Oleh: Djoko Saryono*
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu: pemberontakan
…………………………………………………
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
(Wiji Thukul, Sajak Suara dalam Aku Ingin Jadi Peluru, 2004, hlm 74, Penerbit Indonesiatera)
Sebagai makhluk berjiwa-berhati-berpikir yang membadan, niscayalah kita selalu merasa butuh mengekspresikan atau mengomunikasikan pikiran, pendapat, gagasan, perasaan, keyakinan, dan lain-lain secara lisan dan atau tulis. Sudah tentu, yang kita ekspresikan atau komunikasikan itu meliputi aneka ragam persoalan, tema, atau hal; yang boleh jadi ratusan ragamnya, bisa juga lebih, bergantung pada kebutuhan ekspresi atau komunikasi masing-masing individu. Boleh jadi, seorang individu hanya mampu mengekspresikan satu atau dua persoalan atau tema, tetapi bisa juga seorang individu mengekspresikan banyak persoalan atau tema secara rutin. Pada kehidupan zaman modern atau ultramodern atau malah pascamodern kini, kebutuhan ekspresi atau komunikasi itu sudah menjadi hak dasar setiap individu. Ia menjelma menjadi hak asasi manusia yang diakui dan dihormati semua manusia di dunia.
Hak berekspresi atau berkomunikasi tersebut sering diyakini mudah atau gampang dilaksanakan baik secara lisan maupun tertulis. Berbicara tentang sesuatu diyakini mudah; demikian juga menulis tentang sesuatu tidak sukar dilaksanakan. Buktinya, setiap hari beribu-ribu orang berbicara dan menulis untuk publik tentang sesuatu tidak [pernah] mengalami apa-apa, tidak digugat atau diancam orang, malah ditanggapi pun tidak. Bukankah banyak politisi, penyiar, presenter, dan lain-lain setiap hari berbicara banyak tanpa pernah kita tahu apa dampaknya kepada mereka sendiri? Bukankah setiap hari para wartawan, penulis skenario, penulis iklan, dan lain-lain juga menulis sesuatu tanpa dampak negatif kepada mereka? Maka dari itu, berbicara yang merupakan pengejawantahan tradisi kelisanan dan menulis yang merupakan pengejawantahan tradisi keberaksaraan kemudian dianggap sebagai rutinitas-mekanis yang tak berdampak apa-apa kepada pembicara atau penulis.
Berekspresi atau berkomunikasi lisan atau tulis juga diyakini dapat memiliki maslahat dan guna besar yang bermakna bagi manusia – baik sebagai individu maupun kelompok. Benedict Anderson, dalam Imagined Community, menunjukkan bahwa bacaan atau tulisan mendasari dan menyangga pembentukan dan pematangan nasionalisme Indonesia sehingga kegiatan menulis memberi maslahat besar bagi keberadaan Indonesia. Takhasi Siraishi, dalam Zaman Bergerak, juga menunjukkan betapa tulisan atau bacaan menyangga perdebatan ideologi pergerakan kebangsaan. Bahkan banyak kalangan memandang bahwa menulis sebagai komunikasi tulis telah membawa manusia memasuki peradaban baru, yaitu peradaban keberaksaraan, sehingga kegiatan menulis pada umumnya dipandang positif.
Dalam peradaban keberaksaraan, menulis ihwal ilmu pengetahuan, misalnya ihwal kedokteran, kesehatan, kesusilaan, dan pengembangan diri, memang jelas bermaslahat besar bagi kehidupan manusia. Di samping ilmu pengetahuan dapat berkembang, manusia-pembaca bisa mendulang berbagai hal darinya. Pastilah pelbagai kalangan akan mendukung dan melindungi kegiatan menulis demikian. Begitu juga kegiatan menulis resep makanan-minuman, panduan perawatan diri, panduan perbaikan kendaraan bermotor, dan sejenisnya tentu akan banyak mendapat dukungan dan lindungan berbagai kalangan. Pasalnya, kegiatan menulis hal-hal seperti itu bakal menguntungkan pembaca. Karena itu, tak mengherankan, kegiatan menulis diyakini sebagai kegiatan yang menguntungkan atau bermanfaat karena telah membebaskan manusia dari berbagai keterbatasan pada satu sisi dan pada sisi lain telah meluaskan cakrawala harapan atau horison hidup manusia.
Meski tak salah, keyakinan tersebut tak selalu benar, tak sepenuhnya benar. Hal ini karena berdampak tidaknya berbicara dan menulis bergantung pada banyak faktor, yang demi sederhananya bisa kita sebut faktor kekuasaan dan atau otoritas dalam pengertian seluas-luasnya. Itu sebabnya, acap kita justru sangat sulit berbicara kepada khalayak; demikian juga sangat sulit menulis sesuatu untuk khalayak. Mengapa? Dalam keadaan tertentu, akibat (dianggap) mengganggu atau mengancam kekuasan politik atau ekonomi, berbicara dan menulis malah kerap membuat sang penulis berurusan atau berhadapan dengan hukum, bahkan bisa menjalani hukuman. Dalam situasi tertentu, berbicara tentang sesuatu justru bisa mengakibatkan sang pembicara bermusuhan dengan pihak lain atau diberi cap negatif; demikian juga menulis tentang sesuatu yang kemudian dipublikasikan juga bisa mengakibatkan sang penulis dikucilkan atau dicap negatif.
Karena itu, berbicara dan menulis bagi khalayak, bukan hanya disimpan di laci meja semata, merupakan kegiatan penuh risiko, bermacam-macam risiko bisa menimpa para pembicara atau penulis, bergantung pada pelbagai keadaan dan situasi kekuasaan atau otoritas yang menyertainya. Jadi, menulis – juga berbicara – selalu mengandung risiko tertentu yang acap buruk atau tak sesuai harapan kita; menulis selalu dibayang-bayangi risiko tertentu ketika dilaksanakan dengan hati nurani di samping juga bisa mendatangkan maslahat kemanusiaan.
Di samping memberitakan maslahat dan manfaat, sejarah sudah begitu banyak memberitahukan kepada kita bahwa kegiatan tulis-menulis memang bisa mendatangkan risiko buruk, bahkan risiko tak terbayangkan sama sekali oleh sang penulis atau khalayak, misalnya dihukum mati atau dijebloskan ke penjara. Gustave Flaubert, penulis roman-mashur Madame Bovary sekaligus pembaharu roman Prancis diadili karena tulisannya dianggap merusak tata susila dan akhlak anak muda. Buku-buku spiritualistis Hamzah Fansuri, tokoh sufi terkemuka Melayu atau Indonesia, perintis puisi modern Indonesia, dan pembaharu bahasa Indonesia, juga dibakar dan dimusnahkan serta pengikutnya diancam hukuman mati. Pada masa Orde Baru, sekadar mengingatkan, baru/hanya membaca atau memiliki novel-novel Pramoedya Ananta Toer, belum menulis, sudah mengakibatkan sang pemilik atau pembaca novel menghuni penjara bertahun-tahun. Untuk diingat pula, gara-gara tulisan tertentu yang ditulis oleh wartawan, penguasa Orde Baru bisa marah dan kemudian menutup sebuah majalah, Majalah Berita Mingguan Tempo, pada awal 1990-an; ini menunjukkan betapa menulis sangat berisiko pada masa Orde Baru. Demikian juga H.B. Jassin mengalami ancaman atau gugatan bertubi-tubi karena menerjemahkan al-Qur’an berwajah puisi. Tentulah kita juga masih ingat, gara-gara menulis peringkat orang-orang terkemuka berdasarkan suatu survei, dan menempatkan Nabi Muhammad tidak pada peringkat pertama, maka Arswendo Atmowiloto bukan hanya kehilangan Tabloid Monitor yang tertinggi tirasnya pada saat itu, tetapi juga harus beberapa tahun hidup di penjara. Baru-baru ini, pada masa demokratisasi sekarang, karena menulis sebuah berita tentang kemungkinan penyelewengan yang dilakukan oleh suatu perusahaan, Majalah Berita Mingguan Tempo digugat atau diperkarakan ke pengadilan oleh sang pemilik perusahaan, kemudian (di)kalah(kan) dan dihukum oleh pengadilan.
Contoh-contoh di atas menegaskan betapa risiko besar selalu hadir atau membayangi kegiatan menulis yang dihajatkan untuk menyampaikan sesuatu yang bermakna dan atau berguna bagi banyak orang atau pelbagai kalangan.Betapapun besarnya risiko yang mungkin timbul, kegiatan menulis ternyata terus-menerus dilakukan atau dilaksanakan oleh banyak orang. Terbukti, kegiatan menulis berjalan terus, tidak bisa atau tak mungkin dihentikan oleh rupa-rupa kekuasaan atau otoritas apa pun – baik kekuasaan politik, ekonomi maupun kekuasaan sosial dan spiritual. Sebagai misal, kendati tulisan-tulisan yang dihasilkan terus-menerus (selalu) dilarang oleh kekuasaan politik, pada masa Orde Baru Pramoedya Ananta Toer tetap menulis. Mengapa? Ujar Pram, “Mengarang adalah tugas nasional bagi saya…. bisa saya katakan, mengarang adalah profesi. Saya hidup dan mati karena mengarang dan saya konsekuen terhadap semua akibat yang saya peroleh”. Sementara kata Nadine Gordimer, seorang penerima Nobel Sastra, “Menulis itu ada kita (being)” sehingga kata Isak Dinesen, “Menulis itu adalah jalan hidup”; “Menulis adalah sebuah petualangan”, ujar Albert Camus. “Jangan takut ambil risiko”, imbuh David Mamet. “Menulis itu mengikat makna’, ujar Hernowo menyitir ucapan Ali bin Abu Thalib. Lalu kata Ricoeur, menulis itu memakukan dan mengawetkan sesuatu dalam teks. Ada pula yang berkata, kegiatan menulis adalah kegiatan melawan lupa; mencegah amnesia sejarah; mengabadikan eksistensi. Semua pernyataan ini menandaskan bahwa di balik kegiatan tulis-menulis terdapat dorongan-dorongan spiritual, psikologis, sosial-politis, dan rekreatif yang bisa menimbulkan keteguhan, keberanian, kegigihan, kesungguhan, ketangguhan, dan sejenisnya pada diri penulis. Di sini menulis tampak disikapi sebagai laku spiritual, psikologis, sosial-politis, rekreatif, bahkan laku intelektual yang agung dan anggun sehingga menulis harus selalu dijalankan. Menulis pada akhirnya menjadi strategi laku hidup.
Kendati demikian, risiko-risiko kegiatan menulis tetap perlu diperhitungkan secara seksama oleh para penulis. Sekalipun tidak takut dengan risiko apapun, seorang penulis harus tangkas, cekatan, dan pandai melindungi atau menyelamatkan diri dalam menjalani kegiatan tulis-menulis; tidak boleh ceroboh dan teledor, apalagi bertindak konyol, sehingga menjadi ‘santapan’ kekuasaan tertentu yang tak suka tulisan yang ada. Pengalaman telah banyak memberitahu kita, penyelamatan diri itu cukup dilakukan sendiri oleh penulis, cukup bermodalkan ketangkasan, kecekatan, dan kepiawaiannya menulis, tidak perlu meminta bantuan aparat keamanan atau hukum. Tegasnya, perlindungan atau penyelamatan diri cukup dengan berpikir dan bersikap strategis pada kegiatan menulis.
Sejak dini hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhitungkan bentuk tulisan, strategi penulisan, pola penalaran atau penyajian, pilihan gaya bahasa, dan lain-lain. Sebagai contoh, dengan mengingat kekejaman penjajah Jepang, beberapa sastrawan Angkatan Zaman Jepang memilih bentuk tulisan berupa novel yang sangat simbolis-bertendens, antara lain diberi judul Dengarlah Keluhan Pohon Mangga. Mengingat demikian sensitif dan berisikonya melaporkan sesuatu yang tak dikehendaki oleh pemuka Orde Baru, Seno Gumira Ajidarma memilih bentuk cerpen dengan metafora, analogi, paralelisme, dan rujuk-silang yang kuat untuk melaporkan drama kekerasan dan kekacauan di Timor Timur (kini: Timor Leste). Dengan memegang asas Ketika Jurnalistik Dibungkam, Sastra Harus Bicara, dia mengolah fakta menjadi fiksi sehingga kekerasan, kekejaman, kekacauan, dan lain-lain yang terjadi di Timor Timur dapat dibocorkan kepada khalayak. Seno mengaku: ”Saya diberhentikan karena meloloskan berita mengenai Insiden Dili 1991: laporan 17 saksi mata mengenai peristiwa berdarah itu, yang jelas berbeda dengan berita-berita di media massa resmi. Saya menafsirkan pemberhentian saya sebagai usaha pembungkaman untuk mengungkap fakta seputar Insiden Dili, saya menganggap perlawanan paling tepat adalah mengungkapkan kembali fakta tersebut. Namun karena saat itu saya mengalami pencekalan dalam dunia fakta, maka saya hanya berpeluang mengungkapkannya dalam dunia fiksi”. Jadi, kegiatan menulis bisa berguna untuk memelihara ingatan, melawan lupa, membongkar kebohongan, memberikan kesaksian dan atau sekadar mengajak berinteraksi sekaligus melindungi atau menyelamatkan diri penulis dari pelbagai risiko yang datang dari kekuasaan atau otoritas yang “bermata gelap”. Mari kita senantiasa menulis.
*Guru Besar di Universitas Negeri Malang, beberapa Bukunya: Arung Diri, Arung Cinta, Kemelut Cinta Rahwana, Literasi, dll.