Rebah pada Malam
saat rebah pada malam
kupandang kesepianku
ada bunga di matamu
di situ, kesendirianku menetaskan hujan
membasahi lantai-lantai, ada wangi menyapa
kulantunkan lagu luka ke telingamu yang sunyi
dengan nada-nada ganjil
ada sejarah tak terbaca dengan utuh
tentang kisah sepasang manusia
yang melintas pada malam-malam yang alpa
masih, aku rebah pada malam
bernyanyi dengan gelap penuh bunga
agar kau tahu, kesendirin itu lebih berarti
Malang, 2017
Jam Terbang Menghampiri Bulan
Jam terbang menghampiri bulan
Membawa kisah-kisah tentang kesepian
Hujan bergegas tiba, malam menjadi basah
Aku menggigil dalam kesendirian
Melayang dalam kehampaan
Bunga-bunga tumbuh dari langit
Mekar di antara sunyi dan menjadi wangi
Gemuruh pertanyaan,
Dari kisah masa lampau
Menjelma rindu yang gegabah
Luka adalah hari-hari yang harus ditinggalkan
Sesudah hujan turun, langit masih basah
Sebelum tandas dimakan usia
Malang, 2017
Cinta yang Tak Pernah Turun Tiba-Tiba
Cinta tak pernah turun tiba-tiba dari langit-langit kamar. Ada mata beningmu memandang harapan yang rapuh seusai gairah menjadi doa di malam-malam penuh dusta. Rambut hitammu tergerai diembus kipas angin. Dan aku memanjat ke langit lewat tubuh sintalmu.
Masih kau pertanyakan cinta saat gelap kamar ketika lampu tiba-tiba padam sebab belum bayar tagihan bulanan. Dan rasa lapar dan cinta bergumul dengan desah dan luka.
Malang, 2017
Di Meja Kopi
Tersadar. Kita saling bertukar pandang dari pikiran-pikiran yang janggal. Retak di setiap senyuman, di meja kopi di ruang tunggu, tempat bertemu. Dan pada jarak pandang ada kekasihmu dan aku hanya memandang. Kabut perlahan menaik dari asap kopi. Tiba-tiba gerimis turun dari sisa kesal atas kasih yang tak tuntas tereja.
Aku melihat diriku, melihat warna kopi. Pekat. Ada ingatan tentang buruh-buruh kebun kopi. Keringatnya tergiling dalam serbuk-serbuk kopi. Ada perih. Aku melihat diriku, melihat Douwes Dekker yang terusir dari rindu dari orang-orang kecil dari hati kecil dan dari cinta. Apa aku kalah. Di meja kopi, aku masih terjaga. Memikirkan ampas kopi.
Malang, 2017.
Saat Diriku Jatuh
Saat mataku mengabur, tak bisa kulihat
dalam jarak pandang dekat. Aku pergi
menaiki bukit-bukit di pinggiran kota.
Melihat langit kehilangan matahari
dan lampu-lampu mulai menyala.
Aku temukan diriku dalam kealpaan
membacamu. Tak bisa kupandang
dalam jarak dekat. Aku masih berjalan
di antara pohon-pohon yang meneteskan
air mata dan daun-daun memeluk kakiku
hendak berkisah tentang kota yang renta
seperti diriku yang entah.
Malang, 2017
Sebelum Aku Berjumpa denganmu
Sebelum aku berjumpa denganmu,
hanya kesendirian yang kutemui.
Ada yang tak ajek dalam kelanaku,
berhadapan dengan hari-hari muram
dan gelisah. Tak ada yang punya makna,
hanya luka dan menunggu dengan resah.
Kulihat ruang tamu penuh debu.
Ada bunga Melati tinggal, tak wangi.
Dan dinding-dinding yang berlumut.
Dan jawaban-jawaban tidak ketemu.
Semuanya serasa mati. Kaku dan meringkuk sunyi.
Keasingan kerap bertandang dalam sepi.
Hujan menjadi musim yang menghantui.
Kemiskinan diri dan tuhan yang pergi.
Kau datang membawa kisah-kisah
Pada malam yang mencium lantai
Malang, 2017