh bersiombol agama. Dia menyajikan sisi abu-abu pada tokoh yang mendapat legitimasi bersifat putih atau baik.
Imajinasi literer berikutnya pada Aib dan Nasib adalah nasib buruk yang menimpa Marlina. Dikisahkan Marlina adalah putra sulung dari tiga bersaudara. Ia harus menghidupi ayahnya dan kedua adiknya. Namun perkataan Marlina pada ayahnya sangat buruk sehingga dia mendapat nasib sial.
“Keluarga sampean keluarga telembuk,” pekik Marlina. Dan berlarilah ia saat Nurmubin hendak melemparkan sapu itu sembari berkata, “Kusumpahi kau tidak akan pernah kawin dengan Eni.” (hlm 21)
Kedurhakaanya pada orang tua juga berpengaruh pada nasibnya pada istrinya. Dominasi maskulin Nurumubin baik pada anak dan menantunya membuat hubungan rumah tangga Marlina dan Eni istrinya retak. Tuntutan hidup yang dituntut oleh Nurumubin dan dua adik Marlina membuat Eni harus bekerja menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Singapura. Saat di Singapura, Eni kepergok memasang foto dengan lelaki lain sehingga Marlina semakin kalut. Nasib sial terus seperti yang dialami Marlina. Belum lagi ketika Marlina tidak bisa kontraksi dan Eni mencuri waktu meraba-raba adik laki-laki Marlina untuk memenuhi hasratnya akibat suaminya mengalami ejakulasi dini.
Pada akhir cerita, Marlina mati. Kematian Marlina juga terasa Deus ex machina. Kematian yang seolah dipaksakan oleh penulis. Kematian ini sama dengan kematian Uripah. Orang gila yang diperkosa, kemudian bisa lolos dan akhirnya tertabrak mobil.
Boled Boleng menyergap tambang yang mengikat tangan Uripah, dan dengan susah payah pula, akhirnya ikatan itu terlepas. Secepat ikatan itu lepas, secepat itu pulalah Uripah menghambur ke arah pintu depan. Tangisan tidak berhenti saat ia berlari keluar pintu. Boled Boleng melihat Uripah sempat tersandung batu, jatuh, kemudian bangun dan berlari lagi, sampai di jalan aspal, decit rem sebuah mobil mengaramkan tangisan itu (hlm 253)
Kekuatan Imajinasi literer juga terlihat pada caleg yang gagal karena politik uang. Faktanya tidak semua caleg gagal karena politik uang. Politik uang tetap bisa memuluskan langkah seseorang untuk bisa maju ke anggota legislatif tanpa mengalami azab apapun. Kegagalan caleg politik uang merupakan harapan bersama atau imaji bersama masyarakat pada umumnya. Romantika ini sangat erat keitanya dengan aliran sastra romantisme dimana posisi yang baik selalu menang dan yang jahat selalu kalah.
“Jadi begini, Marlina,” ujar Kaji Basuki memulai pembicaraan. “Uangku sudah habis-habisan untuk pasang baliho, poster, dan bagi-bagi amplop ke orang-orang. Jadi, untukmu aku belum bisa kasih” (hlm 210).
Simbol Imajinasi literer juga tampak pada warna bendera kuning yang diusung caleg. Mentalitas inferior pada orba membuat bendera kuning diidentikan dengan partai superior era orba dan selalu dikaitkan dengan kejahatan. Padahal pada pemilu 2019 lalu warna partai beragam, dan tidak semua warna partai kuning jahat. Bisa jadi warna partai yang tidak kuning justru jauh lebih jahat. Imajinasi literer yang tidak kontekstual meskipun mengangkat peristiwa lokal.
Menurut Arief Budiman, sastra kontekstual merupakan sastra yang tidak mengakui keuniversalan nilai-nilai kesusastraan. Nilai-nilai sastra terikat oleh waktu dan tempat. Nilai-nilai tersebut terus tumbuh dan berbuah sepanjang sejarah. Nilai-nilai tersebut berbeda dari tempat ke tempat, dari waktu ke waktu, dari kelompok manusia yang satu ke kelompok manusia yang lain (suku, agama, kelas sosial, dan sebagainya). Hanya dengan mengakui kenisbian nilai ini, maka sastra kita dapat berkembang di buminya yang nyata, bukan di dunia yang diidealkan. (Heryanto, hlm 105)
Berdasarkan pengertian tersebut, Aib dan Nasib cenderung mengamini imaji literer serta keuniversalan karya sastra. Imajinasi seperti ini mengingatkan pembaca pada imajinasi era awal kemunculan Balai Pustaka. Novel (saat itu disebut roman) pertama yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengasara. Dalam ulasan A.Teuw (1978), pelukisan watak-watak roman Azab dan Sengsara dalam bentuk hitam dan putih dan gaya karangan merayu-rayu. Kondisi ini sama seperti Aib dan Nasib, kecuali dalam aliran sastra yang romantisme. Jika pada Azab dan Sengsara, Teuw menduga karena penulisnya dididik di sekolah ‘Barat’ sehingga terbentuk dengan kebebasan masyarakat modern. Ketika melihat kondisi masyarakat tradisional, penulis seolah ingin memberontak dan mengkritisi. Pertanyaan yang muncul adalah apakah kesamaan situasi juga terjadi pada penulis Aib dan Nasib? Jika Azab dan Sengsara dulu ditulis ketika Hindia Belanda mengalami gegap gempita revolusi mesin cetak, maka Aib dan Nasib ditulis ketika Indonesia mengalami gegap gempita revolusi digital.
Kesamaan berikutnya adalah penulis Aib dan Nasib serta Azab dan Sengsara sama-sama terdidik hingga tingkat pendidikan tinggi sesuai zaman masing-masing, dan mengamati fenomena masyarakat berupa keterkejutan budaya (cultural shock) di luar ruang kelasnya. Ini menimbulkan pandangan bahwa masyarakat yang tidak terdidik beraib buruk hingga bernasib sial, terkena azab hingga sengsara.
Sosiolog Edward Said dalam bukunya Orientalisme (2010) mengatakan bahwa kolonialisme menimbulkan jejak-jejak orientalisme. Jejak orientalisme keempat adalah representasi Timur. Jejak ini berarti bahwa sang orientalis memandang Timur dari kacamata Barat dan akan menganggap Timur menjadi baik jika mengimitasi standrad Barat. Kondisi demikianlah yang terjadi pada Aib dan Nasib. Tolok ukur Aib dan Nasib masyarakat Tegalurung yang notabene tidak sepenuhnya mengenyam pendidikan, coba diukur dengan standrad moral pendidikan penulisnya. Tidak ada upaya untuk mendekonstruksi standard moral masyarakat Tegalurung dengan selera masyarakat itu sendiri.
Pierre Bourdieu (dalam Haryatmoko 2016) mengatakan bahwa selera manusia dipengaruhi oleh modal, habitus, arena, dan trajektorinya. Ketika ditinjau lebih lanjut, modalitas antara manusia yang berpendidikan tinggi dengan yang tidak berpendidikan tinggi saja sudah berbeda, belum lagi habitus, arena, dan trajektorinya. Perbedaan inilah yang membuat selera itu beragam. Keberagaman selera ini tentu tidak bisa disamakan. Penulis harus mau untuk melakukan observasi partisipatoris, yang tidak hanya sekedar tinggal bersama masyarakat sekitar (secara fisik) tapi juga ikut merasakan suka dan duka yang dialami masyarakat (secara empati). Kondisi ini harusnya ditulis secara berimbang sehingga tidak menimbulkan penghakiman pada masyarakat.
Salah satu prosa fiksi yang berhasil mengangkat lokalitas dan benar-benar menyuarakan kebebasan adalah prosa fiksi yang ditulis oleh Istifari bertajuk Perempuan Tembakau (2020). Cerita ini berkisah tentang perempuan di Pulau Madura yang bekerja sebagai pengangkut Tembakau. Sebagai orang Madura, Istie melihat ada kekuatan dari para perempuan pengangkut tembakau itu. Istie tidak menghakimi kegiatan mengangkut tembakau yang dilakukan oleh perempuan sebagai dampak dari rendahnya taraf pendidkan mereka. Perempuan Tembakau yang diangkat oleh Istie benar-benar menyampaikan bahwa kecerdasan manusia (khususnya perempuan) itu beragam, dan kebahagiaan dalam hidup dapat ditempuh dengan beragam cara.
“Sebagai istri petani tembakau, Salimah lebih banyak menghabiskan waktu di sawah. Mula-mula ia membantu suamina, kemudian mengembangkan sendiri berbekal pengetahuan bercocok tanam dari suaminya. Salimah memberikan hati sepenuh-penuh pada tembakau,tidak hanya menjaga dan merawat tembakau yang sebagaian dirayapi ulat atau membusuk. Ia mengenal dengan baik nama dan rasa tembakau dari suaminya; pemasat dan pengering tembakau untuk konsumsi pribadi” (Perempuan Tembakau, 2020)
Aliran Baru
Ketika kita melihat riwayat prestasi novel Aib dan Nasib, tentu tidak bisa melepaskan diri dari lembaga yang meligitimasi kemenangan novel tersebut. Ada upaya dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk membentuk selera pembaca sekaligus merangsang keberanian penulis menghasilkan karya yang jungkir balik. Secara historis, DKJ memang rajin melakukan itu sejak dulu.
Jacob Sumardjo pada tahun 1979 mengatakan bahwa DKI (Pemerntah DKI Jakarta) melalui DKJ-nya tiap tahun juga menyelenggarakan sayembara penulisan, yitu roman dan drama. Adanya sayembara ini berhasil merangsang para penulis Indonesia untuk berkarya. (1979:7)
Pada tahun tersebut, Jacob juga membabtis kriteria novel serius dan novel hiburan. Ia juga memisahkan antara jalur sastra “resmi” dan tidak resmi. Pada pengantar novel Indonesia Mutakhir, Jacob menutup dengan pujian pada Putu Wijaya terkait dengan upaya kreatifnya menulis novel “inovatif” berjudul Telegram dan Stasiun. Meski belum diterbitkan, Jacob sudah menjunjung karya tersebut karena tidak mematuhi kerangka plot novel konvensional. Estetika sastra memang perlu diprioritaskan agar sastra dapat memproduksi makna. Menurut Goenawan Mohammad (2017), kematian kesusastraan bukanlah karena sensor dan pemberangusan. Namun, kematian kesusastraan ialah bila ia membuat kita semua tidak bisa menari dengan makna.
Memberi ruang estetika bagi sastra untuk dapat merawat makna, merupakan upaya untuk menjaga keberlangsungan kehidupan karya sastra itu sendiri. Berdasarkan tinjauan historis, telah disebutkan bahwa DKJ selalu konsisten dalam usahanya menciptakan selera sastra baru melalui bentuk dan isi, dari masa ke masa. Konsistensi seperti itu berulang melalui sayembara yang diselenggarakannya, bahkan hingga novel Aib dan Nasib yang menang pada tahun 2019.
Pada perhelatan sayembara sastra satu dekade ini, ada kesan dari DKJ untuk memindahkan estetika dari estetika klasik menuju estetika flow. Karya-karya yang memiliki kebaruan baik dari segi bentuk maupun isi mendapat tempat untuk diresonansi oleh pembaca. Kebaruan tersebut dapat dilihat dari setiap refraksi yang disajikan oleh penulis melalui karyanya sehingga melahirkan estetika baru, khususnya estetika flow.
. Selepas peristiwa reformasi 1998, Korie Layun Rampan membabtis angkatan 2000 melalui bukunya Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (2000). Momentum ini diambilnya ketika banyaknya sastra yang bermunculan atas peristiwa tersebut. Paus Sastra Indonesia, H.B Jasin dalam bukunya bertajuk Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (2018), berkata bahwa angkatan sastra cenderung terbentuk dalam kurun 15-20 tahun. Jika kita berpegang pada pendapat Jassin, tersebut seharusnya tahun 2020 ini sudah saatnya muncul angkatan sastra baru. Dua puluh tahun pasca Korie Layun Rampan menabiskan angkatan 2000 an, masih belum ada aliran sastra baru. Syarat untuk menjadi suatu angkatan adalah adanya sekelompok sastrawan seangkatan itu yang memiliki benang merah dari segi karya. Kebaruan tersebut dapat terlihat dari segi bentuk dan isi.
Baru bukan berarti tanpa aturan dan “liar” buka juga tak terarah, harus ada kredo yang jelas agar estetika dalam karya tetap terjaga. Berdasarkan analisis bentuk dan imaji yang sudah dilakukan, terlihat bahwa kredo Aib dan Nasib condong pada karya Amerika Latin yang telah mengalami modifikasi. Pasca diterbitkannya Cantik itu Luka, aliran realisme magis yang menonjolkan eksistensi dari negara dunia ketiga melalui lokalitas cenderung mendominasi gaya novelis Indonesia. Secara historis, penulisan sastra Indonesia memang tak dapat dilepaskan dari dinamika sastra dunia. Kredo tersebut dikemas melalui estetika flow yang terbukti berhasil dimainakan oleh Minanto.
Pada era Balai Pustaka, muncul aliran Romantsime dari Amerika. Novel Salah Asuhan (1928), Azab dan Sengasara (1920), dan Tenggelamnya Kapal van Der Wick (1938) adalah contoh-contohnya. Era romantisme beralih pada era realisme sosialis. Novel-novel Rusia yang berkiblat dari Kafka, Maxim Gorcky, dan sastrawan Rusia lainya mempengaruhi gaya penulisan Pramoedya Ananta Toer. Dari Rusia yang cenderung reliamse sosialis, beralih ke arah Amerika Latin yang mengusung realisme magis seperti yang dilakukan Marquez, Juan Ruflo yang mempengaruhi Eka Kurniawan, A.S. Laksana, hingga Minanto pada Aib dan Nasib.
Meskipun demikian, alangkah baiknya Novel Aib dan Nasib tetap didukung atas dasar keberanian Minanto dalam bereksperimen dan keuletanya membangun ketegangan pada setiap alur. Bisa jadi keberanian ini dapat menjadi peletup bagi para penulis sastra untuk berani melakukan eksperimentasi baik dalam segi bentuk maupun isi. Ketika eksperimentasi dalam segi bentuk sudah berhasil seperti dalam novel aib dan nasib, tidak ada salahnya jika diikuti eksperimentasi dalam segi isi. Kemunculan Novel Aib dan Nasib bisa jadi sebagai pertanda inovasi mengemas lokalitas dari refleksi menuju refraksi.
Daftar Rujukkan
Alexander, Sunlie Thomas. 2020. Dari Benliyu ke Jalan Lain ke Rubuk Randu. Yogyakarta: Penerbit Gambang.
Bolter, David. 2019. Digital Plenitude. Massachusetts: MIT Press.
Budianta, Melani. 2018. Kumpulan Cerita Pendek Ernest Hemingway. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Buditjahja, Ursula Gyani (penerjemah). 2018. Ernest Hemingway: Salju Kilimanjaro.Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Hariadi, Cyntha. 2016. Ibu Mendulang Anak Berlari. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: Kanisius.
Heryanto, Ariel dkk. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali.
Ikhwan, Mahfud. 2017. Dawuk: Kisah Kelambu dari Rumbuk Randu. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Jassin, Hans Bague. 2018 (edisi terbaru). Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Yogyakarta: Pustaka Narasi.
Julian, Royyan. 2016. Tandak. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Tiimur.
Marquez, Gabriel Gracia. 2018. One Hundred Years of Solitude. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Minanto. 2020. Aib dan Nasib. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Mohamad, Goenawan. 2017. Pada Masa Intoleransi. Yogyakarta: IRCiSoD.
Nesi, Felix K. 2019. Orang-orang Oetimu. Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Pasaribu, Norman Erikson. 2016. Sergius Mencari Bacchus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Ruflo, Juan. 2017. Pedro Paramo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Said, Edward W. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jacob. 1979. Novel Indonesia Mutakhir; sebuah kritik. Yogyakarta: C.V. Nur Cahaya.
Teeuw, A. 1980. Sastra Indonesia Baru. Ende: Penerbit Nusa Indah.
Naskah ini merupakan naskah terpilih yang dibukukan dalam Sayembara Kritik Sastra
“Relasi Sastra dengan Kearifan Lokal, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif”
HISKI Komisariat Bali dan Balai Bahasa Provinsi Bali Tahun 2020.