Sastra Untuk Kemanusiaan


Revitalisasi Musik Keroncong sebagai Identitas Nasional Generasi Muda Milenial Indonesia

Ilustrasi: Edi Wahyono

 

Keroncong merupakan salah satu musik nontradisional asli Indonesia di samping dandgut dan campursari. Kemunculan musik keroncong jauh mendahului kedua aliran musik yang disebutkan terakhir. Campursari muncul di era 50 an. campursari diperkenalkan pertama kali oleh para seniman RRI Semarang yang dipelopori oleh R.M Samsi yang tergabung dalam kelompok Campursari RRI Semarang pada tahun 1953-an (Wiyoso, 2007). Sedangkan dangdut di awal era 70-an. Keroncong muncul dan populer jauh sebelum era kemerdekaan negara Indonesia.

Walaupun keroncong menjadi saudara tua dari dua aliran musik dangdut dan campursari, nasib keroncong tidak seberuntung dangdut dan campursari. Musik dangdut dengan perkembangannya yang pesat, dari musik rakyat „kelas bawah‟, kini menjelma jadi musik yang diterima semua kalangan, baik menengah ke bawah sampai menengah ke atas, desa maupun kota. Frederick (dalam Muttaqin, 2006) mengatakan bahwa istilah dangdut muncul pertama kali sekitar tahun 1972 – 1973, yang merupakan pembentukan kata yang menirukan bunyi gendang yang “dang”dan “dut” , dengan suatu ungkapan dan perasaan yang menghina dari lapisan masyarakat atas. Selanjutnya Luaylik & Kusyairi (2012) dalam perkembangannya, ternyata musik dangdut mampu masuk ke dalam ruang dengar kalangan Menengah ke Atas lewat beragam kesempatan. Panggung-panggung dangdut sering menghiasi acara-acara besar baik partai politik ataupun pernikahan. Di radia dan televisi sering diputar lagu-lagu dangdut. Bahkan di beberapa televisi swasta, acara audisi dangdut menjadi acara utama yang tayang di wakut prime time. Penulis lagu-lagu dangdutpun sangat produktif memproduksi lagu-lagu dangdut baru yang seringkali menarik perhatian publik, menjadi top hits dan viral. Banyak anak muda yang tidak malu mengakui kalau mereka menggemari lagu-lagu dangdut. Artis-artis muda dangdutpun terus bermunculan.

Hal serupa juga terjadi pada aliran musik campursari. Jika beberapa tahun yang lalu musik campursari sering diidentikkan dengan musiknya orag tua, kini paradigma itu menjadi bergeser. Kemunculan komunitas “Sobat Ambyar” menandai kebangkitan aliran musik campursari di blantika musik tanah air. Sosok penyanyi flamboyan Didi Kempot adalah sesuatu yang secara signifikan mengangkat pamor musik campursari dan akhirnya mendapatkan sambutan hangat dari kawula muda sebagai konsumen musik paling aktif. Didi Kempot adalah seorang musisi campursari yang cukup berpengaruh di industri musik Indonesia (Rahmawati, 2017). Kemunculan Didi Kempot kembali membangkitkan musik campursari yang sempat lama vakum dan kembali diterima oleh masyarakat dari semua kalangan (Achsani, 2019). Lagu-lagu yang ditulis dan dinyanyikan Didi Kempot tentang kisah dinamika percintaan sering menjadi lagu hits dan memorable. Lirik lagunya yang dekat dengan realita menjadikannya sangat menyentuh dan tak jarang membuat pendengarnya menyanyikan lagunya dengan menangis sembari berjoget dan terus bernyanyi. Jumlah penggemar Didi Kempot yang biasa disebut Sobat Ambyar ini terus bertambah. Mereka datang dari golongan masyarakat yang beragam. Didi Kempot bisa dibilang sangat sukses melambungkan lagi musik campursari di era milenial ini.

Sementara musik dangdut dan campursari mendapatkan momentum kebangkitannya di era milenial, tidak begitu halnya dengan musi keroncong. Musik ini bisa dibilang jalan di tempat. Tak banyak anak muda yang mengenal, mendengarkan, apalagi memainkan musik keroncong. Tak banyak anak muda yang banyak mengetahui siapa saja musisi keroncong baik yang sudah eksis ataupun yang sudah tidak eksis lagi. Mungkin yang umum dikenal adalah Almarhum Gesang dan Waljinah. Selain itu tidak banyak yang dikenal. Judul-judul lagu keroncongpun juga tak banyak yang diketahui anak muda selain Bengawan Solo. Di radio dan televisipun sangat jarang musik keroncong muncul atau diputar. Hanya ada beberapa radio tradisi dan televisi nasional yang setia memberi porsi khusus memutar musik keroncong dan itupun bisa dipastikan tidak banyak anak muda yang menonton ataupun mendengarnya. Di sisi lain tak banyak juga lagu-lagu keroncong baru yang muncul. Kalaupun ada sangat jarang yang bisa menjadi hits atau dalam bahasa milenial menjadi viral. Musik keroncong seolah jalan di tempat dengan mengulang-ulang lagu lamanya yang dulu pernah populer. Walaupun bermunculan grup keroncong baru tapi tak ada yang menjadi populer. Eksistensi mereka sangat terbatas dan tidak semua lapisan masyarakat menerimanya. Keroncong seolah menjadi musik komunitas yang kesannya hanya orang-orang tertentu saja yang menyukainya. Generasi muda yang menyukai dan menekuni musi keroncong terbilang sangat langka.

Realita seperti itu tentunya bukan hal yang membanggakan bagi musik keroncong. Musik keroncong seperti tenggelam di blantika musik nasional era sekarang. Keroncong seperti tidak berdaya menghadapi modernitas dan perubahan-perubahan yang menyertainya. Keroncong tidak mampu bersaing dengan aliran dan genre musik baru yang terus bermunculan seiring berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Keroncong bukan lagi menjadi pilihan yang menarik bagi kalangan generasi muda untuk dapat masuk ke dalam playlist musiknya sehari-hari.

Jika dirunut ke belakang, keroncong sangat sarat dengan unsur kesejarahan. Sebagian besar musik perjuangan pada awalnya adalah musik keroncong. Hali itu dikarenakan salah satu penulis lagu di era perjuangan, yaitu Ismail Marzuki adalah seorang musisi keroncong. Ismail Marzuki banyak menulis lirik lagu yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan di sekitar tahun 1945. Selama perang kemerdekaan (1945-1950), kehadiran musik keroncong tidak hanya untuk hiburan tetapi juga digunakan untuk mendorong patriot nasional untuk melawan penjajah (Alfian, 2013). Bisa dibilang keroncong adalah artefak non benda yang banyak menyimpan cerita kesejarahan baik yang terkandung dalam lagu keroncong ataupun lagu-lagu keroncong itu sendiri. Jika suatu saat musik keroncong tidak lagi eksis maka akan sangat banyak ingatan sejarah yang terhapus begitu saja.

Musik keroncong sebagai musik modern pertama yang muncul di Indonesia juga menjadikan musik ini sebagai salah satu representasi identitas bangsa Indonesia. Walaupun menggunakan alat-alat musik dari luar negeri dan notasi (solmisasi) modern, tetapi warna musik keroncong sangat kuat dipengaruhi oleh lagu-lagu tradisional dari berbagai suku di Indonesia. Hal itu menggambarkan betapa kuat cerminan karakter jiwa nasional dalam musik keroncong.

Dengan realita seperti itu kita menjadi bertanya-tanya apa yang menyebabkan musik keroncong dari yang awalnya sangat berpengaruh di negeri ini menjadi begitu terabaikan di era sekarang? Mengapa musik keroncong tak mampu bersaing dengan musik-musik baru sementara musik dangdut dan campursari bisa? Adakah tempat bagi keroncong untuk kembali menjadi musik yang digemari semua lapisan masyarakat di hari depan?

 

Sejarah Awal Kelahiran Keroncong

Sebelum menjawabnya lebih jauh maka alangkah baiknya kita menelusuri asal muasal lahirnya musik keroncong sampai perkembangannya di era kini. Penulis di sini akan banyak menggunakan istilah-istilah musik yang mungkin kurang familier bagi pembaca, tapi sebisa mungkin akan penulis jelaskan sehingga tidak menimbulkan kebingungan.

Jika dirunut sampai ke belakang, sejarah kemunculan musik keroncong bisa dibilang cukup panjang. Embrio musik keroncong bermula ketika masa pendudukan Portugis di Nusantara pada akhir abad ke 16. Darini (2012) menerangkan bahwa jenis musik keroncong diperkenalkan oleh bangsa Portugis sebagai sarana hiburan bagi para budak Portugis yang berasal dari Afrika Utara dan India. Para budak berkesempatan memainkan alat musik berkolaborasi bersama tuannya, memainkan sejenis musik kerakyatan Portugis yang disebut Fado.

Fado sendiri adalah musik hibridasi kultural, campuran antara budaya Afrika dan Portgis. Alfian (2013) menjelaskan bahwa Fado dibawa oleh para budak kulit hitam dari Cape Verde di Afrika Barat ke Portugis pada abad ke-15 dan berkembang menjadi lagu urban dan dimainkan untuk mengiringi tarian Portugis. Tarian ini dipengaruhi oleh budaya Islam, dari Moor dari Afrika Utara, yang masuk dan berkembang dalam bahasa Portugis dari tanggal abad 7 hingga abad ke-12, dan itu disebut Moresco. Darini (2012) menerangkan bahwa Ganap (dalam Alvian, 2013) menerangkan bahwa Tari Moresco yang dibawa oleh para budak Moor menjadi hiburan para elit di istana-istana di Portugis. Musik yang mengiringi tari ini adalah Lagu Moresco.

Selanjutnya pengaruh musik Fado tidak hanya terbatas pada orang Portugis dan budak dari Afrika saja . Darini (2012) menyatakan bahwa demikian pula para budak yang berasal dari Ambon berkesempatan memainkan instrumen musik dengan mengadopsi gaya Fado. Dari sinilah awal persentuhan budaya Portugis dengan budaya Nusantara yang menjadi cikal bakal musik keroncong.

Kekalahan Portugis dalam peperangan membuat mereka harus meninggalkan Nusantara dan digantikan oleh kedatangan Belanda. Namun sebagian orang Portugis yang tertangkap tetap di Nusantara. Nopianti, Riawanti dan Rajab (2019) menerangkan bahwa orang-orang Portugis yang ditaklukkan Belanda di Malaka kemudian dibawa ke Batavia untuk dijadikan tawanan perang. Mereka inilah yang di kemudian hari menjadi nenek moyang Orang Tugu saat ini.

Di kampung Tugu penduduknya tidak homogen tapi terdiri dari beberapa kelompok yang beragam. Darini (2012) menerangkan bahwa sejak pertengahan abad ke-17, di kampung tersebut terdapat sekelompok masyarakat yang mempunyai hubungan erat dengan Portugis yang disebut dengan Black Potuguese. Alfian (dalam Darini, 2012) menerangkan bahwa

Black Portuguese ini sebenarnya adalah orang-orang yang berdarah Goa, Bengali, atau Coromandel yang dibaptis Katolik oleh tuan atau majikan mereka, orang Portugis. Setelah dibaptis mereka mendapat nama Portugis. Pendapat lain menyatakan bahwa Black Portuguese ini adalah orang-orang bangsa Moor yang menguasai Semenanjung Luso-Iberi (sekarang Portugal-Spanyol) pada abad ke-7 hingga abad ke-15. Ketika persekutuan raja-raja Katolik (Los Reyes Catolik) merebut kembali wilayah itu sekitar tahun 1492, beberapa di antara bangsa Moor yang beragama Islam bersedia dibaptis menjadi Katolik dan kemudian mendapat nama Portugis. Meskipun sudah menjadi Katolik, mereka masih mendapat perlakuan  diskriminasi   sehingga   akhirnya  keluar   dari  Portugis   dan Spanyol dengan cara bekerja dan ikut pada kapal-kapal dagang Portugis dan bekerja sebagai budak. Sekitar abad ke-17 mereka sampai di Batavia dan kemudian diberi tempat di Kampung Tugu.

Selanjutnya Haezer (2017) menerangkan bahwa keturunan tentara Portugis kemudian membentuk perkumpulan Portugis di sana, dan menyanyikan lagu-lagu Portugis seperti Morescodan Cafrinho, diringi waditra gitar kecil Portugis yang mereka buat. Lagu ini bertemakan tentang kesedihan yang mereka alami, dan sering dinyanyikan karena memang sesuai dengan kenyataan yang sedang dialami. Ganap (2006) menjelaskan bahwa melalui komunitas itu musik Portugis menyebar ke Batavia, dan melahirkan apa yang dinamakan sebagai genre Krontjong Toegoe, yang menjadi cikal bakal musik keroncong Indonesia.

 

Membumikan Alat Musik Keroncong

Seluruh alat musik keroncong bisa dikatakan sebagai alat musik modern. Alat-alat musik yang digunakan berasal dari luar negeri yang menggunakan penalaan solmisasi modern. Alat-alat musik itu bersifat diatonis yaitu mempunyai tujuh nada dasar dan lima nada kres pada tiap oktafnya. Namun walaupun begitu ada beberapa perbedaan yang dibuat oleh masyarakat pribumi sehingga alat musik itu tidak lagi sama dengan bentuk aslinya. Cara memainkannyapun juga berbeda.

Formasi alat musik keroncong berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal itu dipengaruhi oleh para pemainnya yang berasal dari berbagai latar belakang kebangsaan yang berbeda dan daerah di mana musik keroncongitu dikembangkan. Mitargo (2017) menjelaskan bahwa Dahulu pertama kali alat-alat musik dipakai orang-orang Portugis mempergunakan 1 ukulele, 1 mandolin, 3 gitar, 1 biola dan masing-masing 1 alat perkusi trianggle dan tamborine. Saat ini musik keroncong terdiri dari tujuh macam alat musik yaitu, flute, biola, gitar, ukulele, banyo (cak), cello dan bass. Namun seiring jalannya waktu berangsur-angsur formasi itu berubah. Formasi alat musik keroncong yang umum di era sekarang terdiri dari tujuh buah alat musik yaitu gitar cak, gitar cuk, cello, bass, flute, biola, dan gitar.

Satu alat musik yang selalu ada pada setiap grup keroncong adalah cuk. Cuk merupakan bentuk adaptasi dari ukulele. Jika ukulele mempunyai empat senar, cuk hanya mempunyai tiga senar dengan senar terkecil dipindah ke urutan paling atas. Bunyinya saat dimainkan yang khas yaitu “crung… crung…crung…” adalah awal dari sebutan musik keroncong. Hal ini sesuai dengan pendapat Harmunah (dalam Mintargo, 2017) yang menerangka bahwa asal mula kata keroncong diterjemahkan dari bunyi alat musik semacam gitar kecil dari Polynesia (ukulele) menurut para peneliti itulah paling tepat.

Ada perbedaan cara memainkan alat musik cuk di setiap daerah. Jika pada Keroncong Tugu dan beberapa keroncong Jakarta cara memainkannya sering digenjreng atau dikemprung (tiga senarnya dimainkan secara bersamaan dalam satu akord), maka hal itu jarag dilakukan pada keroncong di daerah lain seperti contohnya di Solo dan Jogjakarta. Sebagai “pengganti” alat musik kenong, alat musik cuk dimainkan dengan cara dipetik secara timpalan.

Selanjutnya alat musik yang lazim dipakai dalam orkes keroncong adalah alat musik cak. Cak adalah alat musik yang ukurannya mirip dengan ukulele atau dalam keroncong diadaptasi sebagai cuk. Ukuran antara cak dan cuk hampir sama. Yang membedakan dari mereka adalah senar yang dipakai. Jika cuk menggunakan senar nilon, maka cak menggunakan senar logam. Jumlah senar yang dipakai sebenarnya sama yaitu tiga. Namun pada senar atas pada cuk jumlah senarnya dobel dan posisinya hampir  berdempetan. Sehingga jika ditotal jumlah senarnya ada empat. Penalaan nadanyapun berbeda. Jika cuk setelan nadanya sama dengan gitar standar dan piano, alat musik cak distel 5 nada lebih rendah dari alat musik lainnya. Cak merupakan adaptasi dari alat musik banjo. Alat musik khas Amerika Serikat ini biasanya lazim dipakai dalam musik-musik country. Akan tetapi bangsa Indonesia mengadaptasinya dan dimainkan layaknya memainkan siter, alat musik petik yang ada dalam perangkat gamelan karawitan.

Alat musik selanjutnya adalah cello. Bentuk dan ukuran alat musik cello pada keroncong sama dengan cello pada orkestra-orkestra barat. Namun ada perbedaan yang mendasar dalam memainkannya. Jika cello pada orkestra barat lazimnya adalah alat musik gesek, oleh orang Indonesia cello dimainkan dengan cara dipetik dan dipukul, sehingga alat musik cello yang awalnya melodis itu mempunyai efek perkusi yang notabene alat musik ritmis. Pergeseran cara memainkan ini memang disengaja untuk memasukkan unsur etnik gendang (kendhang) pada alunan keroncong. Untuk mendapatkan efek bunyi gendang yang mendekati aslinya, senar cello yang digunakanpun diganti dari yang awalnya senar logam menjadi senar nilon. Jumlahnyapun dikurangi dari empat ke tiga. Dengan cara ini penggunaan alat musik cello dalam orkes keroncong menjadi lebih dinamis.

Selanjutnya alat musik yang dipakai adalah bass. Alat musik bass pada orkes keroncong seperti pada alat musik bass pada musik jazz umumnya yaitu sebuah kontra bass yang dimainkan dengan cara dipetik. Namun yang membedakan dari permainan bass pada umumnya adalah bass pada keroncong tidak dimainkan secara rapat dan terlalu sering. Hal ini disinyalir karena penggunaan bass pada orkes keroncong diadaptasi sebagai layaknya alat musik gong. Dimainka sebagai penegas di bagian-bagian akhir baris notasi lagu.

Alat musik selanjutnya yang dipakai adalah flute. Flute merupakan satu-satunya alat musik tiup yang dipakai dalam musik keroncong. Cara memainkannya sama seperti lazimnya flute pada orkestra barat. Hanya saja karena flute adalah alat musik diatonis maka bisa juga menjangkau tangga nada etnik yang sering menggunakan tangga nada pentatonis yaitu lima nada dalam satu oktaf. Contohnya di Jawa lazim menggunakan dua jenis nadadiatonis yaitu pelog dan slendro.

Alat musik selanjutnya adalah biola. Bentuk biola sama dengan biola pada orkestra pada umumnya. Karakter biola keroncong adalah dengan nada yang mengayun dan mendayu- dayu. Satu ciri khas yang muncul dalam orkes keroncong adalah melodi pendek di awal lagu yang biasa disebut dengan prospel. Kata prospel merupakan adaptasi dari bahasa Belanda voorspel . Fikri & Mistortoify (2017) dengan lebih lengkap menjelaskan bahwa kata vorspiel berasal dari bahasa German yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda (Dutch) berarti voorspel, dan jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (English) yang berarti prelude, overture, prolog; maka voorspel, vorspiel, prelude, preludium dan overture dapat diartikan sebagai musik pembuka sebelum memasuki lagu pokok mengacu pada definisi musik Barat. Selain biola, prospel juga bisa dilakukan dengan flute dan gitar.

Alat musik terakhir yang digunakan dalam suatu orkes keroncong adalah gitar. Gitar yang digunakan dalam orkes keroncong adalah gitar dengan senar logam. Permainan gitar pada musik keroncong juga tergolong unik. Mintargo (2017) menerangkan bahwa Instrumen gitar memainkan nada-nada arpeggio. Permainan nada-nada gitar dikenal istilah banyu mili peranan instrumen ini selalu berbunyi mulai dari awal hingga akhir, diselingi juga oleh nada- nada melodi baik sebagai instrumen pengiring (compagnement) maupun bagian pembukaan lagu (introduksi).

 

Perkembangan Musik Keroncong di Era Belanda

Dari Kampung Tugu blue print awal musik keroncong terus menyebar ke seluruh nusantara dan terus berakulturasi dengan musik-musik tradisi setempat. Ada penambahan dan pengurangan alat musik yang disesuaikan dengan selera pada masing-masing daerah sehingga susunan alat musik keroncong, beserta cara memainkannya pula tidak sama dengan keroncong yang ada di Kampung Tugu.

Kedatangan penjajah Belanda juga sangat berpengaruh pada perkembangan dan persebaran musik keroncong pada periode berikutnya. Brata (dalam Fikri & Mistortoify, 2017) menerangkan bahwa komunitas Krontjong Toegoe yang telah dikenal sejak abad kedelapanbelas melalui penampilan mereka dalam berbagai acara seperti; pasar malam, festival kesenian rakyat, barak militer atau berkeliling dari kampung ke kampung telah lama diimitasi bahkan diambil alih oleh kelompok masyarakat lainnya di kota Batavia. Salah satu kelompok yang berhasil tampil adalah dari komunitas Indo-Belanda dari kampung Kemayoran yang kemudian dikenal sebagai komunitas Krontjong Kemayoran. Alfian (2013) menyatakan bahwa beberapa grup musik keroncong lahir di kemayoran antara lain Orkes keroncong, Fadjar, Sinar Betawi, Sedjatera, dan Titian Tjinta.

Kedatangan orang-orang Gujarat juga mempengaruhi bentuk dan perkembangan musik keroncong. Pada era itu banyak muncul grup teater atau tonil. Beberapa grup yang mementaskan cerita-cerita dari Turki disebut Stamboel. Sumardjo (pada Destiana 2012) menjelaskan bahwa Perkataan “stamboel” berasal dari “Istamboel” ibukota negara Turki. Grup stamboel menggunakan iringan musik dari keroncong. Musik keroncong yang disesuaikan dengan cerita dalam stamboel ini membentuk suatu konsep musik baru dalam ranak keroncong yaitu keroncong stamboel. Hal ini sesuai dengan pendapat Destiana (2012) yang menyatakan bahwa Dengan masuknya komedi stambul atau tonil dari Turki seperti Dardanela, melahirkan bentuk komposisi baru yang disebut Stambul. Struktur permainan musik stambul agak berbeda dengan format keroncong yang umum pada waktu itu. Hal ini semakin mengembangkan wahana ragam musik keroncong. Widjajadi (dalam Darini, 2012) menerangkan bahwa stambul merupakan kreasi August Mahieu, peranakan Indo-Eropa di Surabaya yang menggunakan keroncong sebagai musik latar untuk permainan stambul. Pemain stambul berasal dari Sumatera, Jawa, dan Malaka yang kemudian memasukkan lagu- lagu daerahnya dan menjadi keroncong campuran Dengan berpindah-pindahnya pementasan stamboel ke beberapa kota di Jawa membuat musik keroncong juga ikut tersebar.

Pada era tahun 1920an bisa dibilang masa berkembang pesatnya musik keroncong. Darini (2012) menjelaskan bahwa Pada tahun 1920-an banyak lahir kelompok keroncong di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogjakarta, dan Solo. Sebagian pemainnya masih terdiri dari orang-orang Belanda.

Karena keroncong sering diundang ke rumah-rumah orang Belanda dan beberapa pemainnya ada orang Belanda juga, keroncong di era itu sangat sering dikonotasikan sebagai budaya barat. Darini (2012) menyatakan bahwa hal itu semakin diperkuat dengan kenyataan perilaku pelaku dan penikmat keroncong yang cenderung eksklusif. Kebiasaan bernyanyi sambil minum-minuman keras, dansa-dansi, pesta-pesta dengan meniru budaya barat.

Sementara itu di kampung-kampung pemain keroncong juga sering bermain musik sampai larut malam. Bahkan seringkali mereka harus sampai dibubarkan oleh aparat keamanan karena dilaporkan tetangga-tetangga yang merasa terganggu. Pada masa itulah muncul julukan buaya keroncong. Matanasi (2016) menyatakan bahwa buaya di dunia keroncong adalah untuk mereka yang suaranya menawan menyanyikan lagu-lagu keroncong. Mereka adalah idama perempuan di masa lalu atas suara merdunya. Beberapa dari mereka adalah Ismail Marzuki, Gesang, Tan Tjeng Bok, Bram Atjeh dan Kusbini.

Pada era 1920an musik keroncong juga diuntungkan dengan sudah mulai ditemukannya alat perekam. Beberapa lagu keroncong era itu berhasil direkam baik di studio luarnegeri ataupun dalam negari. Beberapa contohnya antara lain “Krontjong Aseli Muritsku Sirene” yang dinyanyikan Sulami dengan iringan Canary Orkest dan diterbitkan Canary Records pada 1926 berasal dari India. Ada juga yang dari Jerman yaitu lagu “Krontjong Boeroeng Nori” yang dinyanyikan Miss Ijem dengan musik Orkest Nirom II Bandoeng (Kumparan.com, 2017).

 

Perkembangan Musik Keroncong di Zaman Jepang

Perkembangan keroncong di masa Jepang mengalami perubahan drastis. Alfian (2013) menyatakan bahwa saat itu, semuanya dilarang apa pun yang memiliki ciri khas Barat, termasuk bidang menyanyi. Oleh sebab itu maka keroncong diatur sedemikian rupa sehingga tidak menampilkan sisi kebarat-baratan. Abdurachman (dalam Darini, 2012) menerangkan bahwa irama (keroncong) berubah menjadi lamban, mandolin diganti guitar, mandolin kecil dan tamburin hilang. Lagu-lagu yang bernuansa cinta dilarang. Jepang sangat mendorong penciptaan lagu yang akan membangkitkan semangat kerja dan menumbuhkan patriotisme. (Alfian, 2013)

Penampilan musik keroncongpun tidak sebebas pada era sebelumnya. Musik keroncong diarahkan menjadi sajian yang lebih mencerminkan sifat ketimuran dengan membuang unsur kebarat-baratan di dalamnya. Penampilan musik keroncong juga diubah menjadi lagu yang lebih tenang, tanpa banyak gaya dan para pemain akan mengenakan pakaian sopan dan formal seperti kebaya (sejenis blus wanita yang bagian depannya disematkan, biasanya dikenakan dengan jarik) (Alfian, 2013). Pemain musik keroncong tidak lagi berdiri, tapi diatur duduk rapi di belakang penyanyi. Munjid (dalam Alvian, 2013) menyatakan bahwa selama pendudukan Jepang, musik keroncong tidak lagi terkait erat dengan tarian, pesta, dan minum, yang umumnya lebih negatif.

 

Perkembangan Musik Keroncong di era 1945-1950

Setelah era kemerdekaan musik keroncong semakin eksis. Seiring pengalihan kekuasaan dari penjajah ke negara Indonesia, beberapa radio yang dulu jadi alat propaganda perang Asia Timur Raya diambil alih oleh bangsa Indonesia. Alfian (2013) menerangkan bahwaada saat itu, para pejuang menduduki beberapa stasiun radio dan menggunakannya sebagai “senjata”. Banyak lagu patriotik ditulis dalam aransemen musik keroncong dan disiarkan oleh stasiun radio yang dikendalikan oleh para pejuang.

Berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI) pada awal kemerdekaan membawa dampak positif bagi penyebaran lagu keroncong. Radio Republik Indonesia berdiri serentak di 8 kota besar seperti (Jakarta, Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Surakarta, Semarang, Surabaya, Malang) (Wijawa, 2012). Pada

Di masa itu juga banyak tercipta lagu-lagu yang menggambarkan perjuangan para pahlawan untuk mempertahankan kemerdekaan dari serangan. Hal ini nampak dalam syair lagu yang diciptakan Gesang, berjudul Jembatan Merah. Lagu ini menjadi terkenal saat pertempuran saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (Tashadi, Darnoko, & Suratmin, 1999).

 

Perkembangan Musik Keroncong di era 1950 – 1960

Perkembangan musik keroncong di era ini semakin gencar. Radio RRI semakin konsisten dengan memberikan porsi yang cukup banyak pada musik keroncong dalam siaran radionya. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, Indonesia sangat sibuk dan gencar membangun budaya nasional. adio Republik Indonesia cukup aktif mengambil bagian dalam proses besar itu. Puguh (2017) menyatakan bahwa siaran Musik Nasional (termasuk hiburan, kroncong asli, kroncong baru, kroncong di luar kategori asli dan baru, lagu anak-anak, seriosa, gambus, musik Melayu dan lagu perjuangan) adalah upaya yang dilakukan oleh RRI dalam membentuk budaya nasional.

Langkah paling monumental yang dilakukan Radio Republik Indonesia (RRI) adalah dengan didirikannya studio rekaman Lokananta. Lokananta merupakan perusahaan rekaman pertama yang secara resmi dimiliki oleh negara (kumparan.com, 2020). Pendirian studio rekaman itu digagas oleh R. Maladi, Direktur Radio Republik Indonesia. Ningtyas (2017) menyatakan bahwa awalnya, Direktur Radio Republik Indonesia R Maladi, menginisiasi berdirinya Lokananta untuk menyuplai bahan siaran RRI yang berjum;ah 26 stasiun. Selanjutnya Mustafa (2016) menuliskan bahwa dulu Maladi ingin Lokananta menjadi pusat produksi dan distribusi materi siaran RRI agar tidak tergerus musik barat. Puguh (2018) menyatakan bahwa Lokananta telah memproduksi piringan hitam yang berisi rekaman- rekaman musik yang oleh Philip Yampolsky dikelompokkan ke dalam jenis Musik Nasional, Hiburan Daerah, dan Musik dan Teater Daerah. Beberapa mususi besar keroncong sering membuat rekaman album keroncong di studio Lokananta, diantaranya adalah Waldjinah dan Gesang.

 

Perkembangan Musik Keroncong di era 1960 – Sekarang

Memasuki era 60-an keroncong semakin mendapatkan sambutan hangat. Keroncong memasuki babak baru yaitu era modern. Sakrie (dalam Bernas.co, 2015) mengatakan bahwa sejarah perkembangan keroncong dibagi dalam tiga masa yaitu keroncong tempo doeloe (1880-1920), keroncong abadi (1920-1960), dan keroncong modern (1960-sekarang).

Pada era keroncong modern, pakem keroncong tidak terlalu mengikat. Masuknya berbagai jenis lagu dari seluruh dunia melalui siaran radio dan piringan hitam membuat semakin banyak pilihan musik yang menarik bagi pendengar tanah air. Beberapa musisi merespon itu dengan membuat format keroncong yang tak selalu mengikuti pakem  keroncong lama. Maka pada era ini muncullah keroncong pop, keroncong beat, keroncong dangdut (congdut), keroncong rock, keroncong reggae, dan keroncong rap.

Sakrie (dalam Bernas.co, 2015) menyatakan bahwa keemasan keroncong mencapai puncaknya hingga akhir 1960-an. Selepas itu, genre musik populer yang masuk di Indonesia mulai menggeser nasib keroncong. Namun pada era 70-an musik keroncong masih mempunyai nilai tawar dan daya saing terhadap berbagai aliran musik yang ada di waktu itu. Terbukti beberapa band yang populer di kala itu menggarap album keroncong dan musiknya sangat diterima masyarakat umum. Salah satunya adalah Koes Plus dengan single hitsnya “Keroncong Pertemuan”. Di era itu juga muncul musisi Mus Mulyadi yang banyak mempopulerkan lagu keroncong di kalangan masyarakat, salah satunya adalah lagu “Dewi Murni”.

Semakin menuju era milenium, lagu keroncong semakin tenggelam. Pergelaran dan musik keroncong hanya dimainkan di beberapa acara di kota dan desa yang mempunyai basis keroncong yang kuat dan di komunitas-komunitas keroncong, namun tak pernah lagi muncul album dan judul keroncong baru yang menjadi hits secara nasional seperti era-era sebelumnya. Keroncong seolah sulit membaur dengan musik0musik di Indonesia yang semakin beraneka ragam.

 

Identitas Nasional (National Identity)

Setiap warga dari negara yang berdaulat pastilah mempunyai satu kesamaan perasaan dan ciri khas sehingga mereka bisa mengidentifikasikan diri dengan lainnya sebagai suatu warga negara yang melebihi ras atau warna kulit. Dengan itu mereka bisa membedakan mereka dengan warga negara lainnya yang tentunya mempunyai ciri khas yang berbeda pula. Untuk itulah identitas nasional (national identity) selalu muncul pada masyarakat di setiap negara.

Seiring laju perkembangan zaman, kini dunia sudah memasuki era globalisasi. Pasar bebas sudah berjalan. Dunia seperti sebuah taman kecil dalam lipatan dunia maya. Setiap orang bisa melihat belahan dunia lain hanya dengan sentuhan jari di layar gadget yang terkoneksi dengan internet. Setiap orang bebas berteman dan berbincang dengan seluruh orang di seluruh dunia dari negara yang berbeda-beda. Pasar bebas yang terus berjalan ini membuat tiap warga dunia harus mempunyai suatu ciri khas dan identitas nasional agar mempunyai nilai tawar dan tidak hilang tergilas laju perkembangan dan globalisasi. Di era seperti ini posisis identias nasional yang kuat sangatlah penting.

Secara etimologis identitas nasional adalah identitas seseorang atau rasa memiliki terhadap satu negara atau satu bangsa (wikipedia.org, 2020). Hal ini berimplikasi terhadap segala aktivitas dan ciri khas dominan yang dikenakannya dalam melakukan aktivitas sehari- harinya. Identifikasi diri dengan lingkungan sosial tersebut membuat mereka mempunyai ikatan batin dan persamaan nasib. Mereka juga merasa percaya diri hidup di bawah satu negara bersama semua orang yang mempunyai perasaan atau identitas nasional yang sama.

Teori identitas nasional memang sangat dekat atau berkembang dari teori identitas sosial (social identity). Seorang individu mengidentifikasikan dirinya dengan orang-oran yang berada di sekitarnya. Mavric (2014) menyatakan bahwa proses identifikasi sosial yang terkait dengan perilaku kelompok melibatkan: etnosentrisme, membedakan menjadi kelompok, kesesuaian dengan norma-norma kelompok, daya tarik kelompok sendiri dan persepsi orang lain yang berbeda. Dari identifikasi ini maka seorang individu merasa aman hidup di dalamnya. Tajfel & Turner (dalam Mavric 2014) yang menyatakan bahwa identitas sosial diartikan sebagai bagian dari indera individu yang berasal dari kesadaran bahwa ia adalah anggota yang ditentukan kelompok tertentu (atau kelompok), tetapi juga membentuk kepentingan emosional baginya sebagai afiliasi.

Identitas nasional akan mudah terlihat dari ciri khas yang tampak pada kehidupan sehari-hari dari suatu kelompok sosial di satu wilayah. Mavric (2014) meenyatakan bahwa identitas nasional mewarnai banyak aspek kehidupan sehari-hari. Dengan adanya identitas nasional ini maka bangsa lain akan mampu mengenali suatu bangsa atau masyarakat tertentu dari negara mana dari ciri khas yang mereka perlihatkan dalam bergaul dan bersosialisasi.

Identitas nasional (national identity) adalah suatu obyek yang sangat penting untuk diteliti. Aspek-aspeknya masuk ke dalam beberapa disiplin keilmuan. Mavric (2014) menyatakan bahwa dentitas nasional dan fenomena terkait sejauh ini terutama diselidiki sebagai bagian dari sosiologi, antropologi dan ilmu politik, dan psikologi ke tingkat yang lebih rendah. Beberapa alat ukur sudah dibuat untuk mengukur identitas nasional. Keillor et al. (1996) menyatakan bahwa Skala Identitas Nasional (NATID) dirancang untuk mengukur secara empiris seberapa kuat individu di suatu negara mengidentifikasikan diri dengan aspek agama, sejarah, budaya, dan sosial dari identitas nasional mereka.

 

Keroncong Sebagai Identitas Nasional

Dari perjalanan panjang sejak kelahiran musik keroncong di era Portugis, perkembangannya di era Belanda, Jepang, dan kemerdekaan 45 membuat keroncong secara emosional sangat dekat dengan kehidupan bangsa Indonesia. Musik keroncong mengiringi bangsa ini dalam upayanya mempertahankan teritorial dari pendudukan kolonialisme hingga mampu membentuk suatu negara yang berdaulat yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lagu-lagu yang tercipta di dalamnya banyak menyimpan memori sejarah yang sangat penting bagi negara ini. Beberapa lagu perjuangan menjadi sangat monumental dalam merekam kejadian-kejadian penting pada beberapa daerah di suatu masa perjuangan di Indonesia. “Kr. Melati di Tapal Batas”, “Lgm. Sepasang Mata Bola”, dan “Lgm. Pahlawan Merdeka” adalah beberapa contoh judul lagu keroncong yang membuat kita akan ingat perjuangan pahlawan kemerdekaan. Selain secara tekstual, memori sejarah itu bisa diwariskan melalui alunan musik keroncong.

Lagu keroncong juga banyak mengangkat budaya daerah dan kearifan lokal misal tentang kuliner seperti “Lgm. Semanggi Surabaya”, “Kr. Soto Madura”, dan “Lgm. Pecel Madiun” , tentang tari tradisional seperti “Lenggang Surabaya”, tentang cagar budaya “Borobudur”, dan tentang situs-situs monumental yang ikonik di kota-kota di Indonesia seperti “Tirtonadi”,”Jembatan merah”,”Bandar Jakarta”, “Pasar Gambir”, dan yang paling poipuler di masyarakat umum adalah lagu “Bengawan Solo”.

Musik keroncong juga mengakomodasi berbagai unsur kedaerahan yang unik pada tempat di mana musik keroncong itu tumbuh dan berkembang. Hal itu membuat keroncong sebagai sebuah wahana untuk memperkenalkan ciri khas daerah tersebut. Banyak lagu-lagu langgam Jawa yang diaransemen ulang menjadi lagu keroncong. Begitu juga dalam memainkan alat musiknya. Darini (2012) menjelaskan bahwa di Jawa Tengah, keroncong berakulturasi dengan alat musik tradisional setempat seperti gamelan. Fungsi alat musik modern diidentikkan dengan fungsi alat musik dalam gamelan. Bass diidentikkan dengan gong, cello dengan gendang, gitar dan biola atau seruling dengan gambang serta rebab.

Dalam musik keroncong yang berasimilasi dengan musik Jawa juga mengakomodasi melodi pelog dan slendro, dua tangga nada pentatonis khas Jawa.

Selain itu banyak sekali lagu-lagu keroncong yang mengangkat simbol-simbol Identitas Nasional Indonesia seperti “Kr. Bahana Pancasila”, “Lgm. Rayuan Pulau Kelapa”, “Kr. Tanah Airku”,”Lgm. Sumpah Pemuda” dan masih banyak lagi. Musik  keroncong sangat kuat mencerminkan karakter dan Identitas Nasional Indonesia.

Dari pemaparan panjang tentang musik keroncong ini maka layaklah musik keroncong menjadi komponen identitas nasional (national identity) Indonesia. Keroncong benar-benar lahir dan tumbuh berkembang mengiringi dinamika sejarah Indonesia. Lagu keroncong mengalun dalam tiap sudut-sudut lembar sejarahnya dan menyatukan gerak langkah bangsa Indonesia. Becket (dalam Harnas.co, 2015) menyatakan bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, keroncong menjadi satu-satunya kesenian musik yang bersifat pan- Indonesia.

 

Masa Depan Keroncong

Sejarah musik Keroncong berjalan berabad-abad mulai abad 16 hingga memasuki abad ke 21 ini. Membentang panjang dari era penjajahan Portugis, Inggris, Belanda, Jepang, masa kemerdekaan hingga masa kini. Mewarnai perjuangan bangsa ini dari era kolonial, proklamasi kemerdekaan, hingga masa milenial. Timbul dan tenggelam dan bergerak dinamis ditempa zaman. Musik keroncong adalah musik nasional yang memiliki sejarah terpanjang di Indonesia. Keberadaannya merupakan representasi estetika jiwa seni bangsa Indonesia. Potret sejarah perkembangan bangsa Indonesia.

Melihat perkembangan keroncong di era ini memang timbul sebuah ambiguitas. Di sisi lain musik keroncong sangat dihormati keberadaannya namun di sisi lain tak banyak generasi muda yang mengenal lagu-lagunya apalagi suka atau bahkan memainkannya. Bahkan lagu keroncong jarang sekali masuk ke dalam playlist lagu-lagu yang diputar di laptop ataupun gadget untuk menemani kegiatan sehari-hari. Lagu keroncong tak pernah lagi menjadi lagu hits yang diterima oleh semua kalangan. Seolah lagu-lagu keroncong tercipta hanya khusus bagi komunitas penggemar keroncong namun tidak bagi lainnya. Dilihat dari blantika aliran musik secara umum yang ada di tanah air, keroncong terlihat sulit sekali membaur. Eksistensi keroncong seolah hanya pada segmen tertentu berskala kecil.

Untuk menjawab faktor-faktor apakah yang menyebabkan tenggelamnya keroncong di blantika musik tanah air di era ini cukup kompleks dan pelik. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan gambaran yang detail tentang permasalahan apa yang terjadi. Namun belajar dari musik dangdut dan campursari, mereka mampu tetap eksis dan mampu bersaing dengan musik-musik modern untuk merebut hati generasi milenial dan bisa diterima semua kalangan dan seluruh lapisan masyarakat. Kemampuan dangdut dan campursai beradaptasi membawa dampak positif dengan semakin berkembangnya kedua aliran musik tersebut. Lalu bagaimana dengan musik keroncong di era ini?

Keberlangsungan suatu produk budaya adalah tergantung dari ada atau tidaknya orang yang menggunakan produk budaya tersebut. Jika sudah tidak ada lagi maka budaya itu sudah punah. Eksistensi musik keroncong di masa depan sangat dipengaruhi oleh diterima atau tidaknya musik itu oleh generasi milenial saat ini. Dan musik adalah masalah selera, tidak bisa dipaksakan untuk dinikmati kepada siapapun. Mau tidak mau musik keroncong memang harus bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan perubahan selera masyarakat Indonesia terhadap musik.

Persoalan klasik yang sering terjadi pada komunitas keroncong sendiri adalah pertentangan antara keroncong pakem dan keroncong garapan. Kelompok keroncong pakem tidak setuju jika musik keroncong diimprovisasi terlalu banyak. Sedangkan keroncong garapan menghendaki kebebasan dalam mengembangkan keroncong sesuai dengan selera dan jiwa mereka. Hal ini tentunya tidak perlu diperuncing agar tidak semakin menghambat perkembangan musik keroncong. Hendaknya semua saling menghormati perbedaan yang ada dan tetap fokus berkarya dengan caranya masing-masing.

Beberapa grup keroncong generasi muda mulai bermunculan di era ini. Keberadaan mereka memang tak banyak dan belum mampu menembus pasar musik nasional. Namun paling tidak keberadaannya masih memberikan rasa optimisme bahwa musik keroncong akan masih tetap hidup dan menjadi identitas nasional generasi Indonesia di masa depan.

 

 

Daftar Pustaka

Achsani, Ferdian. (2019). Sastra dan masyarakat: Fenomena ambyar pada lirik lagu Didi Kempot. Estetik, Vol.2 No.2, November2019 ISSN 2622-1810 (p) 2622-1829 (e)

Alfian, Magdalia. (2013). Keroncong music reflect the identity of Indonesia. TAWARIKH International Journal for Historical Studies,4(2) 2013

Darini, Ririn. (2012). Keroncong: Dulu dan kini. Mozaik Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora 6 (1), 19-31

Destiana, Evie. (2012). Keroncong stamboel sebagai akulturasi budaya urban. PEDAGOGIA Vol. 1, No. 2, Juni 2012: 153-159

Fikry, Muhammad Tsabiqul & Zulkarnain Mistortoify. (2017). Prospel: Kemunculannya pada musik keroncong. Dewaruci Vol. 12 No. 2, Desember 2017

Ganap, Victor. (2006). Pengaruh Portugis pada musik keroncong. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol VII no. 2/ Mei – Agustus 2006

Haezer, Hiskia Eben. (2017). Eksistensi lagu moresco sebagai cikal bakal musik keroncong di Indonesia.

Harnas.co.  (2015). Keroncong cikal bakal pop Indonesia. http://www.harnas.co/2015/11/21/keroncong-cikal-bakal-pop-indonesia (diakses pada 19 Mei 2020)

Keillor, Bruce D, G. Tomas, M. Hult, Robert C. Erffmeyer, & Emin Babakus. NATID: The development and aplication of a national identity measure for use in international marketing. Journal of International Marketing Vol.4,No.2,1996,pp.57-73 ISSN1069- 031X

Kumparan.com. (2017). Awal mula industri perekaman musik di Indonesia. https://kumparan.com/potongan-nostalgia/awal-mula-industri-perekaman-musik-di- indonesia/full (diakses pada 18 Mei 2020)

Kumparan.com. (2020). Glenn Fredly dan Lokananta, perusahaan rekaman pertama di Indonesia. https://kumparan.com/potongan-nostalgia/glenn-fredly-dan-lokananta- perusahaan-rekaman-pertama-di-indonesia-1tBk4n7mgdr (diakses pada 19 Mei 2020)

Luaylik, Fathin & Johny A. Kusyairi. (2012). Perkembangan musik dangdut Indonesia 1960an-1990an. Verleden, Vol. 1, No.1 Desember 2012: 1 – 109

Matanasi, Petrik. (2016). Buaya-buaya keroncong tempo dulu. https://tirto.id/buaya-buaya- keroncong-tempo-doeloe-bFgm (diakese pada 19 Mei 2020)

Mavric, Bisera. (2014). Psycho-social conception of national identity and collective self- esteem. Epiphany: Vol. 7, No. 1, 2014 ISSN 1840-3719

Mintargo, Wisnu. (2017). Akulturasi budaya dalam musik keroncong di Indonesia. Volume 1 Nomor 1 September 2017 e-ISSN: 2597-405X dan p-ISSN: 2597-4041

Mustafa, Ardita (2016). Lokananta,      sejarah      yang      tak      ingin      dilupakan. https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20160412205009-227-123492/lokananta- sejarah-yang-tak-ingin-dilupakan (diakses pada 19 Mei 2020)

Muttaqin, Moh. (2006). Musik dangdut dan keberadaannya di masyarakat: Tinjauan dari segi sejarah dan perkembangannya. HARMONIA Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Vol. VII no. 2/ Mei – Agustus 2006

Ningtyas, Ika. (2017). Jejak Lokananta dalam sejarah musik Indonesia. https://lokadata.id/artikel/jejak-lokananta-dalam-sejarah-musik-indonesia (diaksess pada 19 Mei 2020)

Nopianti, Risa, Sely Riawanti, & Budi Rajab (2019). Identitas orang Tugu sebagai  keturunan Portugis di Indonesia. DOI: 10.30959/patanjala.v11i2.490

Puguh, Dhanang Respati. (2017). Radio Reoublik Indonesia Surakarta, 1945-1960: Its role in effort s to maintain Indonesian independence and the formation of national culture. Indonesian Historical Studies, Vol. 1, No. 2, 138-153 © 2017

Puguh, Dhanang Respati. (2018). Perusahaan rekaman Lokananta, 1956-1990-an: Perkembangan produksi dan kiprahnya dalam penyebarluasan seni pertunjukan Jawa Surakarta. Sasdaya, Gadjah Mada Journal of Humanities, Vol. 2, No. 2, M ei 2018

Rahmawati, Lindou Putri. (2017). Eksistensi musik campursari karya didi kempot. Journal.Student. UNY. ac.id

Tashadi, Harnoko, & Suratmin. (1999). Partisipasi seniman dalam perjuangan kemerdekaan di Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan KebudayaanRI

Wijaya, Deddy Wahyu. (2012). Sejarah radio republik Indonesia wilayah Semarang tahun 1945 – 1998. Journal of Indonesian History Vol. 1 No. 1 Tahun 2012 [ISSN 2252-6633] Hlm 23-29

Wikipedia.org. (2020). National identity. https://en.wikipedia.org/wiki/National_identity (diakses pada 18 Mei 2020)

Wiyoso, Joko. (2007). Campursari: Suatu bentuk akulturasi budaya dalam musik.

Harmonia: Journal Of Arts Research And Education, 2007

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

baca juga yang lain

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.