Balai Bahasa Jawa Timur tidak pernah absen berikan pernghargaan sastra setiap tahunnya. Upaya itu sudah diterapkan, sejak tahun 2009 lalu. Rabu kemarin (27/10), merupakan penghargaan sastra ke-8 untuk mengapresiasi setiap denyut sastra di Jawa Timur. Tahun ini format penghargaan sastra menerapkan model terbaru dengan enam kategori; komunitas sastra, sastrawan berdedikasi, karya sastra Indonesia terbaik, karya sastra daerah terbaik, guru bahasa Indonesia berdedikasi dan guru bahasa daerah berdedikasi. Bagaimanakah kita melihat tumbuh kembang sastra di Jawa Timur dari penghargaan sastra?
Karya sastra sebagai sebuah produk tidak akan bisa berdiri sendiri. Karya sastra pasti akan berjalin kelindan dengan pandangan dunia (worldview) sastrawan, penerbit dan media massa sebagai media sastra, komunitas dan sanggar sebagai tempat berproses dan aktualisasi diri atau bahkan guru-guru bahasa sebagai media penyalur dan pemerhati sastra. Penghargaan sastra juga diperlukan untuk mengapresiasi, memberikan reward, menumbuhkan semangat, dan menjaga kontinuitas dalam gerakan sastra, mulai dari geliat komunitas hingga kualitas dan kuantitas berkarya sastra.
Balai Bahasa Jatim mencatat, dalam rentang waktu antara awal 2015 sampai Agustus 2016 telah terbit sebanyak 45 buah karya sastra dengan 32 karya sastra Indonesia, 12 karya sastra daerah dan satu karya campuran (Indonesia-daerah). Kumpulan puisi “Langit Suasa Langit Pujangga” karya Syaf Anton Wr. terpilih sebagai karya sastra Indonesia terbaik dan novel “Srengenge Tengange” sebagai karya bahasa daerah terbaik.
Menilik fakta tersebut kita akan dihadapkan dua hal; pesimis dan optimis. Jawa Timur dengan 38 juta penduduk dari 29 kabupaten dan 9 kota (Badan Pusat Statistik 2015) ‘hanya’ menghasilkan 45 karya sastra dalam dua tahun. Dihadapkan dengan fakta tersebut kita bisa menjadi pesimis. Animo masyarakat terhadap sastra belum terlalu bagus. Di sisi lain, kita juga harus optimis. Angka-angka tersebut belum tentu mewakili kehidupan sastra di Jatim. Kemungkinan Balai Bahasa belum mendata secara keseluruhan karya-karya sastra yang terbit karena keterbatasan waktu. Bisa jadi novel, kumpulan puisi, kumpulan cerpen, naskah drama yang telah terbit di Jawa Timur melebihi angka-angka tersebut.
Komunitas Sastra
Komunitas Pelangi Sastra Malang yang mendapatkan penghargaan sastra untuk komunitas yang diberikan oleh Balai Bahasa Jawa Timur. Komunitas yang berbasis di Kota Malang ini terus bergerak dalam memasyarakatkan sastra dan literasi, khususnya di Malang Raya. Komunitas yang dimotori oleh Denny Mizhar ini sering menyelenggarakan program berupa dokumentasi sastra dan pemikiran, distribusi wacana dan ritme dinamika gerakan sastra di Malang Raya, fasilitasi peluncuran buku, panggung seni dan sastra hingga fasilitasi pertemuan penulis pemula dan professional. Sastrawan-sastrwan seperti Eka Kurniawan, Okky Maddasari, Raudal Tanjung Banua, Agus Noor, Putu Fajar Arcana, Mahwi Air Tawar dan Tia Setiadi, tercatat pernah berkunjung dan bertemu publik sastra Malang. Bukan hanya itu, komunitas ini juga menyelenggarakan penerbitan yang memberi ruang bagi para penulis dan sastrawan muda di wilayah Malang. Penulis-penulis muda seperti Royyan Julian, Dwi Ratih Ramadhani dan Felix K. Nesi pernah berproses dan bergumul dengan aktivitas-aktivitas di komunitas ini.
Dalam sejarah sastra di Jawa Timur bahwa komunitas sangatlah memegang peranan penting dalam tumbuh kembang sastra. Yuliatin Sungkowati (2010) mengemukakan, kemunculan komunitas sastra di Jawa Timur dibagi dalam empat kategori. Pertama, komunitas yang lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni pusat. Kedua, komunitas yang dibentuk sebagai pernyataan ekspresi dan eksistensi diri. Ketiga, sebagai wadah kreativitas, komunikasi, dan pelatihan. Keempat, kehadiran komunitas sebagai gerakan literasi. Pelangi Sastra Malang mencakup keempat kategori tersebut untuk terus membumikan sastra dan literasi di bumi Jawa Timur.
Sayangnya, Balai Bahasa tidak merilis, mendata dan mengumumkan komunitas dan sanggar sastra di Jawa Timur yang masih hidup saat ini. Jika Komunitas Sastra Indonesia (KSI) mencatat bahwa terdapat 33 komunitas dan sanggar sastra di Jawa Timur pada tahun 1998, tentu jumlah tersebut bisa semakin bertambah atau berkurang. Seiring berjalannya waktu, nama-nama komunitas baru terus bermunculan dengan aneka ragam kegiatannya. Taman-taman baca terus berdiri di daerah-daerah untuk menyebarkan budaya literasi. Adapula komunitas yang mulai meredup bahkan sudah tak berkegiatan lagi. Penelitian dan penulisan tentang bergeliatnya komunitas literasi dengan segala dinamika, keunggulan dan permasalahannya pasti akan menjadi sebuah rujukan penting untuk terus memajukan jagad literasi dan sastra di Jawa Timur.
Sosok Inspiratif
Berkecimpung dalam sastra bukanlah hal yang mudah di tengah iklim kesenian dan kebudayaan yang tidak mendapatkan perhatian pemerintah. Publik sastra Jawa Timur patut bersyukur memiliki tiga sosok yang terus mendedikasikan hidupnya dalam dunia sastra dan literasi. Mereka adalah J.F.X Hoery yang mendapatkan penghargaan sastrawan berdedikasi, Akhmad Iwan Susilo sebagai guru bahasa Indonesia berdedikasi dan Davit Harijono sebagai guru bahasa daerah berdedikasi. Peran dan kontribusi mereka dalam memasyarakatkan sastra patut diapresiasi dalam perjuangan berkesenian.
Nama J.F.X Hoery tidaklah asing di dunia sastra Jawa. Orang yang sangat produktif menghasilkan karya dengan 100 cerita cekak dan 389 geguritan. Salah satu buku kumpulan geguritan yang berjudul Pagelaran memenangi hadiah sastra Rancage, penghargaan paling bergengsi untuk sastra daerah. Ia juga menginisiasi lahirnya komunitas Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) dan kegiatan rutin Purnama Sastra Bojonegoro di setiap malam bulan purnama. Menilik dedikasi, kontribusi dan perjuangannya dalam dunia sastra patutlah ia menerima penghargaan ini.
Sosok guru bahasa seperti A. Iwan Kapit dan Davit Harijono seperti oase yang terus mengalirkan semangat literasi. Iwan bukan hanya seorang guru di MTs Miftahul Huda Kayenkidul Kediri, tapi ia juga mendirikan sebuah taman baca yang dapat meningkatkan literasi masyarakat. Di luar aktivitasnya sebagai seorang guru, ia juga menjadi koordinator Festival Gunung Kelud yang baru saja berakhir untuk mengangkat sejarah dan kearifan lokal di Kediri. Begitu pula Davit, ia aktif menulis geguritan di majalah Jayabaya dan Panjebar Semangat. Ia menjadi ketua Paguyuban Karawitan “Widya Laras” yang mendokumentasikan macapat Malangan dan lantunan kidungan dalam bentuk VCD sebagai media pembelajaran budaya lokal. Tak pelak, Iwan diganjar sebagai guru bahasa Indonesia berdedikasi dan Davit sebagai guru bahasa daerah berdedikasi. Kedua guru muda ini menjadi prototype bahwa masih banyak sosok inspiratif yang terus memperjuangkan sastra dan literasi.
Penghargaan yang digawangi Balai Bahasa Jatim ini menunjukkan bahwa dunia sastra Jatim terus bergeliat dan menyala. Semangat untuk bergelut dengan sastra dan literasi terus digelorakan. Karya-karya baru terus bermunculan, sosok-sosok pejuang sastra giat mengabdi, serta komunitas dan sanggar sastra aktif berkegiatan. Jawa Timur mempunyai masa depan sastra yang cerah jika kontinuitas ini terus dijaga dan disemai. Semoga.
Pernah dimuat di Radar Mojokerto, 13 November 2016