METAFORA MATA HUTAN MAHANG
Aku mulai menyukai tatapan mata mistik dari balik belukar
Berada disekitar tepian atau tengah hutan yang menarikku kearahnya
Haribaan hijau kelam telah menelan seluruh bayang bayang
Dan burung burung segala warna memecahkan dirinya dibalik kabut
Kita kembali menukik dalam langkah ragu ke arah jurang lain
Menemukan kembali gema kosong dan nada nada berat bebatuan
Sebelum malam yang selalu menghilangkan jejak menujumu
Mungkin ribuan lebih dengung atau gumam serangga menyeru
Membangunkan irama aneh menciptakan labirin waktu berulang
Sulur duri yang nampak seperti ular panjang, melintang ke udara
Seolah memintaku mengulang gairah awal di hari lain
Tak ada api untuk memandang dirimu sendiri saat ini
Karena lolongan panjang yang menyeretmu lebih dalam
Kedasar palung angin lembah tanpa penjuru
Helai demi helai daun yang berjatuhan mengobarkan cahaya senyap
Menandai batas angin dan maut di setiap persimpangan
Gerak mati
Diam mati
Masuklah kedalam bejana kebisuan yang terbentang
Pada ceruk hitam pekat, simpanlah namaku, nama kita sekejap
Saatnya untuk memejamkan mata, hidup menapak perlahan
Celah pohonan merah hitam, langit lebih dekat
Mendekap gedebur gelombang hutan baka,
Meledakannya antara dada dan kepala
Base Camp Sikuy, 2014
BELAJAR MEMBACA HUTAN
Sejak aku bisa membaca kitabmu tentang kebajikan alam.
Hidup dan kematian, aku begitu riang menjalani tepian hutan
Sampai ke palung dan luncuran tebing batu lumut, betapa heran
Tak satupun kalimat kutemukan di pelataran hutan di sini
Selain deru gergaji mesin yang menggorok ribuan pohonan
Seperti sedang memenggal bahasa manis dari sebuah kitab
Kayu mati, hutan sunyi yang menghujamkan serapah padaku
Landak, musang, babi hutan dan pelanduk mati, bunga cantik
Mati, aku juga si mati yang terpekur dalam labirin tak bernafas
Udara juga mati, sebagaimana sebuah lukisan yang menggigil
Aku tutup kitabmu dan mulai melompat ke segala penjuru
Mulai menarikan gerakan mati tentang peradaban hutan mati,
Kitabmu pun mati, sesudah 1000 senja menukik ke arah jantungmu
Aku kini dengus anak babi hutan yang kesal, menyeruak di atas
Puing dan bara arang, memandang huruf huruf alam mati,
Embun membatu di urat nadi di sini,
Kalau nanti bianglala datang suatu hari, biarkan terbenam sendirian
Karena kuncup dan tunas daun meranti, balau, kruing telah rebah
Yang tersisa cuma potret atau lukisan para pemimpi dengan jari tercekik
Mencari warna hijau dari deru truk loging dan kabut asap di dadamu
Akulah arang, berdecak mengunyah api yang mereka nyalakan
Bertahun tahun yang lalu, ketika sebuah kitab gagal menerbangkan
Sayap patah, kaki kaki biawak patah,, lengan lelaki tanpa wajah patah.
Dan sisa kalimat yang kuhafal juga patah,
Meninggalkan sisa abu arang, lolongan jiwa di fajar jurang
Haragandang, 2014
TARIAN MER
……”…susu yang inilah, susu yang itulah…
Syair lagu dangdut itupun memantul ke dinding kayu,ke jendela
Berkelambu, gerit lantai kayu melambungkan tubuh yang landai
Para perempuan yang meraung dengan senyuman terus berderai
Dari pinggul dan paha paha mereka berloncatan lintah, kalajengking
Dan ular, dan malam yang lebih dulu merah padam
Puing puing sepi seketika luluh lantak dalam hisapan api
Dari bahu dan lengan lengan mereka terlontar pecahan kaca,
Dan duri, dan malam yang telah menyisakan bara arang
Tubuh beling yang tak henti bergeliat, menjelmakan bayang
bayang luka sepi lukalukamu, luka senyap lukalukaku, luka hampa
lukaluka batu, luka melolong dalam serigala luka, luka mengaum,
macan luka, jadi serbuk atau gelembung setubuh setubuh
……” susu yang inilah, susu yang itulah..”
Irama arang yang bertebaran bilik bilik kayu mendidihkan
Waktu terasa sangat tajam menyodorkan perih jurang terjal
Otot dan kelenjar besi lelaki yang terpotong potong sudah
Di situ, tubuh kaca yang menari melepas dua payudara pecah,
Wajah berbedak pecah, membelah udara dan tenggelam
Malam merah hitam memanjat ke ujung ujung kepedihan
Lebih tinggi mengangkat tubuh makin tinggi membubung
Sesaat ciuman api yang menghanguskan melenyapkan
Sisa sayatan membekas teramat panjang,
Hidup terbelalak sejenak bahu, lengan, payudara, zakar,
gerit kayu, melepaskanmu gelombang abu
Muara Teweh, 2014