Menanam Bintang di Ladang
Apa kaudengar irama yang menari di setiap kedipan matamu?
Mereka berlompatan hingga julang-terbang.
Mereka berlarian di pelupuk matamu yang terayun-ayun.
Mereka berdansa mengiringi langkah suaramu,
hingga kau pun lupa rasa apa.
Pada kelam senyapnya malam:
mereka mengendap berebut jari-jemarimu,
menggeletiki ujung-ujung kukumu,
dan lincah berkerumun ke telingamu.
Mereka pun berhasil menjelma dalam benakmu.
Kau pun terbangun sebelum tidur.
Kaupandang meradang di hamparan bintang.
Satu per satu tampak bagai tangga nada yang gemilang.
Sebelum satu merangkul, yang lain telah menyahut.
Sebelum purna jadi gugusan, yang lain pun membaur.
Kaukeluh candu mana yang terdahulu:
hingga berpuluh suka kembali jadi alpa.
Kautarung segalanya dalam pena malam.
Kaupetik satu per satu cahayanya:
kautaburkan pada hamparan lontar
hingga benih-benihnya tumbuh menyenangi ladang
hingga benar-benar akan bersulang.
Adakah sudah kaudengar irama yang di setiap sela anganmu?
Cobalah kau hitung, adakah yang timbul di tanah yang subur.
Bilamana entah datang, memang bukan masa sekarang.
Lepas kita menuai dari masa moyang, lantaslah kita terus menanam:
meski kita tak meraih di sama ladang.
Surabaya, 2017
Di sebuah Dusun
Kopi telah dituangkan di gelas kaca mungil.
Kududuk di samping bocah kecil
terlelap berselimut selendang merah muda.
Dingin telah terganti hangat baginya.
Seperti kopi ini yang siap kuseduh.
Bersama perbincangan sederhana
yang tak pernah terperoleh di kota:
mengisi benak penuh makna.
Jelajah kaki menuju tanah-tanah:
berisi makanan dan harapan.
Pisang, cabai, dan jagung
mengajak serta dalam masakan.
Sedangkan mawar-mawar dan salihara
terlena alunan udara senja.
Senyum ibu bocah di hadapan tungku yang menyala.
Mengabarkan hasrat begini saja
dan diiringi nada-nada air yang menuruni tebing
hingga mimpi mencukupi.
Malang, 2015
Memupuk Malam
Hingga sepertiga malam,
kami berbincang hingga dalam.
Di antara keriuhan yang tajam,
terendam dalam segelas kopi malam.
Kami tak menciptakan kebohongan:
mengadakan dari ketiadaaan.
Masing-masing kami memegang baja
dari buah pikiran.
Ada yang mengayun hingga ke ujung-ujung.
Ada yang berlayar hingga berbayang-bayang.
Ada yang bertabu hingga bersaru-seru.
Ada yang terbang hingga ke ruang-ruang.
Ada yang berjalan merakit genderang.
Ada yang melompat antarmula pulau.
Dan ada yang menjelma berlipat rupa.
Menyublim menggugat cita.
Malang, 2016