Sastra Untuk Kemanusiaan


Perpisahan Buruk

behance/mayralunartic

 

Setiap melihat tahi kucing yang berada di sisi jalan gang rumah, aku selalu teringat mimpiku yang akan terjadi di masa depan. Tidak banyak yang tahu kalau kemampuan déjà vu itu berasal dari mimpi dan setiap kita adalah peramal untuk diri kita masing-masing. Terkait tahi kucing ini dan kaitannya dengan masa depanku, sebenarnya ini ramalan yang tidaklah begitu menyenangkan. Baik kering, basah, maupun lupa ditutupi pasir, semuanya adalah ingatan yang traumatik. Aku sering bergidik membayangkan masa depan itu:

Tepat di hadapanku, kekasihku tengah sibuk dengan dengan steak tahi kucing lada hitam pesanannya. Ia kunci pergerakan steak-nya itu dengan garpu di tangan kiri. Pisau makan di tangan kanannya sangat lihai mengiris-iris steak itu menjadi beberapa bagian kecil untuk ia suap. Kekasihku tersenyum memandang makanannya yang masih mengepulkan asap di atas hot plate. Bau kecut khas makanan olahan dari tahi kucing menguar dan menusuk hidungku. Itu adalah salah satu makanan favoritnya.

Restoran Tai Kucing Ragam Gaya memang restoran yang sering dikunjungi oleh banyak orang. Di kota ini semua tempat makan mampu mengolah tahi kucing—karena memang sudah menjadi bahan pokok lauk pauk yang di zamanku dulu setara dengan daging ayam atau daging sapi atau semacam lainnya. Dulu. Pikiranku sedang tak ingin bernostalgia ke zaman itu sebab mataku tengah tertuju ke daftar menu makanan yang tertera di layar meja makan. Selain menggunakan teknologi yang tinggi, restoran inilah yang paling baik mengolah tahi kucing dengan cita rasa yang bermutu. Tak heran kalau untuk makan di sini konsumen rela harus merogoh kantong lebih dalam dan sedikit sabar menunggu beberapa hari karena mesti pesan meja terlebih dahulu.

“Aku suka sekali bau masam yang bercampur dengan aroma taburan lada hitam. Seolah-olah menantang adrenalinku,” ucap kekasihku bersemangat. Sebelum ia menyuap makanannya, pasti garpu yang menusuk potongan makanannya itu akan ia dekatkan ke hidungnya. Ia akan hirup dalam-dalam aromanya. Sudah sering kami makan bersama dan setelah melakukan itu ia pasti akan mengeluarkan kalimat yang persis sama. Dan seperti biasanya juga, aku hanya akan menanggapi dengan anggukan bersenyum simpul.

“Kau ingin makan apa? Dari tadi hanya memandang layar daftar menu. Pilihlah gado-gado tahi kucing atau nasi goreng spesial tahi kucing cincang. Itu makanan favoritmu, bukan?” tanyanya di sela kunyahannya. Setelah kurayu agar ia mau memesan duluan dan memakan makanannya selagi hangat, ia menurut. Ia sebenarnya tak mau seperti itu.

“Sebentar. Aku sedang ingin menu yang lain.”

“Ada menu baru! Pilihlah itu. Ah tapi tidak. Itu makanan khas Korea. Sulit. Mengapa kau harus membenci Korea? Tapi tidak apa-apa. Kadang membenci itu tidak butuh alasan, begitu kan biasanya kau katakan?”

Aku memintanya untuk melanjutkan makannya dan berjanji untuk segera mendapatkan menu yang kuinginkan. Aku ambil gelas berisi air putih yang ada di hadapanku dan meminumnya seteguk. Mataku terbebas dari layar daftar menu ketika sedang menenggak pelan air putih dan memandang sekitar.

Di meja makan lain yang berada beberapa meter dari belakang kekasihku, agak menyerong ke kanan sedikit—arah jam dua dari penglihatanku, mataku terpaku pada seorang perempuan yang sedang duduk di meja itu. Aku melihatnya tampak samping. Ia menggunakan rok pendek berpadu dengan kaus yang agak ketat, tanpa lengan. Syal putih tipis yang ia kenakan membuat lehernya begitu misteri—tak ada yang tak ingin menyingkap misteri tentunya. Kulitnya hitam manis. Wajahnya tak menggunakan riasan berlebihan. Kacamatanya memadukan mata bulatnya dengan hidungnya yang mancung. Dari semuanya, ingin sekali aku merasakan rambut hitamnya yang tergerai itu dalam belaian tanganku.

“Kau tertarik dengan perempuan itu?” Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara kekasihku. Aku tak sadar kalau sedang asyik terpaku memperhatikan perempuan di seberang meja. Dan sedikit kurang menyenangkan ketika kekasihku ternyata sedang memperhatikanku. Aku langsung menggeleng. “Katakan saja langsung kepadanya. Selesaikan di belakang. Tapi jangan lama-lama. Kau belum memesan makanan.”

Yang dimaksud belakang oleh kekasihku adalah ruang cumbu. Ruangan ini biasanya terletak di samping toilet. Modelnya hampir persis toilet—ada beberapa ruangan bersekat dan di dalamnya ada sebuah kursi busa, biasanya disediakan pengaman alat vital. Diciptakan untuk keadaan ketika berahi tiba-tiba meningkat dan menjadi gelisah kalau ditahan. Semua tempat umum wajib menyediakan ruangan ini. Orang-orang bisa buang air kecil dan besar di toilet dan kini juga dapat membuang hasrat yang tak dikehendaki di ruang cumbu.

“Sudah katakan saja,” desaknya.

“Tidak.”

“Kalau kau menahannya kau takkan tenang dan punya cukup mood untuk memesan makanan.”

“Dia sedang bersama pasangannya.”

“Kau sungkan? Mau aku yang mengatakan?”

Aku bergeming. Kekasihku langsung meninggalkan meja beserta makananya yang baru setengah bagian ia makan. Ia berjalan menghampiri meja tempat perempuan itu duduk. Kemudian mereka berbincang-bincang. Suaranya tak sampai ke telingaku. Perlahan-lahan aku merasakan degup jantung sedikit mengencang. Setelah saling mengeluarkan ponsel cerdas—gawai yang jauh lebih mutakhir dari ponsel pintar—dan saling menukar tawa renyah, kekasihku kembali ke meja kami dan duduk.

“Ia sebetulnya bersedia,” ucapnya setelah meminum jus buahnya.

“Sebetulnya?” tanyaku. Pandanganku langsung tertuju ke perempuan itu. Ia menoleh ke arahku. Kami beradu pandang. Ia tersenyum. Manis.

“Mereka sedang merayakan hari jadian mereka yang ke-3246 hari. Kurang tepat rasanya kalau harus bercumbu bersama lelaki lain di hari istimewa mereka,” lanjutnya sambil meneruskan memakan makanannya.

“Tidak masalah,” kataku sambil menghela napas dan langsung membenamkan mata pada layar daftar menu.

“Ia memberiku kontaknya. Aku mengizinkan kau untuk menghubunginya besok atau kapan pun itu kalau masih penasaran,” katanya menambahkan. Aku menggeleng pelan tak bertenaga. Di sela-sela kunyahannya, kekasihku menyunggingkan bibirnya dan tertawa kecil. Alisku mengangkat, memburu alasan dari tawanya yang tiba-tiba. Ia selesaikan kunyahannya, meminum sedikit, dan mengatakan, “Ia juga menawarkan kita untuk main berempat kapan-kapan!”

“Dan kau jawab?”

“Aku hanya tertawa kecil saja. Pasangannya itu bukanlah tipe lelaki yang bisa membuatku ingin mencumbunya.”

Aku respons dengan manggut-manggut. Aku pandangi lelaki yang bersama perempuan itu. Dengan rambut kelimis berminyak dan gaya sporty macam itu memang tak bisa membuat kekasihku tertarik. Lagipula kekasihku ini memang agak aneh. Pernah sekali waktu, di restoran ini juga, ia meminta izin kepadaku untuk ke belakang. Ada seorang pelayan yang agak kumal yang mampu membangkitkan hasratnya. Pernah lagi di waktu yang lain saat aku mengajaknya ke pasar loak untuk mencari buku-buku dari kertas, ia meminta pedagang buku kertas itu untuk meladeni hasratnya. Pedagang buku kertas itu, yang cukup akrab denganku, menawari istrinya kalau aku mau—di zaman ini sudah sangat jarang ada suami istri. Ia tak enak denganku. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan mengamini perkataan kekasihku yang mengatakan kalau para pembaca buku kertas yang masih suka bernostalgia pada zaman dahulu sudah sepatutnya juga mampu menerima kenyataan di zaman sekarang; dari teknologi yang kini serba kilat, sampai kebutuhan biologis dari hasrat seksual yang didapat dari orang yang bukan pasangannya. Di akhir kalimatnya ia menekankan, “Yang penting tanpa paksaan,” setelah berkata-kata cukup panjang ia langsung menggandeng lengan si pedagang buku kertas itu. Lalu mereka ke atas ruko.

Dari semua yang pernah terjadi, belum pernah ia meminta izin untuk mencumbu lelaki berambut minyak seperti itu. Belum pernah. Dapat kupastikan permainan berempat yang diujarkan perempuan itu tidak akan pernah terjadi. Kecuali di lain waktu mereka berpisah dan si perempuan itu menemukan lelaki yang agak kumal, mungkin.

“Aku sudah selesai makan,” katanya yang tiba-tiba membuyarkan pikiranku. Aku lihat steak tahi kucing lada hitamnya memang sudah tak bersisa di hot plate. “Kau masih mau memesan makanan atau tidak?”

“Masih,” jawabku cepat. Aku hanya akan mengecewakannya kalau tidak makan setelah ia lumayan berjuang agar kami bisa makan di restoran ini. Mataku kembali membaca nama-nama menu pada layar dan tak ada yang ingin kumakan. Cukup lama aku terpaku pada layar itu dan kekasihku kembali bertanya. Tahi kucing ini benar-benar menyebalkan. Mengapa aku harus terjebak dalam situasi ketika aku sedang tidak ingin makan tahi kucing namun tak ada satu pun makanan yang tidak ada tahi kucingnya?

Mungkin disebabkan kesabarannya yang semakin terkikis, ia kembali bertanya apakah aku sudah siap memesan. Aku mengiyakan. Kemudian ia menyentuh tombol hijau pada layar meja. Beberapa detik kemudian seorang pelayan datang.

“Mau pesan apa, Mas?” tanyanya. Wajahnya tak begitu asing. Betul juga ia adalah si pelayan agak kumal itu. Kini ia agak bersihan daripada saat itu. Menurutku, Ia lebih cocok berdandan kumal. Kulitnya yang putih dan matanya yang sipit hanya akan membuatnya seperti banci kalau ia tidak kumal. Pelayan itu kembali bertanya kepadaku mau pesan apa. Kekasihku mengetuk meja dengan pelan untuk membuyarkan lamunanku.

“Gado-gado,” jawabku.

“Gado-gado tahi kucing, Mas?”

“Gado-gado saja,”

“Restoran kami tidak menyediakan gado-gado saja, Mas.”

“Ya sudah tahi kucing saja,” kataku singkat sebelum berpikir sejenak.

“Tahi kucing apa, Mas?”

“Tahi kucing saja.”

“Restoran kami tidak menjual tahi kucing saja, Mas.”

Menyaksikan adegan semacam ini, alis kekasihku mengernyit. Kemudian ia meminta si pelayan agak kumal itu untuk meninggalkan meja kami.

“Sayang, mood-mu sedang berantakan pasti karena tidak bisa kebelakang. Mari kita ke belakang dan kau bisa melihat video-video perempuan itu sambil mencumbuku. Aku sudah punya kontaknya,” katanya dengan nada khawatir. Aku terkejut dengan prasangkanya dan langsung menggelengkan kepala. Ia tak percaya dan masih kekeh untuk mengajakku.

“Tidak. Bukan itu. Percayalah, aku hanya sedang ingin tahi kucing saja,” kataku meyakinkannya.

“Itu tidak mungkin. Semua ada pengolahannya. Aku mengerti apa yang sedang kau rasakan. Mari,” timpalnya dengan bujuk rayu penuh kesabaran. Ia menggamit tanganku dan segera aku lepaskan sebagai upaya untuk meyakinkannya. Ia sedikit terkejut dengan sikapku dan langung menyandarkan dirinya ke kursi. Kami saling terdiam untuk beberapa saat. Ia mulai memijit-mijit keningnya dengan tangan kanan. Tangan kirinya masih tak begerak setelah tadi aku campakkan. Sial. Kalau sudah begitu, berarti ia sedang menahan pikiran khawatirnya yang suka berlebihan. Aku genggam tangan kirinya namun ia langsung melepaskannya dengan cepat.

“Ternyata kau cemburu dengan pelayan itu, benar begitu bukan?” katanya membuka kembali percakapan. Air matanya jatuh satu dua tetes. Jantungku mau lepas karena tak menduga kekhawatirannya itu.

“Jangan melantur,” kataku mencoba menenangkannya.

“Aku sudah lelah,” balasnya.

“Baiklah, mari kita pulang,” ajakku.

“Aku sudah lelah bersamamu. Bertahun-tahun aku mencoba untuk telaten mengertimu. Mengapa kau begitu keras? Cemburu sudah tidak ada di zaman ini. Sudah kukatakan kepadamu sejak bertahun-tahun yang lalu untuk bisa menerima zaman ini. Zaman kita. Zaman nyata ini,” meski suaranya masih terdengar wajar, ia agak menenkan nadanya pada bagian “zaman nyata”. Ia mengatakan tanpa melihatku. Dari tadi ia hanya menunduk sambil memijit-mijit keningnya. Aku sodorkan tisu kepadanya dan memintanya untuk memandangku. Aku ingin meyakinkannya bahwa aku tidak cemburu. Sama sekali tidak.

“Aku sudah lelah,” katanya mengulang dan tetap menunduk.

“Ayolah. Pikiranmu melantur,” kataku memelas. Mendengar perkataanku, ia langsung menegakkan kepalanya dan menatapku dengan mata menyalak.

“Melantur? Aku melantur? Aku memang sudah lelah dengan pikiranmu yang kau anggap lebih nyata dari kenyataan ini!” Nada bicaranya tinggi dan semua pengunjung restoran dapat mendengar suaranya. Aku meminta maaf kepada semua pengunjung restoran dengan semacam gerakan tangan seolah-olah aku mampu menguasai situasi ini.

“Mari kita pulang,” ajakku.

Ia berdiri cepat. Agak lega ketika ia mau menurutiku pada kondisi seperti ini. Aku baru mau siap-siap berdiri namun kekasihku malah semakin jadi. “Sia-sia. Semua sia-sia. Aku lelah dengan dirimu. Aku lelah dengan dirimu yang menganggap sebagai salah seorang manusia yang tertidur di gua selama ratusan tahun bangun pada zaman ini kemudian kaget dengan kenyataan yang ada,” Ia habiskan perkataan itu dengan satu tarikan napas. Ia agak ngos-ngosan. Setelah membenahi pernapasannya ia melanjutkan, “Untuk meyakinkanku, kau memberikan bukti selembar uang kertas dari tahun 2000-an, 2018 tepatnya, yang tak sengaja kau kantungi sebelum kau tertidur. Gila kau gila! Tidakkah kau berpikir semua orang bisa mendapatkan uang kertas itu dari kolektor mana pun!” ia membentak. Ia menghunusku dengan telunjuknya sambil sesekali menjambak rambutnya sendiri. Aku terpaku menerima ledakan dahsyat ini. Dan ini masih belum usai.

“Aku sudah lelah menhelaskan kalau takkan lagi kau temui daging ayam, sapi, babi atau apa pun itu yang ada pada zaman yang kau akui sebagai zamanmu dulu. Takkan lagi kau temui sifat cemburu yang ada ada zamanmu. Kalau kau gila baca harusnya kau juga tahu bahwa pada zamanmu dulu itu sudah ada yang menggunakan pupuk dari tahi manusia. Bahkan sudah ada yang mengolah tahi manusia untuk mereka konsumsi sendiri. Sia-sia sudah usahaku. Gila kau gila! Aku sudah muak denganmu!”  Bahkan dengan amarah setinggi itu ia masih mampu menjaga kalimatnya agar tetap utuh. Namun kekagumanku padanya di saat seperti ini tampaknya tidak tepat.

Dengan cepat ia ambil gelas jusnya. Es batu yang tersisa ia masukkan ke mulutnya dan ia kunyah dengan cepat seperti orang kesurupan. Ruangan begitu senyap dan menyebabkan suara es batu yang digerus giginya terdengar nyaring. Hidupnya memang berlandaskan dengan penelitian-penelitian terkini yang bisa dengan mudah diakses lewat telepon cerdas. Termasuk mengapa ia mengunyah es batu ketika sedang marah adalah hasil dari pengetahuan akan penelitian-penelitian itu.

Setelah mengunyah es batu cukup banyak dan gelas itu menjadi kosong, ia malah melempar gelas itu dengan sangat kencang ke kepalaku. Lesatan itu begitu cepat. Mataku mengerjap-ngerjap. Tiba-tiba aku merasakan perih pada bagian keningku. Ada cairan hangat yang mengalir. Darahku keluar terus-terusan. Aku meringis kesakitan. Pandanganku masih belum jelas namun samar-samar aku melihat ada dua pria berseragam telah berdiri di sisinya. Mereka memegang bahunya.

“Dasar primitif! Hei Semuanya! Dia primitif!” Ia sebarkan maklumat itu kepada siapa pun dengan suara setara jeritan. Ia mulai menjauh. Dibawa satpam. Meninggalkanku yang duduk terpaku.***

 

Pernah terbit di portal basabasi pada tanggal 21 September 2018

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.