: terkenang wahyu prasetya
Dia memasuki hutan. Medan hutan yang dia masuki begitu lebat dan
sulit. Sebelumnya, dia menyinggahi warung.
Pemilik warung mewanti agar dia jangan gegabah. Sebab hutan
yang dimasukinya sering menidurkan orang-orang. Tapi dia terus
memasuki hutan. Semakin memasuki, dia merasa hutan telah
mengurungnya.
Dia pun memutuskan mencari jalan keluar. Tapi pencarian jalan
keluar tak membuahkan hasil. Dia justru menemukan tebing, seperti
pembatas hutan. Tebing itu begitu tinggi sehingga mustahil
memanjatnya.
Beruntung dia menemukan goa di tebing. Dia berfirasat goa
berujung keluar dari hutan. Dia nekat memasuki goa itu tanpa
pencahayaan. Dia mengandalkan rabaan tangan untuk berjalan.
Berapa jam terlewat lupa dia catat.
Ketika hawa goa makin lembab, dia merasa letih dan lapar. Dia
menyerah dan memilih kembali ke pintu goa. Sampai di pintu goa,
dia kaget melihat tak ada lagi hutan.
Dia justru melihat pematang sawah. Lalu dia mendekati petani yang
sedang beristirahat. Petani heran mendengar pertanyaannya tentang
apa yang terjadi dengan hutan. Petani menyuruh dia agar mencari
jawab di kota. Dia lekas pergi. Dan dia heran memandang wujud
kota yang belum pernah ditemuinya.
Dia memilih singgah lagi di warung. Sebelum duduk di kursi, dia
bahagia memandang potret wajah pemilik warung yang pernah
mewantinya. Dia bertanya kepada pegawai warung tentang sosok
di potret tersebut. Pegawai warung geleng-geleng.
Dia baru sadar bahwa pegawai warung adalah cucu pemilik warung
yang pernah mewantinya. Dia diberitahu pegawai warung bahwa
kakeknya meninggal lima belas tahun yang lalu.
Dia tak yakin, apakah terlalu lama memasuki goa. Atau dia justru
telah ditidurkan hutan.
Surakarta, 2019
Pernah dimuat di Kompas edisi 29 Juni 2019