Abstrak: Seiring dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif dan kewirausahaan kreatif pada umumnya, industri kreatif dan kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni juga telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Akan tetapi, pertumbuhan dan perkembangan itu belum menggembirakan dan sesuai kebutuhan industri kreatif. Hal ini disebabkan oleh keengganan penggelut bahasa dan seni untuk terjun menjadi wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni di samping keengganan wirausahawan kreatif pada umumnya melirik potensi bahasa dan seni sebagai bahan dasar produk kreatif yang menjanjikan. Keengganan tersebut timbul akibat belum tersedianya model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni.
Kata Kunci: Ekonomi kreatif, industri kreatif, kewirausahaan kreatif, bahasa dan seni
Pertumbuhan, perkembangan, dan perluasan ekonomi kreatif dan industri kreatif sangat pesat di dunia baik di Eropa, Amerika, Amerika Latin, Afrika, Australia maupun di Asia (Fonseca-Reis, 2008:14-49; Santos-Duisenberg, 2008:50-73; Kovacs, 2008: 94-121; Davis, 2008:174-191; Ramanathan, 2008:194-215; UNCTAD, 2009: 42-56). Sektor-sektor kreatif dan usaha-usaha kreatif telah tumbuh dan berkembang sangat pesat di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia sehingga dianggap sebagai sektor ekonomis, industrial, dan bisnis paling dinamis dalam ekonomi global termasuk ekonomi Indonesia (simak Tempo, Desember 2009; UNESCO, 2005; 2007; UNCTAD, 2009:101-136). Meskipun baru tahap awal, industri kreatif beserta sektor kreatif dan usaha kreatif juga telah tumbuh dan berkembang sangat pesat dan dinamis di Indonesia (simak Departemen Perdagangan RI, 2007; Majalah Berita Mingguan Tempo, September 2008; Kompas, 2008:5; 2008b). Demikian juga industri kreatif beserta sektor kreatif dan usaha kreatif berbasis bahasa dan seni sudah mulai tumbuh dan berkembang dinamis di Indonesia.
Kepesatan dan kedinamisan perkembangan industri kreatif berbasis bahasa dan seni tersebut tampak pada dua hal. Pertama, sekarang semakin banyak dan beraneka ragam bentuk dan jenis lapangan usaha, pangsa pasar, dan peluang usaha kreatif berbasis bahasa dan seni sebagaimana tertera dalam KBLI [Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia], ACLC [Australian Culture and Leisure Classifications] dan NAICS [North America Industrial Classification Standard] atau ISIC Codes [International Standard Industrial Classification for All Economies]). Sebagai contoh, terapi naratif, seni pertunjukan, barang seni, barang antik, seni lukis, animasi, desain grafis, pembicara publik [public speaker], jasa penerjemahan, jasa penyuntingan, jasa penulisan draf [copywritter], kepenyiaran [broadcasting], kepembawaacaraan [master ceremony], presenter, dan bahkan bercerita [mendongeng] semakin banyak diperlukan orang atau kelompok masyarakat Indonesia untuk berbagai keperluan. Kedua, semakin banyak pengusaha atau wirausahawan kreatif Indonesia mendulang sukses dalam mengembangkan produk kreatif sehingga memperoleh penghargaan dari berbagai pihak baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam buku Seri Kekayaan Tersembunyi: Sukses Mengeksplorasi Seni (2003) dikemukakan kisah 38 (tiga puluh delapan) wirausahawan kreatif yang sukses mengeksplorasi seni menjadi produk kreatif di samping juga sukses mengembangkan sektor kreatif dan usaha kreatif berbasis seni. Majalah Business Week (Nomor 34, tanggal 9 Desember 2009) melaporkan bahwa sembilan dari 25 finalis penghargaan Asia’s Best Young Entrepreneurs 2009 versi Business Week adalah wirausahawan muda Indonesia yang sebagian besar berkiprah pada sektor kreatif dan usaha kreatif berbasis bahasa dan seni. Demikian juga Majalah Berita Tempo (Edisi Khusus Pengusaha Pilihan 2009) telah menobatkan 8 (delapan) usaha kecil dan pengusaha kecil pilihan yang terbukti sebagian besar bergerak pada sektor kreatif dan usaha kreatif. Semua itu menunjukan bahwa industri kreatif beserta sektor kreatif dan usaha kreatif di Indonesia – termasuk industri kreatif beserta sektor dan usaha kreatif berbasis bahasa dan seni – mulai tumbuh dan berkembang secara mengesankan dan signifikan.
Pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif beserta sektor kreatif dan usaha kreatif tersebut digerakkan dan dikendalikan oleh kewirausahaan kreatif di samping kebijakan pemerintah yang kondusif. Cotis (2007) menegaskan bahwa kewirausahaan kreatif telah menjadi mesin atau motor penggerak industri kreatif beserta sektor kreatif dan usaha kreatif di berbagai tempat di dunia. Di sinilah kelas kreatif terutama wiausahawan kreatif berperan signifikan. Laporan UNCTAD tentang Creative Economy 2008 (2009:16-208) telah menunjukkan betapa sangat signifikannya peran kelas kreatif terutama wirausahawan kreatif di samping kebijakan pemerintah nasional dan lembaga internasional dalam perkembangan industri kreatif sehingga industri kreatif menjadi sektor ekonomi baru paling dinamis di dalam perdagangan dunia. Sebagaimana telah dilaporkan oleh surat kabar Kompas, Majalah Berita Mingguan Tempo, dan Mingguan Business Week, dan berbagai media nasional lain, perkembangan dinamis industri kreatif, sektor kreatif, dan usaha kreatif di Indonesia juga digerakkan oleh kewirausahaan kreatif beserta wirausahawan kreatif di samping oleh kebijakan pemerintah Indonesia yang mulai kondusif. Kebijakan pemerintah Indonesia yang mulai kondusif ini, antara lain, berupa berbagai penerbitan peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang Hak Cipta dan penetapan cetak biru [blue print] ekonomi kreatif serta pencanangan Tahun Indonesia Kreatif 2009 yang disertai dengan berbagai kegiatan pendukung. Seiring dengan hal itu, dinamika perkembangan industri kreatif, sektor kreatif, dan usaha kreatif, bahkan aktivitas-aktivitas industri kreatif berbasis bahasa dan seni di Indonesia juga dimotori oleh kewirausahaan kreatif sekaligus wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni. Jadi, kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni – selain kebijakan pemerintah yang kondusif – terbukti menentukan perkembangan industri kreatif berbasis bahasa dan seni.
Akan tetapi, sayang, sejauh pengamatan peneliti, pemetaan sekaligus penelitian secara utuh-menyeluruh tentang ekonomi kreatif Indonesia, industri kreatif Indonesia, kewirausahaan kreatif Indonesia, dan kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni relatif belum banyak dilakukan. Demikian juga kemajemukan sekaligus kekayaan seni dan budaya (di) Indonesia yang tergolong luar biasa belum dieksplorasi dan ditransformasikan sedemikian rupa menjadi produk kreatif baik berupa barang maupun jasa kreatif sehingga potensi dan prospek industri kreatif yang demikian besar belum tergarap secara maksimal. Tak mengherankan, sektor kreatif dan usaha kreatif serta aktvitas-aktivitas ekonomis dari industri kreatif yang demikian potensial dan prospektif juga belum tereksplorasi atau tergali secara maksimal. Hal tersebut terjadi karena kewirausahaan kreatif beserta wirausahawan kreatif sebagai anggota kelas kreatif belum dikembangkan dan diperkuat secara sungguh-sungguh (Departemen Perdagangan RI, 2007; Kompas, 2008; 2008b).
Sehubungan dengan itu, sangat wajar jika sampai sekarang kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni sebagai wujud industri kreatif belum mampu tumbuh dan berkembang dengan sangat optimal di Indonesia. Tak mengherankan sektor kreatif dan usaha kreatif berbasis bahasa dan seni tampak tertinggal atau kalah berkembang dibandingkan dengan sektor-sektor perangkat lunak, penelitian dan pengembangan, dan arsitektur (simak BOP dan University of Leeds, 2004; Kompas, 2008b; UNCTAD, 2009). Untuk mengejar ketertinggalan pada satu pihak dan pada pihak lain untuk memacu perkembangan industri kreatif beserta usaha kreatif dan usaha kreatif berbasis bahasa dan seni di Indonesia diperlukan model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni. Dengan pengembangan model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni tersebut (calon) wirausahawan kreatif dan pelaku usaha kreatif berbasis bahasa dan seni, lebih-lebih penggelut bahasa dan seni di Indonesia, dapat memiliki acuan atau gambaran utuh ketika berkiprah di bidang kewirausahaan kreatif beserta usaha kreatif berbasis bahasa dan seni. Untuk itu, dilaksanakanlah penelitian dan pengembangan model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni sebagai wujud atau manifestasi industri kreatif Indonesia. Sebelum dapat dikembangkan model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni, perlu dilakukan penelitian pendahuluan tentang profil industri kreatif dan kewirausahaan kreatif secara komprehensif termasuk ke dalamnya profil industri kreatif dan kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni. Setelah itu, barulah bisa dikembangkan model kewirausahaan kreatif berbais bahasa dan seni. Berdasarkan pertimbangan inilah ditetapkan fokus masalah penelitian tahun pertama, yaitu: seperti apakah profil industri kreatif dan kewirausahaan kreatif Indonesia? Kemudian fokus pengembangan tahun kedua adalah: Bagaimanakah model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni yang mampu menumbu-kembangkan industri kreatif Indonesia? Dengan fokus masalah tersebut diharapkan dapat dihasilkan sebuah model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni sebagai wujud atau manifestasi industri kreatif selain profil industri kreatif dan kewirausahaan kreatif Indonesia. Tulisan ini merupakan beberan hasil penelitian tahun pertama.
METODE
Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan model pengembangan RDR (research-development research) dikombinasikan dengan R2D2 (recursive reflective development design). Prosedur pengembangnya meliputi (i) pra-pengembangan produk berupa penelitian pendahuluan untuk pendefinisian produk, (ii) saat pengembangan prototipe produk, dan (iii) finalisasi dan diseminasi produk berupa uji coba prototipe produk, revisi produk, dan diseminasi produk. Dalam penelitian pendahuluan yang dibeberkan dalam tulisan ini dipakai paradigma dan pendekatan kualitatif. Sumber datanya berupa dokumen-dokumen, informan yang terkait dengan industri kreatif dan kewirausahaan kreatif, dan para pelaku industri kreatif serta penggelut bahasa dan seni. Datanya dikumpulkan dengan cara Focus Group Discussion (FGD), studi dokumentasi, observasi, dan wawancara dengan disertai panduan FGD, pedoman studi dokumentasi, catatan lapangan, dan panduan wawancara. Data kemudian dianalisis dengan analisis interaktif dan bolak-balik ala Miles dan Huberman. Dalam pada itu, dalam pengembangan model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni digunakan subjek uji coba terdiri atas pakar industri kreatif dan kewirausahaan kreatif, penggelut bahasa dan seni, pelaku industridan wirausaha kreatif, dan konsumen produk-produk kreatif. Data uji coba dikumpulkan dengan FGD dan pengisian kuesioner tentang kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni. Selanjutnya data dianalisis dengan kualifikasi dan kuantifikasi sehingga diperoleh keefektifan produk berupa model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni.
TEMUAN PENELITIAN
Paradigma, Pendekatan, dan Taksonomi Industri Kreatif
Berdasarkan analisis data dapat dikatakan bahwa terdapat berbagai paradigma, pendekatan, dan sistem taksonomi atau klasifikasi industri kreatif yang telah dikembangkan dan digunakan oleh berbagai pihak baik pemerintah, pakar dan pemerhati maupun pelaku industri kreatif untuk mengelompokkan, menjabarkan, dan memerinci sektor-sektor kreatif, subsektor-subsektor kreatif, dan aktivitas-aktivitas ekonomis yang menyertai berbagai sektor industri kreatif yang ada. Meskipun ada perbedaan substansial, tetapi tidak dominan, perbedaan paling menonjol lebih bersifat prosedural dan metodologis di antara berbagai paradigma, pendekatan, dan sistem taksonomi industri kreatif tersebut sehingga perbedaan penjenisan dan pengelompokan sektor kreatif, subsektor kreatif, dan atau aktivitas-ativitas ekonomis yang menyertai industri industri kreatif tidak selalu membedakan substansi atau keluasan isi yang tercakup ke dalam industri kreatif. Apapun dan bagaimanapun cara penjenisan dan pengelompokan sektor-sektor kreatif dan subsektor-subsektor kreatif, sektor-sektor kreatif dan subsektor-subsektor industri kreatif yang ada telah memungkinkan adanya berbagai aktivitas ekonomis, terbukanya berbagai lapangan usaha kreatif, terbukanya berbagai kesempatan kerja kreatif, dan munculnya kebutuhan-kebutuhan akan produk-produk kreatif.
Sebagaimana halnya negara-negara lain, Indonesia juga mengembangkan sistem taksonomi atau klasifikasi industri kreatif Indonesia dengan paradigma dan pendekatan kontekstual Indonesia, yaitu paradigma dan pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentinga Indonesia. Berdasarkan hal tersebut kemudian dilakukan penjenisan dan pengelompokan berbagai gejala industri kreatif ke dalam 14 (empat belas) sektor kreatif, yaitu periklanan, arsitektur, pasar barang seni dan antik, kerajinan atau seni kriya, desain, fesyen, video-filem-fotografi, permainan interaktif, seni musik, seni pertunjukan, penerbitan dan pencetakan, layanan atau jasa computer dan piranti lunak, televisi dan radio, dan penelitian dan pengembangan. Keempat belas sektor kreatif mendorong timbulnya berbagai aktivitas ekonomis sehingga memungkinkan terbukanya berbagai lapangan usaha, kesempatan kerja kreatif, dan jenis pekerjaan kreatif. Dengan mengacu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (2005), dapat dikatakan bahwa lapangan usaha dan jenis pekerjaan yang muncul, terbuka, dan atau berkembang dalam berbagai sektor kreatif telah mencapai ratusan, bahkan ribuan, sehingga banyak tenaga kerja kreatif atau pekerja kreatif dapat terserap. Walaupun demikian, dengan mengacu The Standard Industrial Classification (SIC) Codes of the Nation’s Art-Related Businesses, International Standard Industrial Classification for All Economic Activities (ISIC) Rev 4, North-America Industrial Standard Classification (NAICS), dan Australian Culture and Leisure Classifications dapat dikatakan bahwa masih banyak aktivitas ekonomis dari industri kreatif Indonesia belum eksplorasi dan teraktualisasi sehingga masih banyak pula jenis lapangan usaha dan jenis pekerjaan di sektor-sektor (industri) kreatif belum terbuka dan berkembang di dalam ekonomi kreatif dan industri kreatif Indonesia. Oleh sebab itu, potensi-potensi lapangan usaha kreatif dan jenis pekerjaan kreatif dalam industri kreatif Indonesia masih perlu digarap dan diaktualisasi lebih lanjut.
Sumbangan (Kontribusi) Industri Kreatif di Indonesia
Berdasarkan analisis data diketahui bahwa sektor yang baru tumbuh dan berkembang di Indonesia, industri kreatif Indonesia telah memberi sumbangan atau kontribusi cukup berarti (signifikan) bagi perekonomian Indonesia di samping sumbangan bagi kondisi sosial budaya Indonesia. Sumbangan itu tampak pada peran industri kreatif Indonesia dalam (i) pencapaian target dan peningkatan produk demestik bruto (PDB) Indonesia, (ii) penyerapan tenaga kerja (kreatif) ke dalam sektor kreatif, (iii) jumlah dan reputasi perusahaan kreatif (creative enterprise) Indonesia yang cukup besar dan berarti, (iv) potensi dan aktualisasi ekspor produk-produk kreatif Indonesia yang cukup besar dan terus tumbuh secara berarti, dan (v) dampak industri kreatif terhadap kondisi sosial-budaya-ekonomis yang berarti berupa terawatnya keanekaragaman budaya, toleransi sosial, dan berkurangnya pengangguran.
Kemampuan industri kreatif Indonesia memberi sumbangan berarti bagi perekonomian Indonesia dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dapat terus ditingkatkan bila terdapat landasan dan pilar industri kreatif Indonesia yang mantap dan kuat. Landasan utama industri kreatif Indonesia adalah modal insani atau modal kreatif atau modal intelektual (human capital, creative capital, intellectual capital, atau istilah lamanya human resources), sedangkan pilar utama industri kreatif Indonesia adalah industri, teknologi, sumber daya, kelembagaan atau institusi, dan lembaga pembiayaan industri kreatif Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi modal manusia atau modal kreatif masih belum memadai kompetensi dan kinerjanya untuk menumbuhkembangkan industri kreatif Indonesia. Walaupun demikian, harus diakui sudah mulai tumbuh pekerja-pekerja kreatif dan wirausahawan-wirausahawan kreatif atau talenta-talenta kreatif Indonesia yang kompeten, berprestasi dan bereputasi baik nasional maupun internasional. Dalam pada itu, kondisi struktur industri, teknologi pendukung, sumber daya pendukung, lembaga-lembaga pendukung, dan lembaga pembiayaan intermediasi bagi industri kreatif Indonesia masih belum kondusif, konstruktif, dan maksimal member dukungan bagi perkembangan ekonomi kreatif Indonesia. Peningkatan kemampuan dan kualitas dukungan berbagai pilar industri kreatif tersebut masih perlu ditingkatkan agar pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif Indonesia bisa lebih cepat dan bermakna.
Pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif Indonesia sangat terbuka dan sangat berarti dapat terjadi jika berbagai peluang yang tersedia dapat dimanfatkan secara optimal dan tantangan yang muncul dapat direspons secara cerdas dan memadai. Peluang industri kreatif Indonesia baik di dalam negeri maupun di luar negeri sangat besar mengingat pangsa pasar produk-produk kreatif yang semakin besar sekarang dan akan semakin terus membesar pada masa akan datang. Di samping itu, lapangan-lapangan usaha kreatif juga semakin besar baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal tersebut disebabkan oleh (i) berubahnya perilaku pasar dan konsumen, (ii) tumbuh dan berkembangnya era produksi non-massal, (iii) semakin besarnya konsumsi negara-negara G7/G20, (iv) semakin besarnya porsi pasar produk kreatif di dalam negeri, dan (iv) beraneka ragamnya seni dan budaya Indonesia. Selain itu, di samping peluang besar, industri kreatif Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Tantangan besar yang dimaksud berupa (i) penyiapan modal insani atau modal kreatif yang berkualitas dan memadai, (ii) pengadaan dan peningkatan lembaga pendidikan yang relevan dan fungsional yang mampu menghasilkan tenaga kerja kreatif, pekerja kreatif, dan atau wirausahawan kreatif berkualitas, (iii) pemanfaatan keanekaragamkan kultural Indonesia secara cerdas, arif, dan lestari sebagai “bahan baku” industri kreatif Indonesia, (iv) penguatan kesiapan perangkat negara dalam mendukung perkembangan industri kreatif, (v) pemanfaatan momentum perdagangan bebasar secara maksimal, (vi) penguatan dukungan lembaga pembiayaan bagi industri kreatif. Kemampuan industri kreatif menjawab peluang dan tantangan tersebut akan membuat industri kreatif makin berkembang di Indonesia.
Industri kreatif Indonesia tidak bisa dibiarkan begitu saja pertumbuhan dan perkembangannya, harus ada intervensi dan investasi untuk memberi arah dan sasaran pertumbuhan dan perkembangannya. Untuk itu, diperlukan sasaran dan arah pengembangan industri kreatif Indonesia. Pengembangan industri kreatif Indonesia diarahkan dan diharapkan mencapai sasaran untuk (i) meningkatkan pendapatan domestik bruto Indonesia, (ii) meningkatkan ekspor produk kreatif baik barang maupun jasa kreatif berbasis kreativitas-inovasi anak bangsa yang mengusung lokalitas, (iii) meningkatkan penyerapan tenaga kerja kreatif Indonesia, (iv) meningkatkan jumlah perusahaan kreatif berdaya saing tinggi, (v) memanfaatkan sumber daya terbarukan dan berkelanjutan bagi bumi dan generasi akan datang, (vi) menciptakan nilai ekonomis kreativitas dan inovasi berlandaskan kearifan dan warisan budaya nusantara, (vii) menumbuhkembangkan kawasan-kawasan kreatif yang potensial di Indonesia, dan (viii) menguatkan citra kreatif pada produk-produk kreatif Indonesia sebagai national branding.
Untuk mencapai sasaran dan arah tersebut sangat diperlukan penguatan landasan dan pilar industri kreatif Indonesia. Dalam hubungan ini perlu penguatan kekondusifan, kememadaian, dan kelayakan modal insani atau modal kreatif Indonesia, struktur industri pendukung teknologi pendukung, sumber daya lestari sebagai bahan baku, kelembagaan pendukung, dan lembaga pembiayaan intermediasi, serta kolaborasi antar-aktor utama industri kreatif Indonesia. Dengan penguatan landasan dan pilar-pilar industri kreatif tersebut diharapkan pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif Indonesia bisa lebih cepat dan berarti bagi perekonomian nasional, pembangunan berkelanjutan, dan kebudayaan Indonesia yang demikian majemuk serta kondisi sosial Indonesia yang memadai untuk kehidupan bersama.
Keberadaan dan Peran Wirausahawan Kreatif dalam Industri Kreatif
Pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif Indonesia secara cepat dan berarti disangga dan didukung oleh keberadaan dan peran wirausahawan kreatif di samping tenaga kerja, pekerja-pekerja kreatif atau anggota kelas kreatif lain. Di sini tampak keberadaan dan peran kewirausahaan kreatif sangat penting bagi industri kreatif Indonesia. Kewirausahaan kreatif Indonesia beserta wirausahawan kreatif dan usaha-usaha kreatifnya sudah mulai tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kreatif dan industri kreatif Indonesia. Mereka adalah orang-orang muda yang telah memainkan peran luar biasa bagi industri kreatif Indonesia sehingga di antara mereka banyak yang bereputasi dan dihargai dunia internasional. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan dan peran mereka terbukti menjadi energi, bahkan motor perkembangan ekonomi kreatif dan industri kreatif Indonesia.
Walaupun demikian, secara keseluruhan jumlah wirausahawan kreatif Indonesia masih belum memadai, peran mereka belum optimal, dan kiprah mereka belum cemerlang untuk memenuhi volume, target, dan sasaran pengembangan industri kreatif Indonesia. Tampaknya, berkiprah di dunia kewirausahaan kreatif dan menjadi wirausahawan kreatif masih belum banyak dilirik oleh banyak orang muda Indonesia. Banyak orang muda ragu memasuki dunia kewirausahaan kreatif karena tidak memiliki (i) wawasan industri kreatif dan kewirausahaan kreatif, (ii) memahami bentuk dan jenis lapangan usaha kreatif, (iii) kurang memiliki jiwa, etos, dan budaya kewirausahaan kreatif yang mantap dan kuat, (iv) kurang mengetahui rantai-nilai industri kreatif yang berupa kreasi, produksi, distribusi, dan komersialisasi atau konsumsi produk-produk kreatif baik barang maupun jasa, dan (v) kurang menguasai manajemen usaha kreatif. Di samping itu, lemahnya kreativitas dan inovasi juga membuat banyak orang muda tidak terjun menjadi pekerja kreatif atau wirausahawan kreatif. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menanamkan berbagai hal tersebut kepada calon-calon wirausahawan kreatif, bahkan kepada mereka yang sudah terjun ke dunia kewirausahaan kreatif.
Kondisi Kewirausahaan Kreatif Berbasis Bahasa dan Seni
Sebagaimana kewirausahaan kreatif Indonesia pada umumnya, kewirausahaan kreatif beserta wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni juga sudah mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia mengingat industri kreatif pada dasarnya berbahan baku seni dan budaya atau menggunakan seni dan budaya sebagai sumber-dasar proses industri kreatif. Akan tetapi, pertumbuhan dan perkembangan kewirausahaan kreatif dan wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni belum menggembirakan dan belum sesuai dengan kebutuhan industri kreatif berbasis bahasa dan seni. Masih banyak penggelut bahasa dan seni terutama sarjana bidang bahasa dan seni atau sarjana pendidikan bahasa dan seni enggan menjadi wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni di samping enggan terjun ke dunia kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni. Sebagaimana kewirausahaan kreatif beserta wirausahawan kreatif pada umumnya, keengganan tersebut disulut oleh (i) kurangnya wawasan industri kreatif dan kewirausahaan kreatif, (ii) lemahnya pemahaman bentuk dan jenis lapangan usaha kreatif, (iii) kurangnya pemilikan jiwa, etos, dan budaya kewirausahaan kreatif yang mantap dan kuat, (iv) kurangnya pengetahuan rantai-nilai industri kreatif yang berupa kreasi, produksi, distribusi, dan komersialisasi atau konsumsi produk-produk kreatif baik barang maupun jasa, dan (v) kurangnya penguasaan manajemen usaha kreatif berbasis bahasa dan seni. Selain itu, lemahnya kreativitas dan inovasi juga membuat banyak penggelut bahasa dan seni tidak terjun menjadi pekerja kreatif atau wirausahawan kreatif.
PENUTUP
Berdasarkan temuan penelitian dikemukakan di atas, dalam penutup ini dikemukakan tiga rekomendasi untuk menjadi dasar pengembangan model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni sebagai wujud industri kreatif di Indonesia. Pertama, mengingat penting dan signifikannya peranan dan sumbangan industri kreatif Indonesia bagi perekonomian nasional, pembangunan berkelanjutan, penguatan solidaritas sosial, dan penghormatan terhadap keanekaragaman budaya Indonesia baik pada masa sekarang maupun pada masa depan, direkomendasikan agar industri kreatif dikembangkan secara teoretis dan implementatif. Secara teoretis perlu dikembangkan dan diperkokoh teori industri kreatif beserta segala unsur pembentuknya, antara lain sektor kreatif, kelas kreatif atau pelaku industri kreatif, produk kreatif baik barang maupun jasa, rantai-nilai industri kreatif, lapangan usaha kreatif, usaha (bisnis) kreatif dan perusahaan kreatif, dan kewirausahaan kreatif. Secara implementatif atau aplikatif perlu terus dikembangkan dan diterapkan industri kreatif sebagai salah satu (i) sokoguru perekonomian nasional dan (ii) strategi pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Dengan kata lain, industri kreatif masih harus diperkokoh konsep atau teori dan implementasinya di Indonesia. Untuk itu, pemerintah bersama-sama dengan cendekiawan dan dunia usaha perlu merumuskan dan menetapkan sasaran, arah, strategi pengembangan industri kreatif Indonesia yang jelas dan jitu.
Kedua, mengingat penting dan signifikannya keberadaan, peran, dan kiprah kewirausahaan kreatif Indonesia dalam pertumbuhan dan pengembangan ekonomi kreatif dan industri kreatif Indonesia, direkomendasikan agar dilakukan pengembangan kewirausahaan kreatif Indonesia secara teoretis dan implementatif. Secara teoretis “bangun teori” kewirausahaan kreatif – termasuk ke dalamnya sektor kreatif, peluang usaha kreatif, lapangan usaha kreatif, perusahaan kreatif, dan wirausahawan kreatif – masih perlu diperkokoh keilmiahanya. Adapun secara implementatif perlu terus dikembangkan dan diterapkan kewirausahaan kreatif Indonesia untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan industri kreatif Indoensia. Dalam hubungan ini perlu diciptakan dan diluaskan lapangan usaha kreatif, peluang usaha kreatif, usaha dan perusahaan kreatif, produk-produk kreatif baik barang maupun jasa kreatif, dan kelas kreatif termasuk ke dalamnya tenaga kerja kreatif, pekerja kreatif, dan wirausahawan kreatif. Dengan demikian, kejayaan dan kekuatan kewirausahaan kreatif dapat menopang industri kreatif Indonesia.
Ketiga, mengingat penting dan signifikannya keberadaan, kedudukan, peran, dan fungsi kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni dalam konteks industri kreatif dan kewirausahaan kreatif Indonesia, maka direkomendasikan agar diciptakan dan dikembangkan kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni khususnya dilahirkan calon-calon wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni di samping ditingkatkan kemampuan dan kinerja wirausahawan kreatif berbasis bahasa dan seni. Untuk itu, direkomendasikan agar dikembangkan satu model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni. Model kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni ini setidak-tidaknya mengandung komponen (i) wawasan industri kreatif dan kewirausahaan kreatif, (ii) bentuk dan jenis lapangan usaha kreatif, (iii) jiwa, etos, dan budaya kewirausahaan kreatif yang mantap dan kuat, (iv) rantai-nilai industri kreatif yang berupa kreasi, produksi, distribusi, dan komersialisasi atau konsumsi produk-produk kreatif baik barang maupun jasa, dan (v) manajemen usaha kreatif berbasis bahasa dan seni. Dengan demikian, siapapun yang terjun ke dunia kewirausahaan kreatif berbasis bahasa dan seni – khususnya anak-anak muda lulusan pendidikan bahasa dan seni – memiliki acuan dan panduan melangkah.
DAFTAR RUJUKAN
BOP (Burns Owen Patnership) dan the School of Performance and Cultural Industries, University of Leeds. 2004. Regional Mapping and Economic Impact Study of the Creative Industries. Leeds: South West/South West Regional Development Agency.
de Bruin, Anne. 2005. Multi-level Entrepreneurship in the Creative Industries. Dalam Majalah Entrepreneurship and Innovation, August 2005.
Carr, Julie. 2009. Creative Industries, Creative Workers and The Creative Economy: A Review of Selected Recent Literature. Edinburgh: Scottish Government Social Research.
Chengyu, Xiong. 2008. The Current Trend of Chinese Cultural Industry: Introduction and Thinking. Dalam Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries (Hlm. 216—231). Sao Paulo: Itau Cultural.
Cotis, Jean-Philippe. 2007. Entrepreneurship as an Engine for Growth: Evidence and Policy Chalangges. Makalah disajikan dalam GEM Forum di London, 10—11 Januari 2007.
Davis, Andrea M. 2008. Creative Economy as a Strategy for Jamaica and the Caribbean Growth and Wealth Generation. Dalam Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries (Hlm. 174—191). Sao Paulo: Itau Cultural.
Departemen Perdagangan RI. 2007. Studi Industri Kreatif Indonesia 2007. Jakarta: Departemen Perdagangan RI.
DCMS [Department of Culture, Media, and Sport] UK. 2001. Creative Industries Mapping Document. London: Department of Culture, Media and Sport.
DCMS UK. 2008. Staying Ahead: The Economic Performance of the UK’s Creative Industries. London: Department of Culture, Media and Sport.
European Commision. 2006. The Economy of Culture in Europe. Muchen: European Affairs.
Fesel, Bernd dan Michael Sondermann. 2007. Culture and Creative Industries in Germany. Bonn: German Commision fo UNESCO.
Florida, Richard. 2003. The Rise of the Creative Class. North Melbourne: Pluto.
Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries. Sao Paulo: Itau Cultural.
Fonseca-Reis. 2008a. Transforming Brazilian Creativity into Economic Resource. Dalam Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries (Hlm. 124—141). Sao Paulo: Itau Cultural.
Howkins, John. 2001. The Creative Economy, How People Make Money from Ideas. New York: Penguin Books.
Kompas. 2008. Menanti Tuntasnya Perlindungan HKI. Dalam Kompas, 24 Desember 2008, hlm. 40.
Kompas. 2008a. Jalan Panjang Pengembangan Industri Kreatif. Dalam Kompas, 24 Desember 2008, hlm. 40.
Kompas. 2008b. Tahun Indonesia Kreatif 2009: Krisis Jadi Peluang bagi Ekonomi Kreatif. Dalam Kompas, 31 Desember 2008, hlm. 21.
Kovacs, Mate. 2008. Creative Economy and Proverty Eradication in Africa: Principles and Realities. Dalam Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries (Hlm. 94—121). Sao Paulo: Itau Cultural.
Liang, Tan Wee (Editor). 2005. Creative Entrepreneurship in Asia. Hirakawacho, Chiyoda-ku: Asian Productivity Organization.
Liang, Tan Wee. 2005a. Implementing Creative Entrepreneurship in Corporations. Dalam Liang, Tan Wee. 2005. Creative Entrepreneurship in Asia. Hirakawacho, Chiyoda-ku: Asian Productivity Organization.
Mercer, Colin. Convergence, Creative Industries and Civil Society: Toward a New Agenda for Cultural Policy and Cultural Studies. Dalam Culture Unbound, Volume 1, 2009, hlm. 179-204.
Miles, Mathew B dan A. Michael Hubermen. 1994. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Penerbit UI.
Ramanathan, Sharada. 2008. Creative Economy as a Development Strategy: The Indian Perspective. Dalam Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries (Hlm. 194—215). Sao Paulo: Itau Cultural.
Santagata, Walter. 2009. White Paper on Creativity: Toward an Italian Model of Development. Milano: Universita Bocconi Editore.
Santos-Duisenberg, Edna dos. 2008. Creative Economy: Is It a Feasible Development Option? Dalam Fonseca-Reis (Editor). 2008. Creative Economy as a Development Strategy: A View of Developing Countries (Hlm. 54—74). Sao Paulo: Itau Cultural.
Throsby, David. 2008. Creative Australia: The Arts and Culture in Australian Work and Leisure. Canberra: The Academy of the Social Sciences in Australia.
Tim Wartawan Kompas. 2003. Seri Kekayaan Tersembunyi (Buku 12): Sukses Mengeksplorasi Seni. Jakarta: Kompas.
UNCTAD dan UNDP. 2009. Creative Economy Report 2008: The Chalenge of Assessing the Creative Economy. Geneva: UNCTAD.
UNESCO. 2005. International Flows of Selected Cultural Goods and Services, 1994-2003: Defining and capturing the flows of global cultural trade. Montreal: UNESCO Institute for Statistics.
UNESCO, UNDP, UNIDO, dan WIPO. 2007. Statistics on Cultural Industries: Framework for the Elaboration of National Data Capacity Building Project. Bangkok: UNESCO Asia and Pasific Regional Bureau for Education.
Wiesand, Andreas. 2005. The “Creative Sectors” – An Engine for Diversity, Growth and Jobs in Europe. Berlin: European Cultural Foundation.
Willis, Jerry. 1995. A Recursive, Reflective Design and Development Model. Dalam Educational Technology, 35 (5-23).