Sastra Untuk Kemanusiaan


Grup WA Pendopo Cucu Buaya

Sumber: pinterest

 

“Sebenarnya masih lebih ramai awal Ramadhan kemarin,” kata Pak De waktu aku berkomentar tentang rumah Pak De yang sebentar-sebentar didatangi anak kecil ketika aku ke rumahnya untuk silaturahmi pada hari ketiga setelah Idul Fitri kemarin.

“Untuk pinjam buku-buku ini?” tanyaku menebak sambil menunjuk buku-buku yang ada di rak-rak buku di pendopo rumahnya itu.

“Bukan. Mereka lihat yang ada di kolam itu,” menunjuk sebuah kolam ikan cukup besar yang di atasnya di tutup jeruji.

Lalu Pak De melanjutkan cerita tentang apa yang terjadi pada awal bulan puasa kemarin, tentang banyaknya anak kecil yang mengunjungi rumahnya, tentang buaya, dan tentang sesuatu yang sebenarnya agak sulit aku percayai.

Di awal puasa itu, waktu Pak De keluar dari rumah salah seorang temannya di kecamatan lain, perhatiannya tersedot pada kerumunan yang tidak biasa. Di pinggir sungai yang mengalir di seberang jalan dari rumah kawan Pak De itu, ada beberapa anak dan seorang lelaki berusia empat puluhan tahun yang berteriak-teriak. Pak De yang waktu itu sudah siap mobil segera mengurungkan niat dan menyeberang jalan menuju kerumunan di pinggir sungai itu.

Memang tidak biasa yang dia lihat: Si lelaki empat puluhan mengangkat tali yang di ujungnya terikat buaya kecil. Dari jarak berapa pun dia yakin itu buaya. Bukan biawak. Meskipun kecil dan tidak bisa berbuat banyak, seekor buaya sudah bertingkah seperti buaya. Murung tapi berbahaya. Tidak terlalu banyak gerak tetapi seperti menabung tenaga untuk menyerang.

“Dapat dari mana, Mas?” tanya Pak De ke lelaki yang kelihatan kerepotan mewanti-wanti anak-anak agar tidak menyentuh buaya kecil itu.

“Dari nyetrum barusan, Pak,” jawab si lelaki.

“Nyetrum?” tanya Pak De.

“Mungkin,” jawab lelaki itu.

Kemudian, dari perbincangan yang serba tidak jelas dan putus-putus itu, Pak De menyimpulkan bahwa si penyetrum ikan tanpa sengaja mendapatkan buaya itu ketika dia menyasar seekor ikan gabus. Ikan gabus yang dia sasar akhirnya memang mengambang, tapi bersama ikan gabus itu ada juga buaya yang ikut mengambang. Ketika moncong buaya itu muncul ke permukaan, dia sempat lari ke tepi sungai, tapi melihat buaya itu seperti linglung dan hanya mengambang, dia pun akhirnya mengambil buaya itu dan mengikatkan tali di belakang dua tungkai depannya.

“Mas, bagaimana misalnya kalau saya beri sampean ganti uang buat buaya ini?” tanya Pak De, agak ragu-ragu tapi tegas. Dia agak kasihan dengan si pencari ikan yang seperti sedang syok karena temuannya dan juga agak kerepotan mewanti-wanti agar anak-anak kecil itu agar tidak tercakar buaya yang meskipun kecil tapi berkuku tajam itu.

“Iya, Pak,” jawabnya dengan agak bergumam.

Pak De langsung membuka dompetnya dan berkata:

“Di dompet saya hanya ada tiga ratus ribu,” kata Pak De. “Kalau misalnya kurang, nanti sampean bisa ke rumah saya ambil sisanya.”

“Sudah, Pak, cukup,” kata lelaki itu—separuh bebannya sudah terhapuskan.

Tak lama kemudian buaya itu sudah berpindah tangan dan si pencari ikan langsung melanjutkan nyetrumnya di kanal yang airnya sedang agak surut itu. Pak De pulang ke rumah dan menaruh buaya itu di depan, di kolam ikan-ikan kecil yang ada di terasnya. Agar aman, paman menutup kolam itu dengan pintu jeruji yang dulunya pernah dia pakai untuk pintu pekarangan belakang.

Sebelum melanjutkan cerita, saya perlu menyela di sini tentang Pak De. Beliau ini seorang pensiunan pegawai yang beberapa waktu sebelumnya pernah menjadi lurah. Akhir-akhir ini dia menggemari binatang eksotis. Baru satu dua tahun ini. Yang sudah sejak lama dia sukai adalah membuat rumahnya ramai. Dia suka rumahnya ramai didatangi tetangga, terutama anak-anak kecil.

Sejak pensiun dan anak-anaknya bekerja dan berkeluarga di kota lain dan pulang hanya satu dua bulan sekali, dia memang berusaha dengan sadar agar rumahnya didatangi orang. Dia punya ayam hutan berekor panjang dalam kandang besi yang dia buat tepat di sebelah pendoponya. Dia juga punya seekor biawak cantik hadiah dari salah satu anak tetangga yang kuliah di kota. Si pemberi menyebutnya “kadal monitor.” Pak De menyebutnya “nyambik apik.” Semua ini Pak De letakkan di bagian pendopo rumahnya. Bu De selalu mendukung usaha Pak De membut pendoponya ramai.

Salah satu yang juga dia lakukan agar rumahnya ramai adalah menyiapkan beberapa rak buku dan mengisinya dengan buku-buku anak dan majalah anak. Kebanyakan adalah buku dan majalah bekas dari jaman anaknya kecil, buku-buku Bu De yang sepanjang hidupnya menjadi guru TK—bahkan sampai saat ini di usianya yang di atas 60 tahun itu—dan sumbangan dari anaknya sendiri yang menyempatkan beli buku-buku dan majalah bekas. Selalu ada sekelompok anak kecil yang datang ke rumahnya untuk membaca-baca. Anak-anak ini bebas membaca-baca dan berkeliaran di pendopo rumahnya.

Keluarga Pak De sejak awal memang cukup berada, dan rumahnya adalah satu-satunya rumah pendopo yang tersisa di desanya. Alih-alih menggantinya dengan bangunan dengan gaya lebih baru, Pak De memperbaiki pendoponya, memastikan kekuatan kuda-kudanya, mengganti usuknya, dan bahkan mengganti reng-rengnya dengan galvalum. Tapi, bentuknya tetap saja pendopo yang terbuka dan semilir.

Halaman rumahnya dulu cukup luas, tapi pelebaran jalan memangkas halamannya dan pagar tembok pematasnya juga terpangkas. Tapi, alih-alih memasang pagar besi di depan rumah, Pak De memilih membiarkan saja tidak ada batas antara jalan desa dan halaman rumahnya. Buat orang yang baru sekali melintas di depan rumahnya, rumah Pak De mirip dengan balai desa yang tidak ada plang-nya. Yang ada hanya plang bertuliskan “Pendopo Baca” hasil sumbangan salah satu anaknya baru-baru ini.

Tambahan buaya itu membuat pendopo Pak De jadi sedikit lebih ramai daripada biasanya. Anak-anak tetangga berdatangan ke rumahnya, lebih banyak dari yang biasanya datang untuk membaca buku dan majalah. Mereka datang, melihat-lihat buaya kecil yang berwarna agak pucat itu, tampak kagum, dan kemudian bertanya-tanya ke Pak De. Sebagian lagi menimpali kekaguman itu dengan cerita bahwa beberapa waktu yang lalu dia melihat buaya-buaya yang bermunculan di kawasan Porong. Ada juga yang pamer pengetahuan tentang perbedaan buaya Indonesia yang mulutnya seperti membentuk huruf V dengan buaya Amerika yang mulutnya berbentuk U. Ada juga yang cerita tentang buaya di India yang kakinya berbentuk sirip, seperti ikan, dan mulutnya juga seperti ikan—tapi dia bersikeras itu bukan ikan.

Pak De senang memperhatikan itu semua dari teras dalam di rumahnya sambil sibuk sendiri.

Setelah beberapa hari, yang berdatangan bukan hanya anak-anak tetangga saja. Orang-orang yang lebih besar, dan bahkan seumuran Pak De, ikut juga berdatangan untuk melihat buaya itu. Bahkan, ada juga seorang pembina pramuka membawa anak-anak didiknya, pramuka yang masih SD, untuk datang dan melihat buaya menjelang waktu berbuka puasa. Ketika anak-anak SD sedang mengadakan pondok ramadhan, beberapa datang mengajak teman-temannya dari sekolah untuk ke rumah Pak De sebelum jaman berbuka puasa untuk melihat buaya kecil itu.

Sesekali Pak De menyempatkan menemui tamu-tamu si buaya kecil itu.

Tapi, Pak De memperhatikan bahwa si buaya sendiri kian hari kian murung, padahal Pak De sudah membiarkan buaya itu memakan ikan-ikannya yang lebih kecil. Si buaya bisa diam berjam-jam tanpa bergerak sedikit pun. Orang-orang yang datang belakangan sampai sempat meragukan keaslian buaya tersebut—apalagi, di salah satu bagian kolam memang ada katak buatan yang sangat mirip dengan katak betulan yang sering kali membuat orang tertipu.

Hingga akhirnya, seminggu lebih sedikit sejak buaya kecil itu jadi tontotan dan membuat pendopo Pak De semakin ramai, datang serombongan orang dewasa (dan sebagian malah tua). Dari dalam ruangan utama rumah Pak De melihat orang-orang itu, menikmati keramaiannya. Pak De membiarkan saja mereka, seperti halnya Pak De membiarkan anak-anak tetangga membaca buku di taman bacanya itu.

Pak De mulai memutuskan keluar ketika orang-orang itu tidak kunjung pergi dan seperti menunggu si pemilik rumah keluar. Baru setelah agak dekat, Pak De mengenali salah satu pengunjung itu sebagai pencari ikan yang darinya Pak De mendapatkan si buaya kecil.

Wajah si pencari ikan itu tampak lebih kacau dan suram daripada waktu dia tanpa sengaja menyetrum si buaya kecil. Seingat Pak De, orang itu dulu sudah tidak linglung lagi setelah Pak De mengambil alih buaya tersebut. Waktu Pak De bertanya kabar si pencari ikan, tampaklah bahwa si pencari ikan seperti tidak mengenali Pak De. Justru orang tua lain, berbatik lengan panjang dan berkopyah hitam yang berbincang dengan Pak De.

“Jadi betul ya Bapak ini yang membeli buaya dari adik saya ini?” pertanyaan si bapak tua, lebih seperti memastikan saja.

“Iya, Pak, sebenarnya sih saya tidak berniat membeli, hanya mengganti adik Bapak ini untuk hasil dari usahanya mencari ikan sepagian itu,” Pak De lebih menegaskan lagi. “Ibaratnya, cuma mahar saja.”

“Saya beruntung ketemu Panjenengan, Pak,” kata si bapak tua.

Bapak tua itu menjelaskan siapa dirinya, yaitu orang yang dipercaya adiknya untuk membantu. Pak De menyimpulkan sendiri kalau orang tersebut adalah orang pintar. Si orang pintar menceritakan bahwa sudah beberapa hari ini dia keliling di daerah tempat adiknya—atau lebih tepatnya klien-nya—menemukan buaya tersebut. Mereka mencari orang yang membeli buaya dari si pencari ikan. Si pencari ikan tidak ingat siapa yang membeli buaya itu dan di mana dia menjualnya. Dan, karena jauhnya jarak antara sungai tempat si pencari ikan menemukan buaya dan rumah Pak De, selama berhari-hari mereka gagal menemukan si buaya kecil. Baru tadi paginya si orang pintar mendengar desas-desus tentang buaya tontotan kecil—dan nontonnya tidak perlu bayar. Ternyata, gambar buaya di pendopo Pak De itu menyebar dari grup WA satu ke grup WA lainnya.

Si orang pintar juga menceritakan bahwa tepat pada malam hari setelah Pak De mengambil buaya dari tangan si klien, si klien bermimpi didatangi seorang kakek yang wajahnya terlihat agak tidak wajar. Si pencari ikan tidak bisa memastikan letak ketidakwajaran wajah si kakek. Yang dia tahu pasti, si kakek ini marah-marah dan mengancam:

“Kembalikan cucuku,” kata si Kakek berwajah tidak biasa.

“Cucu siapa, Mbah?” jawab si klien di dalam mimpi.

“Kembalikan cucuku,” bentak si kakek. “Kalau tidak, anakmu dan cucu-cucumu nanti akan aku ambil sebagai gantinya.”

Mimpi ini berulang selama tiga hari, dan selanjutnya si pencari ikan memutuskan memberitahukan kepada si orang pintar. Si orang pintar membantu si pencari ikan mengetahui bahwa yang dimaksud “cucu” oleh si kakek tua adalah buaya kecil yang sudah dia setrum itu. Si orang pintar juga menebak bahwa kakek tua di dalam mimpi itu adalah manusia jadi-jadian. Si orang pintar sangat heran, karena sudah agak lama tidak terdengar ada yang didatangi atau ditemui manusia buaya di daerah ini.

Sekarang, si orang pintar menawarkan uang lima ratus ribu rupiah untuk mendapatkan kembali buaya tersebut. Tentu saja kalau yang ada di dalam mimpi itu benar manusia buaya, maka dia tidak mau keluarga si pencari ikan diambil sebagai pengganti. Lagian, kita tidak tahu apakah hanya diambil untuk dibawa ke alam lain atau diambil untuk dimakan dan dikembalikan sebagian kecil tubuhnya saja—si orang pintar hanya membisikkan bagian ini kepada Pak De.

Si orang pintar menyodorkan uang lima ratus rupiah di atas meja di hadapan Pak De sambil menyatakan bahwa kalau Pak De setuju, mereka akan segera mengembalikan buaya ke kakeknya.

“Kalau memang begitu, Pak,” kata Pak De. “Panjenengan bawa saja buaya ini, uangnya juga Panjenengan bawa lagi. Saya yang minta maaf sudah merepotkan. Saya cuma ingin buat rame-ramean di rumah saja.”

Pak De hanya meminta satu hal saja: dia ingin diikutkan waktu sedang mengembalikan buaya itu ke kakeknya. Si orang pintar menyetujuinya dan menyebutkan tempat dan waktu pengembalian buaya itu ke kakeknya.

“Aku sebenarnya ya sayang melepaskan buaya itu lagi,” kata Pak De kepadaku.

“Tapi memang betul begitu, Pak De?” tanyaku. “Tentang manusia buaya yang masuk ke dalam mimpi itu?”

“Gimana ya?” kata Pak De. “Kalau buat Pak De sih, Sayang sebenarnya, soalnya seminggu itu rumah jadi ramai dan enak. Tapi ya, namanya puasa itu kan menahan nafsu? Ya, nggak?”

Lalu Pak De menceritakan apa yang terjadi keesokan hari setelah kedatangan rombongan penjemput anak buaya itu—atau lebih tepatnya cucu buaya. Pak De pergi ke lokasi pengantaran buaya, di pertemuan antara kanal dan sungai besar. Di tempat yang agak rindang di kanal tersebut, sudah banyak orang berkerumun. Di tengah kerumunan, terlihat tatanan bunga tiga warna di atas alas dari daun-daun beras utah yang lebar. Ada tatanan yang terbuat dari bunga kenanga, mawar, dan kantil. Ada juga yang dari mawar, melati, dan kantil. Ada juga pincukan-pincukan daun pisang yang berisi nasi lengkap dengan lauk srundeng, telur, dan perkedel.

Melihat Pak De datang, orang-orang mempersilakannya untuk mendekati si pemimpin ritual. Si cucu buaya juga terlihat tenang di dalam akuarium yang di atasnya ditutup dengan papan yang ditahan sebuah paving. Pak De hanya diam melihat si orang pintar seperti berdoa sendiri tanpa tahu doa apa yang disampaikan, bahasa Arab atau Jawa, atau lain-lain.

Setelah agak lama si orang pintar mengambil buaya kecil itu dan menggendongnya, seperti menggendong bayi berusia dua minggu. Si buaya kecil tetap tenang. Si orang pintar mulai mencebur ke sungai perlahan-lahan dengan bantuan seseorang yang memegang pundaknya. Kanal itu hanya sedalam dada si orang pintar. Mestinya kaki si orang pintar tenggelam lumpur sampai barang satu hasta. Si cucu buaya tetap tenang.

Sekitar satu menit yang terasa cukup panjang, tidak ada sesuatu pun terjadi. Satu dua orang yang memvideokan dengan HP mereka mulai mematikan karena mungkin mulai pesimis. Si pencari ikan yang duduk di sebelah Pak De mulai resah. Semua orang menahan nafas ketika si orang pintar menoleh dan langsung memandang si pencari ikan.

“Dik, sampean ke sini sebentar,” kata si orang pintar memanggil si pencari ikan yang duduk di sebelah Pak De. Yang dipanggil buru-buru ke depan, wajahnya tetap semurung biasanya.

“Sepertinya sampean sendiri yang harus mengembalikan bocah ini,” kata si orang pintar sambil menyerahkan buaya kecil yang tampak malas dan tidak berbahaya itu setelah si pencari ikan sudah di air di sebelah orang pintar. Tidak seorang pun berkata-kata kecuali si orang pintar. Setiap ucapannya terdengar jelas meskipun ditingkahi suara aliran sungai dan desir angin di dedaunan turi

“Jangan lupa sampean minta maaf di dalam hati.”

Si pencari ikan ragu-agu tapi menerima juga buaya tersebut. Wajahnya kelihatan agak tenang. Pak De mengira dia sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi kepadanya. Pak De sendiri mulai resah, jangan-jangan nanti kalau si buaya tidak mau pergi akhirnya Pak De yang harus turun ke kali. Lagipula, dia merasa punya andil menjauhkan buaya kecil itu dari kakeknya.

Baru sebentar si pencari ikan berdiri di air dan si orang pintar kembali lagi ke atas dan duduk di depan tumpeng, di tengah kanal tampak ada gerakan air yang tidak biasa. Belum habis rasa kaget orang-orang melihat gerakan air itu, muncullah buaya sangat besar di permukaan sungai. Si pencari ikan yang menggendong buaya kecil itu bergeming. Pak De tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, tapi dia bayangkan si pencari ikan itu sudah pasrah. Buaya besar itu beberapa meter di depannya, di tengah kanal. Si buaya mengambang saja sambil ekornya sedikit bergoyang, seperti berenang pelan melawan arus.

Sebentar kemudian si buaya kecil mulai bergerak-gerak di tengah si pencari ikan. Orang-orang mulai sibuk memvideokan kejadian tersebut. Tanpa mereka sadari, si buaya kecil lepas dari gendongan si pencari ikan dan berenang mendekati buaya tua.

“Pak, tolong juga mintakan maaf dari saya,” bisik Pak De ke orang pintar yang sedang memanjatkan doa sambil memandang lurus ke si buaya.

“Tenang, Pak, sampean tidak ikut apa-apa di sini,” kata si orang pintar tanpa menoleh.

Begitu buaya kecil sampai bersentuhan dengan buaya besar, kedua buaya itu perlahan-lahan masuk lagi ke bawah permukaan air. Si pencari ikan tetap di tempatnya berdiri sampai akhirnya seseorang menuntunnya kembali naik ke daratan.

“Mungkin sulit dipercaya,” kata Pak De kepadaku. “Tapi sampean bisa cari di Facebook. Atau mungkin di grup-grup WA. Banyak kok yang memvideokan.

Aku mengiayakan Pak De sambil melihat kolam kecil yang masih ditutup jeruji yang sebenarnya adala pagar belakang itu.

“Sekarang ya begini lagi, sepi lagi,” kata Pak De. “Kira-kira apa lagi yang bisa dipakai biar anak-anak ini ngumpul di sini ya? Buku-buku ini juga kayaknya gak begitu membantu, padahal di depan itu sudah ada plang ‘Pendopo Baca’ itu. Sayang pendopo sebesar ini sepi.”

“Waduh, apa ya, Pak De?” aku tidak tahu harus menjawab apa. “Saya tanyakan teman-teman di grup WA dulu ya? Siapa tahu mereka ada saran.”

Pernah dimuat di Radar Malang pada bulan Juli 2018

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

baca juga yang lain

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.