Sastra Untuk Kemanusiaan


Esai Fahrudin Nasrulloh: Kuburan Teater Afrizal Malna

Ada yang tak selesaikah setelah kita menonton teater? Mungkin masih ada bara kecil di puntung rokok yang diludeskan ke asbak dan itu berkelip-kelip sebentar lalu mati, serupa itukah yang mengendap pada diri penonton seusai pertunjukan teater? Kita akan menghadapi Afrizal dengan banyak ketakterdugaan. Ia datang dari dunia pecah belah. Dari dunia puisi-puisinya yang konon disangka gelap. Dari biografi puisi yang tak berhenti mencari rumah bahasanya. Namun teater terus dibuat, dipanggungkan, dan di sanalah bahasa dan peristiwa dalam pertunjukan teater bertemu.

Maka catatan peristiwa pertunjukan teater menjadi penting di sini, di mana tak banyak pelakon teater tergerak mencatatnya. Buku Afrizal Malna Perjalanan Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata adalah bagaimana ia melihat dengan “mata lain” sebuah pertunjukan teater yang telah ditontonnya selama kurang lebih 12 tahun. Sebagai seniman teater yang pernah terlibat di Teater Sae, ia juga adalah penyair yang sudah dikenal luas dalam dunia sastra Indonesia. Afrizal dengan catatan tajamnya dengan berbagai perspektif sosiologis maupun antropologis, dan oleh sebab itu pembaca, sebagai “teater ketiga”, tidak semata melihatnya sebagai hasil reportase, namun lebih dari bagaimana kita diajak memasuki cara Afrizal menonton teater yang kemudian disebutnya sebagai “teater kedua”.

Barangkali Afrizal dengan “mata lain”-nya itu ingin menyatakan kembali akan hal sederhana: apakah sebenarnya “menonton teater” itu? Saya tidak tahu pasti, saya hanya berpikir bahwa menonton teater itu pengalaman pribadi penonton, ketika hal-ihwal kehidupan dipadatkan menjadi sebuah cerita yang secara estetik oleh pekerja teater dilakonkan di atas panggung. Teks kehidupan itu coba direpresentasi walau itu tak lebih cuma “fiksi”. Bagaimana kita menonton yang “fiksi” dan kenapa dicatat. Perkara sepele ini bisa saja didasarkan pada kegelisahan Afrizal: “kenapa manusia memerlukan bayangannya sendiri, membuat imajinasi dan cerita.” Sama dengan yang dialami St. Sunardi yang merasa hidup seperti fiksi bila terlalu lama tidak menonton wayang. Saya bukan penggemar wayang, tapi apa yang dirasa Sunardi nyaris mirip dengan apa yang saya rasakan ketika saya menonton pertunjukan kesenian tradisional ludruk. Saya lebih menemukan “sesuatu” justru tatkala menonton persiapan orang-orang ludruk (sebagai seniman yang menggeluti ludruk berpuluh-puluh tahun) di krobongan dan sesekali waktu terlibat perbincangan juga gojegan dengan mereka tentang banyak hal dan terkadang pada momen tertentu saya dengan santai kebal-kebul ngrokok dalam desir angin malam memandang dan mendengarkan obrolan mereka, ketimbang menonton akting mereka di panggung yang sebagian besar saya telah hapal ceritanya. Bagi saya, ruang sosial di “krobongan” itu menyibakkan oase tersendiri sebagai pintu tembus dari “teater keseharian”. Lakon di panggung produk fiksi dari perasan realitas yang bocor atau malah sebaliknya, realitas kini lebih fiksi dari dunia fiksi yang kita kenal dalam sastra maupun lainnya. Sebagai hiburan kelas jelata, ludruk ya tujuannya menghibur. Sebagai kontemplasi, kritik, dan pasemon, ludruk menghadirkan “suara lain”. Sementara teater adalah internalisasi di mana tubuh massa mengalami personalisasi massif yang demikian ketat, seperti disebut Afrizal: “tubuh yang dibuat tegang, vokal yang dibuat keras, berat dan mengedan, pandangan mata yang dibuat tajam: seluruh kesibukan untuk membungkus personalitas mereka…menciptakan image teater sebagai disiplin seni yang keras, menakutkan, seram dan kumuh.”

Saya rasa cara pandangannya punya kelokan sendiri. Menempatkan tubuh, bahasa, dan intelektualitas sebagai “yang bercerita” di balik kepungan industrialisasi. Ada yang selalu berubah, menjadi mengusik, ketika kesenian mampet di ruang publik, jadi tokek di negeri ini, dan jalan berkesenian dianggap ruang sunyi yang tak memberikan perubahan. Dari sanalah Afrizal tak henti bertanya, apakah kita benar-benar mengenali diri kita, dalam interaksi yang kita buat lagi dan lagi melalui teater (kesenian) seolah ada ruang dan waktu yang belum kita susuri. Kita akan berbincang dengan jarak tertentu dengan Afrizal, lewat buku, kongkow sambil ngopi, yang boleh jadi tidak menyisakan apapun selain poster yang diplester di dinding, atau kita bisa tersenyum renyah dengannya seraya ndagel ala Markeso: “Mole Cak So?” (Pulang Cak So?), lantas Markeso menyahut, “Iyo, ole sak ghodokan!” (Iya, dapat satu godokan!). Nah, bagaimana pula apresiasi kita saat menonton nisan Markeso yang ditulisi Cak Bawong SN dengan kalimat saur-manuk (tanya-jawab) itu? Apakah itu teater juga dalam dimensi ruang “mistik keseharian” Heideggerian misalnya?

Apakah kita punya cara berpikir yang sama antara menonton teater tradisional seperti ludruk dengan teater modern sebagaimana yang ditulis dalam buku Afrizal itu? Atau dengan tontonan yang lebih artifisial dalam industri televisi seperti sinetron, Opera van Java, dan reality show lainnya? Pernyataan Afrizal: apakah sebenarnya “menonton teater” itu, memang membetot perhatian kita pada beragam bentuk seni pertunjukan hingga ke ranah industri media lainnya.

Sosok Afrizal yang juga sebagai penyair memiliki “mata lain” saat ia menatap “sesuatu”. Ia menyebut pertunjukan teater yang ia tonton dan yang kemudian ditulisnya dalam buku 400-an halaman itu sebagai “kuburan teater”: peristiwa teater, orang-orang di dalamnya, waktu yang berubah, jejak-jejak yang perlahan lenyap, ruang sosial yang membentuknya, semua berubah. Masa lalu itu mati, dan menemukan “kubur”nya saat dituliskan. Kini “kuburan teater” itu ada di tengah-tengah kita. “Kuburan” yang mungkin tak lebih dari lahan parkir dalam sejarah teater di Indonesia, yang suatu saat bisa tergusur dan kita tak tahu lagi ke mana si tukang parkir itu pergi.

Tentu saja banyak pertunjukan teater dan hal-ihwal di dalamnya yang luput dari pengamatan Afrizal, mungkin di kota-kota kecil di Indonesia yang belum dikunjunginya. Barangkali yang tak tercatat itu menjadi “kuburan fiksi” bagi Afrizal. Sejarah pementasan teater di tanah air dari tahun ke tahun tampaknya muskil tercatat lengkap, jika pun itu dimungkinkan, misalnya lewat suatu lembaga yang dibentuk untuk itu atau dari etos militansi tiap pekerja teater, tentu persoalan selanjutnya mampukah daya menulis dengan kejelian tertentu dapat mengongkosinya.
Perjalanan Afrizal mengamati teater hanyalah contoh kecil, jadi jejak yang bisa kapan saja kita ziarahi “kuburan teater” itu, sebagai hazanah, untuk menatap masa depan. Dan “kuburan fiksi” juga ada di tiap nafas kita, tubuh kita, pola pikir kita, kesenian kita, sejarah bangsa kita, ketika kita tak berbuat apa-apa. Mungkin teater bagi orang-orang tertentu seperti tikus-tikus berisik di malam selepas magrib, lebih aneh dan mengganggu ketimbang teater politik Indonesia saat ini.

 

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.