Mau tidak mau, kita telah berada di waktu sekarang, meskipun terkadang kita masih mengenang, bahkan belajar dari apa yang terjadi di masa silam. Sastra hari ini berada di hadapan kita, menyuguhkan beragam dinamika. Muncul pertanyaan, sebenarnya apakah manfaat mendiskusikan kondisi (peta) kesusastraan Indonesia mutakhir?1 Dalam pandangan saya, paling tidak urgensinya, jika dikaitkan dengan kondisi terkini, berhubungan dengan beberapa hal. Pertama, upaya melihat perkembangan sastra terkini akan membantu dalam mengidentifikasi apakah sastra Indonesia bergerak dinamis dan mampu menembus batas geografis antar bangsa. Kedua, membincangkan berbagai genre karya sastra mutakhir bisa menjadi ikhtiar dalam memetakan kecenderungan pilihan tematik dan kebaruan mutakhir dari aspek bentuk serta teknik penceritaan misalnya, yang diciptakan oleh para sastrawan. Kecenderungan-kecenderungan pada konteks ini tentu akan makin menarik jika diikuti dengan upaya untuk melihat perkembangan kritik sastra mutakhir yang membahas kecenderungan- kencederungan tersebut. Ketiga, kita perlu juga ingin melihat sejauh mana peran-peran penerbitan, komunitas sastra dan juga media massa (cetak dan digital) dalam turut menyemarakkan kehidupan kesusastraan mutakhir. Keempat, kita bisa mengamati bagaimana persebaran para sastrawan secara geografis di Indonesia dan bagaimana mereka bergerak serta berproses kreatif di daerahnya.
Lintasan dan persebaran karya sastra antar bangsa menunjukkan maraknya karya sastra asing di Indonesia. Sejak dulu karya-karya sastra dari berbagai negara lain, baik dari benua Amerika, Eropa, Amerika Latin telah menghiasi dunia sastra di tanah air. Para penyuka sastra tak segan memburu naskah-naskah dari mencanegara itu. Banyak dari karya itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dulu sekitar tahun 1990an, saya menemukan terjemahan karya Henrik Ibsen, penulis asal Norwegia, yang salah satu karyanya waktu itu saya gunakan untuk skripsi. Tentu saja masih banyak karya lain, termasuk karya sastra dari luar negeri yang sekarang masih diterjemahkan dan menjadi asupan nutrisi literasi bagi para penyuka sastra. Sebaliknya, dulu, karya sastra dari Indonesia yang telah lama dikenal dan dikaji di mancanegara seperti naskah-naskah sastra kuno seperti La Galigo. Sastra bernunsa pascakolonial yang bisa ditemukan di toko buku luar negeri adalah seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Novel-novel Pramoedya yang diterjemahkan oleh Max Lane bisa ditemukan di berbagai toko buku di Amerika dan Eropa. Di era sekarang, makin banyak karya sastra Indonesia yang bertebaran di mancanegara. Karya Eka Kurniawan2 misalnya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan dibaca serta didiskusikan oleh masyarakat mancanegara. Pada tahun 2016, novel Eka Kurniawan yang bertajuk “Lelaki Harimau” masuk dalam nominasi penghargaan bergengsi Inggris, Man Booker Prize. Pada tahun 2018 Eka mendapat anugerah sastra di Belanda yaitu Prince Clause Award dan para tahun sebelumnya Eka juga menyabet penghargaan dari Amerika Serikat.
Ketika Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam Frankfurt Book Fair pada tahun 2015, beberapa karya sastra Indonesia telah diterjemahkan untuk menarik pembaca dunia. Dan setelah itu beberapa karya sastra Indonesia juga mendapatkan kesempatan untuk diterjemahkan, seperti Karya Intan Pramadita yang berjudul “Gentayangan” diterbitkan oleh penerbit Harvill Secker (Penguin Random House Group) dari Inggris. Penerjemahan dan penerbitan karya sastra Indonesia di dunia internasional menunjukkan bahwa karya sastra para sastrawan Indonesia mampu bersaing dengan karya-karya sastra dari berbagai negara lain. Hal ini tentu membuat khazanah budaya Indonesia yang tertuang dalam karya sastra bisa dinikmati oleh pembaca di tingkat dunia. Fenomena ini menunjukkan gerak karya sastra Indonesia yang makin melewati batas geografis Indonesia dan menembus segmen pembaca hingga dalam masyarakat dengan budaya berbeda.
Dalam bagian latar belakang pertanggungjawaban dewan juri sayembara novel DKJ 2018, tertulis beberapa kalimat yang menyinggung dunia sastra hari ini: “Perkembangan sastra Indonesia tahun-tahun belakangan ini menunjukkan gejala yang sehat. Maraknya perhelatan sastra yang bertaraf internasional, ramainya diskusi sastra di berbagai daerah, serta tumbuhnya ruang-ruang literasi publik dapat dibaca sebagai petunjuk penguatan sastra Indonesia. Semua gelagat baik ini diperkuat dengan tingginya produksi sastra Indonesia dan munculnya kesadaran untuk bertindak aktif membawa karya sastra Indonesia ke khalayak pembaca di luar negeri.” (dikutip dari website DKJ: https://dkj.or.id/berita/pertanggungjawaban-dewan-juri- sayembara-novel-dewan-kesenian-jakarta-2018/) Upaya untuk makin menyebarkan karya sastra Indonesia ke mancanegara tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi para sastrawan. Publik luar negeri tentu saja memiliki selera membaca karya sastra yang menarik, yang misalnya terkait dengan berbagai muatan sosial budaya politik dan sejarah Indonesia serta juga kaitannya dengan fenomena universal yang ada di dunia. Agar sastra Indonesia melintasi batas bangsa, maka diperlukan kerja penerjemahan ke dalam bahasa asing, atau sastrawan menulis karyanya dalam bahasa Asing. Pilihan terakhir ini mungkin sangat menantang karena selama ini hampir semua sastrawan Indonesia menulis karyanya dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
Sementara itu, pilihan tematik yang terlihat dalam karya sastra mutakhir adalah bagaimana muatan dan isu lintas antar bangsa menghiasi khazanah kesusastraan Indonesia seperti karya Suprijadi Tomodiharjo bertajuk “Lelaki Pencari Langit” yang menggambarkan tokoh-tokoh esksil dan diaspora Indonesia di Eropa (lihat Fajar, 2017). Makin banyaknya para sastrawan yang melintasi batas bangsa entah dalam rangka residensi, meneliti, studi dan mengajar serta tinggal di luar negeri karena bekerja juga memberi warna mancanegara yang makin banyak dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Cerpenis A.S. Laksana yang mengikuri Residensi di Finlandia selama 3 bulan menulis cerpen berjudul “Kalwa” di Jawa Pos, 8 Oktober 2017. Prosais Triyanto Triwikomo yang sempat tinggal di Jerman untuk residensi, saya lihat melalui facebooknya tengah melakukan riset untuk penulisan novel berlatar Eropa yang mengusung narasi tentang Franz Kafka. Novel “Gentayangan” pada dasarnya juga tak bisa dilepaskan dari latar belakang Intan Paramadita sebagai novelis yang tinggal di mancanegara, sehingga banyak bagian dalam novelnya yang mengisahkan tokoh yang melintasi batas-batas bangsa, beradaptasi, bertahan di tengah budaya yang berbeda. Sementara, prosais Joss Wibisono yang tinggal di Belanda menulis novelet “Nai Kai” (2017) yang mengisahkan seorang dari Indonesia yang sukses di Amsterdam membuktikan bahwa orang dari negeri terjajah bisa mengaktualisasikan diri dan meraih kesuksesan. Nai Kai adalah seorang budak dari Indonesia yang dibawa ke Belanda oleh seorang tuan Belanda. (Fajar, 2018). Maman Mahayana menulis buku puisi “Jejak Seoul” (2016) dan Tengsoe Tjahjono menciptakan antologi puisi “Meditasi Kimchi” (2016) yang keduanya tidak bisa dilepaskan dari pengalaman dua akademisi ini ketika menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies Seoul. Semakin banyak orang-orang Indonesia melintasi batas bangsa dan tinggal di luar negeri, saya yakin masih akan banyak karya-karya sastra dengan muatan mancanegara seperti itu. Lebih dari itu, novel-novel yang mengangkat situasi kelam sebagai akibat dari peristiwa 65 seperti novel “Pulang” (2012) karya Leila S Chudori dan juga novel “Amba” (2012) karya Laksmi Pamuntjak juga menghiasi jagat kesusastraan kita.
Di lain sisi, warna lokal (local colour) juga masih menjadi pilihan para sastrawan. Hari- hari ini masih banyak karya sastra Indonesia yang mengangkat fenomena berbagai praktik kultural kelompok etnik tertentu. Konstruksi identitas karya sastra seperti ini tampaknya berhubungan dengan upaya mengangkat dan menonjolkan warna lokal hingga bisa menjadi ‘pembeda’ dan ciri unik dibandingkan karya-karya lainnya. Lebih jauh, seringkali karya berwarna lokal juga tak bisa dipisahkan dari latar belakang kultural para pengarang karya-karya tersebut. Misalnya, novel karya Felix K. Nesi, seorang sastrawan muda, yang memenangkan sayembara novel DKJ 2018 berjudul “Orang-Orang Oetimu” yang mengangkat khazanah lokal NTT. Dewan Juri menuliskan kelebihan dari novel ini, yaitu: “Berkisah tentang Suku Jawan di Nusa Tenggara Timur, naskah ini memiliki perbendaharaan kata yang kaya, diperkaya oleh khazanah bahasa Tetun, serta didasari dari penggalian khazanah tradisi Timor Leste dan cerita rakyat serta sejarah lokal NTT. Pembaca diajak menelusuri latar belakang tiap tokohnya yang sebetulnya merupakan elaborasi dari adegan pada bab pertama sebelum akhirnya novel ditutup dengan kembali ke adegan tersebut. Penokohan digarap dengan matang, riwayat hidup tiap tokoh dibeberkan secara memadai dan melebar menyentuh berbagai peristiwa sejarah di Indonesia yang menimpa mereka, berikut efeknya pada kehidupan para tokoh—baik secara individual maupun komunal. Selera humornya baik, cenderung subtil, kritik sosial disampaikan secara natural sebagai bagian dari kebutuhan pengisahan. Penulisnya mampu menggambarkan budaya, suasana kehidupan, karakter orang timur dengan sangat kental dan akurat: sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik” (https://dkj.or.id/berita/pertanggungjawaban-dewan-juri-sayembara-novel-dewan-kesenian-jakarta-2018/) Penilaian dewan juri ini menekankan kekuatan novel Felix yang terletak pada eksplorasi etnografis sebuah suku di NTT. Karya sastra yang menarasikan khazanah lokal seperti tradisi dari suatu kelompok etnik tertentu nampaknya masih menarik perhatian dari para sastrawan Indonesia. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari upaya menciptakan karya yang ‘berbeda’, yang unik, dan yang mampu memperkaya cakrawala pembaca tentang jagat keragaman budaya Indonesia, dan sebagai bagian dalam mengonstruksi identitas kepengangarangan yang dikaitkan dengan latar kultural dan daerah asal sang pengarang. Pemenang cerpen terbaik Kompas 2017, Muna Masyari3 dengan cerpennya “Kasur Tanah” menunjukkan eksplorasi khazanah lokal Madura. Contoh lain, kumpulan puisi Manurung (2017) karya Faisal Oddang mengindikasikan ketertarikan Faisal untuk mengangkat kembali khazanah naskah kuno Indonesia yang mengandung banyak nilai dan makna. Naskah puisi Faisal merepresentasikan kisah La Galigo dengan sudut pandang berbeda, penuh kritik dan pertanyaan-pertanyaan tajam yang tersusun dalam baris-baris yang puitik. Alfian Dippahatang menciptakan kumpulan puisi “Dapur Ajaib” (2017) yang mengolah tradisi kuliner Coto Makassar sementara Hasta Indrayana melalui kumpulan puisinya “Rahasia Dapur Bahagia” (2017) mengeksplorasi khazanah kuliner nusantara. Kencenderungan penciptaan naskah-naskah berbasis budaya etnik tertentu dan sejarah ini sebenarnya bukan hal baru karena pada tahun-tahun sebelumnya selalu ada para sastrawan yang menggarap dan mengeksplorasi tema-tema serupa. Selama Indonesia dan berbagai daerah dalam ragam budayanya masih memiliki berbagai warna kultural tersebut, dan selama masih ada sastrawan yang memiliki pengalaman hidup dalam ruang budaya tersebut, saya yakin masih akan ada sastrawan ke depan yang akan menulis tentang hal-hal tersebut.
Ragam genre dan produksi karya sastra mutakhir seringkali mendapat respons dari para ‘kritikus, baik yang muncul dalam perhelatan berbagai sayembara kritik yang melahirkan teks- teks kritik sastra mutakhir hingga dalam dunia akademik. Kita bisa melihat beberapa sayembara dan lomba kritik sastra mutakhir seperti sayembara kritik sastra yang diadakan oleh DKJ pada tahun 2013 dan 2017, sayembara kritik sastra yang diadakan oleh majalah Basis bekerjasama dengan Bilik Literasi Solo pada tahun 2017 dan juga lomba kritik sastra yang diadakan oleh FIB UGM pada tahun 2017. Tentu saja di luar sayembara dan lomba kritik sastra, berbagai kritik sastra yang bersifat ‘akademis’ juga terus bermunculan di berbagai jurnal ilmiah sastra di Indonesia. Pemenang II sayembara kritik sastra DKJ 2017, Harry Irsya Muhammad, menulis kritik atas karya Faisal Oddang; Naskah Harry bertajuk “Memandang seperti Penjajah: Membedah Pascakolonialitas Puya Ke Puya Karya Faisal Oddang”. Kajian pascakolonial tampaknya cukup diminati dalam beberapa tahun terakhir, seiring juga karya-karya sastra bernuansa pascakolonial yang juga bermunculan. Sebelumnya pada sayembara kritik DKJ tahun 2013 novel “Pulang” karya Leila S Chudori dikaji oleh M. Irfan Zamzani dan naskah Irfan yang bertajuk “Politisasi Barat dan Timur dalam Novel “Pulang” ini menjadi pemenang ketiga. Dalam lomba kritik sastra UGM, Sunlie Thomas Alexander menulis naskah yang membahas novel Lampuki karya Arafat Nur, novelis yang banyak mengangkat dunia konflik Aceh dalam karya-karyanya. Sementara dalam lomba kritik sastra majalah Basis dan Bilik Literasi Solo, 2018, saya menulis kritik atas karya Iksaka Banu “Semua untuk Hindia Belanda” juga dalam perspektif pascakolonial. Sementara naskah saya lainnya membahas kumpulan puisi bertajuk Dapur Ajaib karya Alfian Dippahatang dengan pendekatan gastrocriticism. Dunia kritik sastra terasa berdenyut, meskipun mungkin masih ada yang menyangsikan kemunculan kritikus-kritikus handal (mungkin ada yang tetap memandang H.B .Jassin sebagai sosok kritikus yang masih sulit dicari penggantinya). Karya-karya sastra terus bermunculan dan jumlahnya makin banyak seiring bermunculannya berbagai penerbitan. Oleh karena itu kritik atas karya-karya itu menjadi tantangan bagi mereka yang tertarik menulis kritik. Apalagi kritik pada hakekatnya bukan semata analisis atau ‘kajian’ yang menyingkap makna-makna dalam karya sastra namun juga menilai kelemahan dan kekurangan sebuah karya sehingga diharapkan mampu mendorong penciptaan karya yang lebih baik.
Perkembangan dan penerbitan karya sastra di tanah air memang tidak bisa dipisahkan dari munculnya penerbit-penerbit (di luar nama penerbit yang selama sudah sangat di kenal seperti misalnya Gramedia Pustaka Utama, Mizan dan Bentang) yang memiliki komitmen terhadap sastra, seperti IndieBook Corner, Basabasi, Mojok, OAK, Marjin Kiri, Pelangi Sastra dan berbagai penerbitan yang bertebaran di daerah-daerah. Karya sastra juga sudah tidak lagi hanya bertumpu pada media cetak seperti Koran dan majalah, namun juga pada media online, seperti detik.com, basabasi.com, dan berbagai media online lainnya. Fenomena ini seperti menjawab pertanyaan Eka Budianta, “Kapan Indonesia punya situs sastra? Lantar siapa masyarakat cyber penggemar sastra Indonesia?” yang pak Eka lontarkan dalam tulisannya yang berjudul “Masyarakat Cyber dan Sastra Multimedia” (2004). Beberapa media online di era sekarang yang memuat karya sastra juga melakukan seleksi karya yang dilakukan redakturnya5. Promosi dan lalu lintas buku-buku karya sastra yang diterbitkan para penerbit yang baru muncul beberapa tahun terakhir cukup gencar, seperti terlihat dalam media sosial penerbitan ini. Karya-karya para sastrawan baik yang telah lama berkiprah dan yang relatif baru berkarya diterbitkan dalam penerbitan-penerbitan tersebut dan mendapat sambutan pembaca luas. Promosi-promosi buku itu juga dikemas dalam bentuk bedah buku dalam kegiatan sastra sehingga bisa menumbuhkan geliat sastra di berbagai daerah. Beberapa penerbitan mendapat dukungan ruang berdiskusi seperti di Yogyakarta (Kafe Basabasi, Warung Mojok, kafe Indiebook corner), di Malang (Kafe Pustaka, Kalimetro). Fenomena ini adalah bagian dari kreativitas untuk membentuk publik sastra di satu sisi dan menggerakkan pendulum finansial untuk menjaga serta menumbuhkan geliat sastra. Sementara itu, komunitas-komunitas sastra6 (termasuk yang berbasis di dunia maya) yang hingga saat ini hidup dan melakukan apreasiasi atas karya sastra melalui ‘reading group’ bisa turut serta menjaga denyut nadi kesusastraan mutakhir. Bagi Wiratmo Soekito, seperti tertuang dalam esainya yang berjudul Proses Pendangkalan dalam Pemikiran Sastra Kini, ”karya seni sastra yang baik adalah ibarat investment, sedangkan publik sastra yang terbentuk dari karya sastra yang baik itu adalah kemungkinan-kemungkinan yang diolah sedemikian rupa, sehingga memperbesar investment itu” (2017). Publik sastra mutakhir dihadapkan pada pilihan-pilihan karya. Mereka bisa secara kritis menilai karya-karya mutakhir. Sementara para sastrawan yang menjalankan kerja the making of literary art dan para penerbit akan diuji apakah bisa menyedot perhatian publik.
Gairah kegiatan sastra bisa dilihat berbagai penjuru Indonesia. Banyak sastrawan pergi melintasi kota tempat tinggalnya, menghadiri undangan dan mengikuti berbagai kegiatan sastra baik yang berskala kecil dari kafe atau warung kopi hingga ke perhelatan sastra yang berskala internasional dan nasional. Perhelatan sastra yang mempertemukan para sastrawan tingkat internasional misalnya Asean Literary Festival, Borobudur Writers Festival, Ubud Writers, Makassar Internasional Writers Festival, Pertemuan Penyair Nusantara, dan berbagai festival berskala nasional. Bulan November 2018 misalnya, para sastrawan berkumpul dalam Payokumbuah Literary Festival, di Payakumbuh. “Inilah kota sastra, di mana kata-kata bertaburan sepanjang jalan,” kata direktur Payakumbuah Literary Festival, Iyut Fitra (seperti dikutip Damhuri Muhammad dalam akun instagramnya). Iyut Fitra adalah sastrawan yang lahir di Payakumbuh sehingga peran dia dalam festival tersebut bisa dilihat sebagai peran seorang sastrawan Payakumbuh dalam menyemarakkan sastra di kota tersebut. Di kota lain yaitu Banyuwangi, pada bulan April 2018, kemah sastra digelar dan dihadiri para sastrawan seperti Sutardji Calzoum Bahri, Ahmadun Yosi Herfanda, D. Zawawi Imron dan lainnya, termasuk sastrawan dari negara lain. Bupati Banyuwangi menunjukkan dukungannya dan menyampaikan bahwa,” “Kami mendorong tumbuhnya budaya menulis dan membaca. Semoga anak-anak muda kita mendapat banyak inspirasi dari para sastrawan hingga akhirnya mampu menciptakan ide dan menuangkannya lewat karya sastra.” (Sebagaimana dikutip tempo.co: https://seleb.tempo.co/read/1084223/ratusan-pegiat-sastra-gelar-kemah-sastra-nasional-di- banyuwangi/full&view=ok). Kegiatan-kegiatan sastra seperti ini tampaknya selain berpotensi mendorong proses kreatif dan apresiasi karya sastra, juga memengaruhi konstruksi identitas daerah-daerah di Indonesia dalam kaitannya dengan karya sastra. Kita bisa menilai bagaimana dukungan pemerintah daerah pada bidang sastra dan bagaimana karya sastra turut membentuk identitas daerah. Seringkali daerah-daerah tersebut memiliki para sastrawan yang telah hijrah maupun yang bertahan di sana. Di Banyuwangi penyair Fatah Yasin dan Samsudin Adlawi seperti terus menyimpan ghiroh untuk menyemarakkan kehidupan sastra. Hanya saja, pertanyaannya adalah sejauh mana stamina dan dukungan bisa terus membuat berbagai acara sastra tersebut berjalan di waktu yang akan datang. Masih ada daerah-daerah lain yang menggelar kegiatan-kegiatan sastra.
Menyaksikan perkembangan sastra Indonesia terkini, kita bisa saja merasa optimis dengan maraknya aktivitas sastra dan capaian-capaian yang terjadi di dalamnya. Jika karya sastra Indonesia diharapkan makin dikenal dan diapresiasi di tingkat dunia, maka tentu para sastrawan akan ditunggu karya-karya berkualitas mereka dengan penerjemahan dan agen penerbitan yang memungkinkan. Festival dan sayembara telah memberikan warna dan menciptakan dorongan bagi kemunculan karya dan sastrawan yang menjanjikan di hari depan (istilah yang sering dipakai hari-hari-hari ini adalah “emerging writers). Sementara dunia penerbitan yang makin berkualitas dan dengan jumlah yang memadai akan turut menciptakan produktivitas kekaryaan para penulis, selain juga peran media massa cetak, dan terutama digital di era global dan milenial ini-bukan sebagai media yang menyeret para sastrawan untuk justru ikut-ikutan menebarkan kebencian dan nyinyir atas konstalasi politik, namun untuk berdiskusi secara sehat tentang dunia sastra serta menebarkan karya-karya sastra berkualitas.
Catatan Kaki
1 Istilah Mutakhir misalnya digunakan oleh Jakob Sumardjo dalam bukunya “Novel Indonesia Mutakhir; sebuah Kritik” (Penerbit C.V. Nur Cahaya Yogyakarta, 1979) yang membahas Perkembangan novel tahun 1970 hingga 1979. Buku yang diterbitkan pada tahun 1979 (berdasarkan keterangan dalam pengantar juga dituliskan pengantar tersebut ditulis di Bandung 16 Oktober 1979) tersebut fokus untuk menelaah novel-novel Indonesia dalam kurun waktu 9 tahun terakhir (sejak tahun 1970). Jika kita mengacu pada istilah mutakhir pada konteks ini, maka mutakhir menunjukkan sebuah kondisi terkini, beberapa tahun belakangan sampai sekarang.
2 Dalam komentarnya di New Left Review yang ditampilkan dalam sampul belakang novel “Cantik itu Luka” Benedict Anderson menyatakan “It is nice that, after half century, Pramoedya Ananta Toer has found a successor”; sebuah pernyataan yang melegitimasi posisi kepengarangan Eka Kurniawan di tingkat dunia. Karya-karya Pramoedya makin bisa dibaca pembaca dunia setelah karya-karyanya diterjemahkan oleh Max Lane dan kemudian, puluhan tahun setelahnya novel “Cantik itu Luka” diterjemahkan oleh Annie Tucker sehingga bisa dinikmati para pembaca mancanegara.
3 Dalam buku antologi “Dunia Perempuan: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia Indonesia” (2002) yang merupakan hasil penyuntingan Korrie Layun Rampan, nama Muna Masyari dan cerpenis-cerpenis perempuan mutakhir tentu belum masuk. Namun jika kerja penyusunan antologi mutakhir cerpenis perempuan Indonesia dilanjutkan, tentu upaya memetakan para cerpenis perempuan paling mutakhir akan bisa menunjukkan sejauh mana kualitas karya dan kiprah para sastrawan perempuan dalam dinamika sastra Indonesia. Korrie Layun Rampan dalam pengantar buku antologi hasil suntingannya tersebut menyatakan,”…warna dasar cerpen mereka akan terlihat, karna karya yang dipilih untuk antologi ini merupakan karya-karya terbaik dari masing-masing cerpenis.” Memilih cerpen-cerpen terbaik versi Korrie Layun Rampan untuk buku antologi tersebut, secara subtansial merupakan sebuah penilaian yang dalam beberapa hal juga dilakukan oleh tim Kompas dalam memilih cerpen terbaik setiap tahun dari sekian banyak cerpen yang telah muncul di edisi hari minggu. Sebuah pilihan dari hasil penilaian bisa jadi tidak memuaskan publik sastra.
4 Di media sosial dan berbagai macam blog yang bermunculan misalnya, orang bisa mempublikasikan ‘karya sastra’ tanpa melalui kurasi dan penilaian orang lain yang dianggap kompeten dalam bidang sastra. Dan dulu, seperti ada kesan bahwa karya-karya yang bermunculan di dunia cyber kualitasnya dianggap inferior dibanding karya sastra yang termuat dalam media cetak seperti Koran dan majalah serta buku-buku yang diterbitkan penerbit terkenal. Di era digital sekarang, kita bisa melihat banyak karya berkualitas bermunculan dalam media sosial dan berbagai laman.
5 Eka Budianta di awal esainya yang berjudul “Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi Lain Selembar Daun” menegaskan bahwa tanpa adanya kelompok pendukung yang bernama “komunitas”, kesusastraan akan terus hidup. Namun Eka buru-buru memberi catatan bahwa diakui atau tidak komunitas kesenian merupakan sisi aktifitas sastra yang menopang permukaan atau wajah seni sastra di setiap bangsa. Eka juga mengakui ketertarikannya ketika awal bersentuhan dengan “Komunitas Sastra” di Malang pada tahun 1970an yang mengadakan baca puisi, diskusi sastra dan pentas teater (2003:38-39). Pengalaman yang dialami Eka Budianta ini menunjukkan bagaimana komunitas sastra berperan dalam pembentukan ‘masyarakat sastra’ dengan aktivitasnya.
Daftar Pustaka
Budianta, Eka. 2004. “Masyarakat Cyber dan Sastra Multimedia”. Dalam Cyber Graffiti: Polemik
Sastra Cyberpunk. Saut Sitomurang (ed). Yogyakarta: Jendela.
. 2003. “Komunitas Sastra dan Sosiologi Sastrawan: Sisi Lain Selembar Daun”. Dalam Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta. Yogyakarta: Bentang.
Chudori, Leila S. 2012. Pulang. Jakarta: KPG.
Dippahatang, Alfian. 2017. Dapur Ajaib. Yogyakarta: Basabasi.
Fajar, Yusri. Kota Asing Dalam Sastra Indonesia. KOMPAS, 21 april 2018.
. 2017. Sastra yang Melintasi Batas dan Identitas. Yogyakarta: Basabasi.
. 2017. Makanan, Relasi Sosial dan Identitas. Majalah BASIS, nomor 7-8 tahun ke- 66, 2017
Indrayana, Hasta. 2017. Rahasia Dapur Bahagia: Ensiklopedia Kuliner dalam Puisi.
Yogyakarta: Gambang
Kurniawan, Eka. 2015. Cantik itu Luka. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Paramadhita, Intan. 2017. Gentayangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Pamuntjak, Laksmi. 2012. Amba. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Oddang, Faisal. 2017. Manurung: 13 Pertanyaan untuk 3 Nama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Wibisono, Joss. 2017. Nai Kai. Yogyakarta: OAK.
Rampan, Korrie Layun (penyunting). 2002. Dunia Perempuan: Antologi Cerita Pendek Wanita Cerpenis Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
Sumardjo, Jakob. 1980. Novel Indonesia Mutakhir; Sebuah Kritik. Yogyakarta: Nur Cahaya. Tjahjono, Tengsoe. 2016. Meditasi Kimchi. Malang: Pelangi Sastra.
Wiratmo, Soekito. 2017. “Proses Pendangkalan dalam Pemikiran Sastra Kini”. Dalam Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam. Maman Mahayana (ed). Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Makalah disampaikan dalam Muktamar Sastra Nasional di
Pondok Pesantren Sukorejo Situbondo pada 20 Desember 2018