Sastra Untuk Kemanusiaan


Menanti Blanggur

Sumber: Wiena Larasati

Langit hampir gelap, namun Aliman dan Yohan masih duduk di salah satu anak tangga di bibir gang kampung. Mata mereka terpaku menatap lagit, pun mata anak-anak lain yang sebaya dengan mereka.

Tidak lama, suara ledakan dan percikan api terdengar besusulan. Langit yang hampir gelap sekarang dihiasi percikan api yang mekar mirip kembang.

“Blanggur! Blanggur!” jerit anak-anak yang sedari dari duduk di sepanjang tangga, termasuk Aliman dan Yohan.

Mereka berjingkrak dan kemudian berlarian dengan telanjang kaki sambil masuk ke dalam kampung. Setelahnya, barulah mereka masuk ke dalam rumah masing-masing.

“Besok lagi ya, Man!” teriak Yohan sebelum masuk ke dalam rumahnya yang memiliki pagar tinggi.

Belum sempat Aliman mengangguk mengiyakan, Yohan sudah menghilang dari balik pagar rumahnya. Aliman kemudian buru-buru masuk dalam rumahnya yang berjarak beberapa rumah saja dari rumah Yohan.

Sudah waktunya berbuka puasa, emak pasti sudah menunggu, batin Aliman.

***

Aliman tidak pernah terlalu mengerti, mengapa dirinya berkulit gelap sedang Yohan memiliki kulit terang. Yang dia mengerti, emak selalu menempeleng kepalanya, saat berani memakan makanan yang diberikan teman yang sudah bersama dengannya sebelum masuk sekolah dasar itu.

“Iman! Kamu sepeti orang yang kurang makan saja!” jerit emak saat tahu Aliman memakan makanan dari Yohan.

Sebaliknya, Yohan begitu bebas menerima makanan dari Aliman. Ibunya tidak pernah menempeleng kepalanya saat tahu dirinya menerima makanan dari Aliman.Padahal, makanan yang Aliman berikan begitu sederhana, tidak jauh dari roti moho atau lupis dan getas. Sedangkan, makanan yang didapat Aliman dari Yohan justru makanan yang jarang sekali dia dapat seperti dimsum daging.

Ibu Yohan yang ramah dan berkulit terang itu, juga sering melarang putranya berbagi maka dengan Aliman kecuali beberapa keripik kentang. Aliman tidak pernah mengerti…sungguh-sungguh tidak mengerti. Namun dia mengerti bahwa mata sipit Yohan dia dapat dari ibu dan bapaknya yang memiliki mata yang sama, juga nenek dan kakak perempuannya.

***

Blanggur hanya datang sekali setahun, sebulan penuh ketika bulan puasa. Kembang api yang menyala sebelum adzan magrib itu, datang dari masjid agung Jami’. Sebuah masjid besar yang letaknya ada di depan alun-alun kota Malang.

Aliman sore itu menanti blanggur, bersama banyak anak-anak sebayanya. Seperti sore-sore sebelumnya, dia duduk di samping Yohan di sepanjang tangga di mulut gang. Nyala blanggur yang begitu keras dan membumbung sangat tinggi melebihi atap masjid, membuatnya dapat dilihat dari kampung-kampung yang ada di sekitar masjid.

Selain karena kesenangan, Aliman tidak pernah mengerti kenapa Yohan juga senang menanti blanggur. Tidak sepertinya yang di bulan puasa tidak makan dan minum sampai muncul blanggur, Yohan berkali-kali didapati Aliman makan di siang hari. Berkali-kali pula, ibu Yohan menegur halus Yohan sambil mengajaknya untuk makan di dalam rumah saja, meski Aliman sudah terlanjur ngiler.

Meski tidak pernah mengerti, Aliman tidak pernah bertanya. Dia sudah cukup senang bisa melompat-lompat dan berteriak girang bersama Yohan saat blanggur datang. Bahkan hingga bertahun kemudian, ketika blanggur tidak lagi pernah datang, Aliman dan Yohan tetap berlarian bersama di dalam kampung.

***

Lelaki yang ada hadapan Aliman itu tetap sama. Kulitnya tetap terang dan matanya tetap sipit. Namun kini perutnya membuncit dan ada seorang gadis berusia enam tahun dalam gendongannya. Yohan dan putrinya yang ketiga…

“Kamu ingat emakmu dulu tidak, Man? Dia sering menempelengmu saat menerima makanan dari aku.” Ucap Yohan disusul gelaknya yang kemudian juga bebaur dengan gelak Aliman.

“Blanggur sayangnya tidak pernah datang lagi ya, Man?” Yohan kembali berucap lebih kepada dirinya sendiri.

Tidak lama, seorang perempuan berkulit gelap muncul membaca dua mangkuk makanan. Perempuan itu diperkenalkan Yohan sebagai istrinya.

Setelah bersalaman singkat dengan istri Yohan itu, Aliman buru-buru mengintip isi mangkuk yang ada di hadapannya. Dimsum daging…

“Tenang saja, Man. Itu bikinnya dari daging ayam kok.” Kata Yohan seolah bisa menebak keraguan Aliman.

Mereka berdua kembali tergelak. Lepas…

 

CATATAN: Untuk Hari Tolerasi Internasional, 16 November 2016

Pernah dimuat di  Ruang Scipta – harian Radar Malang – Jawa Pos  28 November 2016

 

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.