Sastra Untuk Kemanusiaan


Musikalisasi Puisi?

Source: Poetry Without Borders

Jika yang dimaksud dengan musikalisasi puisi–atau musik puisi–adalah membuat puisi menjadi lagu, atau membuat suatu musik dengan bahan pokok puisi, berarti hampir semua musik dan lagu dapat dikatakan sebagai musikalisasi puisi, bukan? Istilah musikalisasi puisi atau musik puisi atau lagu puisi sampai saat ini tidak berhasil didefinisikan atau setidaknya disepakati unsur-unsurnya karena penggunaan istilah ini memang terkesan dipaksakan.

Sepertinya istilah musikalisasi puisi muncul sebagai pemitosan terhadap upaya kerja penggabungan musik dan puisi sehingga terlihat sebagai suatu pencapaian baru dalam kebudayaan, padahal kerja penggabungan musik dan puisi telah ada sejak lama. Bahkan di beberapa kesenian tradisi, musik dan puisi merupakan suatu hal yang tidak terpisahkan. Di Timur Tengah syair-syair biasa dibawakan dengan cara dinyanyikan atau dilantunkan. Di Indonesia lebih beragam lagi bentuknya, misalnya di Lombok ada pepaosan yaitu menyanyikan atau menembangkan naskah lontar, di Jawa dikenal sebagai macapatan.

Kerja penggabungan atau transformasi musik dan puisi ini juga eksis pada selain kesenian tradisi, misalnya pada tahun 1890 Debussy menggubah sebuah musik yang terinspirasi dari puisi karya Paul Verlaine yang berjudul ‘Clair de Lune’. Pada tahun 1960 Slamet Abdul Sjukur juga pernah membuat musik dari sajak Sugiarto Sriwibowo yang berjudul ‘Kabut’. Pada tahun 1969 Yoko Ono dan John Lennon merilis album musik bertajuk ‘Wedding Album’ yang di dalamnya terdapat sebuah lagu yang menyanyikan puisi juga yaitu karya Christina Rossetti yang berjudul ‘Who Has Seen The Wind’. Beberapa contoh ini membuktikan bahwa karya musik yang dibuat berdasarkan puisi, bukanlah suatu hal yang baru karena sudah lazim dilakukan di seluruh dunia. Anehnya hanya di Indonesia istilah musikalisasi puisi muncul seperti mitos, khususnya di kalangan praktisi non-akademisi musik.

Menurut Hamdy Salad, lewat bukunya ‘Panduan Wacana & Apresiasi Musikalisasi Puisi’ (2015), istilah musikalisasi puisi muncul pertama kali pada awal tahun 1970 ketika Deded Er Moerad membuat lagu dari puisi karya Umbu Landu Paranggi yang berjudul ‘Sabana dan Marumba Sareta’. Kemudian istilah ini semakin sering digunakan untuk karya-karya musik berikutnya yang dibuat berdasarkan puisi, seperti album Reda Gaudiamo tahun 1990 yang bertajuk ‘Hujan Bulan Juni’ yang dibuat dari puisi-puisi karya Sapardi Djoko Damono. Juga album Tan Lioe Ie tahun 2000 yang bertajuk ‘Kuda Putih’ yang berisi puisi-puisi karya Umbu Landu Paranggi.

Selain Hamdy Salad, banyak tokoh penyair/sastrawan maupun praktisi musik yang mencoba menulis tentang musikalisasi puisi yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku (berupa bunga rampai) yaitu ‘Musik Puisi Dari Istilah Ke Aksi’ (2005). Di dalamnya, Sapto Raharjo juga mengungkapkan hal serupa dengan Hamdy Salad terkait sejarah musikalisasi puisi di Indonesia. Awalnya poetry singing sering digarap oleh kelompok PSK (Persada Studi Klub) dengan membawakan puisi karya Umbu Landu Paranggi. Konsep pertunjukan dari kelompok PSK ini kemudian meluas ke para pegiat teater di sekitar tahun 1970 dan dikenal dengan istilah musik puisi.

Serupa juga dengan yang diungkapkan Iman Budhi Santosa dalam buku tersebut. Musik puisi lahir sekitar tahun 1960-1970 di Yogyakarta sebagai upaya untuk mengatasi kebosanan atau kejenuhan dalam menyaksikan pertunjukan baca puisi yang konvensional.

Setelah menjadi populer, istilah ini menjadi perdebatan tiada ujung. Banyak kemudian upaya yang dilakukan oleh para penyair, sastrawan, praktisi musik, maupun pegiat teater (sayangnya hampir tidak ada dari kalangan akademisi musik) untuk merumuskan apa yang dimaksud dengan musikalisasi puisi. Setidaknya dua buku yang disebut di atas telah melakukan hal ini. Hamdy Salad mencoba menjelaskan musikalisasi puisi sebagai “segala bentuk dan jenis karya musik yang digubah, dibuat, disusun berdasarkan teks puisi yang ditulis oleh penyair sebagai karya sastra dan telah dipublikasikan melalui media massa”. Tentu saja definisi ini mengandung bias. Pertama, media massa yang seperti apa yang dimaksud? Kedua, mana yang termasuk teks puisi yang ditulis oleh penyair dan sebagai karya sastra? Pada bias semacam inilah definisi yang dirumuskan oleh Hamdy Salad mengalami kegagalan. Bagaimana dengan lagu-lagu Bob Dylan yang tidak pernah diklaim sebagai musikalisasi puisi, tapi mendapatkan penghargaan nobel sastra?

Untuk membedakan musikalisasi puisi dari lagu, Hamdy Salad mengatakan bahwa lagu/nyanyian berawal dari komposer kemudian lirik lagu. Musikalisasi puisi berawal dari teks puisi kemudian komposisi musik. Perbedaan ini pun tidak berhasil dijelaskannya, karena kita tidak bisa menilai mana yang lebih dulu dibuat dalam sebuah lagu (musiknya atau liriknya) kecuali dari pengakuan pembuatnya sendiri, yang bisa saja mengandung bias. Tapi tampaknya dia memilih untuk mengabaikan kerancuan istilah-istilah ini dan melanjutkan penjabarannya. Dia kemudian membagi ragam ekspresi musikalisasi puisi menjadi: (1) Instrumentalisasi Puisi, model pembacaan puisi yang diiringi musik; (2) Laguisasi Puisi, menyanyikan puisi tanpa iringan musik; (3) Metalisasi Puisi, jenis lagu musik metal yang digarap berdasarkan teks sastra karya penyair terkenal; (4) Orkestrasi Puisi, transformasi total teks puisi menjadi komposisi musik; (5) Digitalisasi Puisi, memadukan unsur puisi dan bunyi melalui sistem komputer dan alat elektronik. Istilah-istilah ragam musikalisasi puisi ini justru semakin tidak bisa kita terima begitu saja karena muncul tiba-tiba secara ajaib tanpa kajian yang memadai.

Kemudian Tan Lioe Ie, dalam buku ‘Musik Puisi Dari Istilah Ke Aksi’ (2005), mencoba mendefinisikan musikalisasi puisi sebagai “sebuah upaya untuk menerjemahkan musikalitas puisi ke dalam musik”, kemudian membaginya menjadi: (1) Transformasi total, seluruh puisi menjadi instrumental; dan (2) Transformasi sebagian, kata-kata dalam puisi masih utuh. Pengertian ini bertabrakan misalnya dengan pendapat Japhens Wisnudjati yang mengatakan bahwa musikalisasi puisi adalah proses perpindahan dari puisi menuju musik. Berbeda dengan musik puisi yang berarti musik yang merantau ke wilayah puisi yang hanya terpuaskan di jenis musik kontemporer. Berbeda juga dengan lagu puisi seperti yang dilakukan Ebiet G. Ade dalam lagu-lagunya. Bukankah pengertian Japhens Wisnudjati tentang lagu puisi sama dengan transformasi sebagian yang dimaksud Tan Lioe Ie?

Sementara penulis lain lagi dalam buku tersebut, Sapto Raharjo, menyebut macam-macam musik puisi seperti : (1) Puisi yang syairnya dijadikan lagu; (2) Musik yang dibuatkan puisi untuk menjadi syairnya. Dari dua macam musik puisi yang disebut ini saja – jika kita setuju – dapat kita katakan bahwa semua karya musik adalah musik puisi, karena kita tidak dapat membedakannya dari musik/lagu biasa. Selain itu, bukankah yang dimengerti sebagai musik puisi oleh Sapto Raharjo ini berbeda dengan yang dimaksud Japhens Wisnudjati? Bukankah yang dimaksud dengan musik puisi oleh Sapto Raharjo sama dengan yang dimaksud dengan musikalisasi puisi transformasi sebagian oleh Tan Lioe Ie? Bagaimana jika semua pengertian ini kita bandingkan lagi dengan pendapat Hamdy Salad? Tentu akan membuat kita semakin bingung.

Memang hampir semua tokoh yang mencoba menulis tentang musikalisasi puisi menyatakan bahwa pengertian yang dirumuskannya masih sangat terbuka dengan kemungkinan baru atau perbedaan pendapat. Hal ini mengindikasikan bahwa perdebatan terkait istilah musikalisasi puisi memang perlu dilengkapi dengan kajian yang dilakukan menggunakan metodologi akademik yang lebih tepat, yang tidak hanya dilakukan oleh para akademisi sastra, tapi juga melibatkan para akademisi musik.

Proses kreatif atau upaya kerja penggabungan/transformasi musik dan puisi bukanlah suatu fenomena yang segar karena telah dilakukan sejak lama di seluruh dunia, sekali lagi, bukan merupakan hal yang baru. Tapi tiba-tiba klaim musikalisasi puisi pada suatu karya musik menjadi populer di Indonesia dan seolah terlihat sebagai suatu bentuk pencapaian baru.

Kita telah membuktikan bahwa dari beberapa pengertian musikalisasi yang dirumuskan oleh para penulis, kita masih tidak bisa membedakan antara musikalisasi puisi dengan lagu biasa, atau membedakan antara musik puisi dengan komposisi biasa, atau membedakan antara musikalisasi puisi dengan musik puisi. Jadi, apakah kita memerlukan penggunaan istilah atau klaim musikalisasi puisi terhadap suatu karya musik? Atau dalam dunia praktik, istilah bukanlah merupakan hal yang penting? Atau justru penting agar suatu karya musik punya semacam “merk” sehingga lebih potensial untuk “dijual”?

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.