Sastra Untuk Kemanusiaan


Tiga Cara Mengembangkan Sastra Malang

Setelah berproses bersama sastra di kota Malang hampir selama lima tahun ini, saya secara pribadi melihat bahwa dunia sastra Kota Malang masih berjalan di tempat. Jika ada yang mengatakan sastra Malang bergeliat, ia bergeliat di tempat. Tempatnya kecil dan gelap. Dan sendiri. Ia seperti katak yang membangun lampu di bawah tempurung dan sangat mencintai lampu-lampu yang dibangunnya. Dan ia kepala batu, karena ia berasal dari Timur. Tak akan ada yang bisa memberinya saran.

Secara lebih lugas, saya telah menyebutkan kondisi parahnya sastra Malang dalam beberapa tulisan saya sebelumnya di Ruang Scripta Radar Malang. Saya akhir-akhir ini menemukan istilah bagus untuk kondisi sastra Malang: hidup segan mati malu-malu.

Namun, sebagai pendatang yang mampir belajar dan sebentar lagi pergi, dan atas rasa terima kasih saya yang besar pada sastra Malang dan dunia kesenian pada umumnya, saya mempunyai beberapa cara mengembangkan sastra Kota Malang. Cara-cara tersebut memang tidak mudah, namun saya sungguh yakin akan berhasil jika ada kemauan untuk merealisasikannya. Hanya butuh kerjasama dan keberanian beberapa pihak, dan kondisi sastra kita akan maju pesat; keluar dari tempurung yang menutupnya.

  1. Bubarkan Fakultas Sastra

Membubarkan fakultas-fakultas sastra di kota Malang sangat penting bagi pengembangan sastra. Tiap tahun, fakultas sastra menerima ribuan mahasiswa. Yang artinya, kota Malang harus menampung ribuan mahasiswa, memberi makan, memberi ruang. Memberi jalan yang berisiko memacetkan. Namun, tiap tahun itu pula, dari ribuan mahasiswa yang makan dan berbagi oksigen kota Malang yang terus menipis, hampir tak ada satupun dari mereka yang memberikan nilai tambah bagi kesusteraan kota Malang. Mereka kuliah, membuat tugas dan sebagainya dalam ranah sastra, namun yang mereka sungguh-sungguh berikan kepada kota hampir tak ada.

Saya berkata hampir untuk menghargai usaha mereka mengundang sastrawan-sastrawan kelas nasional dalam beberapa kesempatan. Memberikan kesempatan kepada publik sastra Kota Malang lain untuk bertemu dengan idolanya. Selain itu, tidak ada.

Walau begitu, pengajarnya, lumayan punya andil dalam kesusasteraan. Sebutlah beberapa nama seperti Tengsoe Tjahjono, Yusri Fajar dan Djoko Saryono (sebenarnya saya bosan menyebut nama yang sama dalam tiap tulisan saya, namun memang hanya itu yang kita punya) yang walaupun semakin hilang usia, namun tetap berkarya. Juga beberapa dosen lain seperti Misbahus Surur dan Agustinus Indradi yang walaupun belum begitu dikenal di kalangan anak-anak sastra, juga diam-diam berkarya dan mengompori anak muda untuk menulis. Saya berharap masih ada orang lain yang luput saya sebutkan, agar fakultas sastra tak begitu mempermalukan dirinya sendiri.

Beberapa dosen lain menulis buku tentang bagaimana menulis yang baik dan benar, namun percayalah itu hanya kata-kata omong kosong yang lebih banyak dibuat demi kenaikan pangkat kepegawaian. Itu adalah jenis-jenis buku yang harus dijauhkan dari anak-anak yang ingin belajar sastra. Karena banyaknya buku sejenis, kita berhenti pada diskusi tentang bagaimana menciptakan sastra yang bagus, bukan pada benar-benar menciptakan sastra yang bagus.

Jadi bagaimana jika fakultasnya dibubarkan, dan dosen-dosen ini digaji untuk berkarya dan mengompori anak muda untuk berkarya, bukan untuk memenuhi kepala mahasiswa dengan sampah?

  1. Bubarkan Komunitas-Komunitas Sastra

Komunitas sastra adalah kumpulan orang-orang yang katanya mencintai sastra. Mereka berkumpul, belajar bersama, menulis dan mengapresiasi karya. Suatu waktu, di suatu titik tertentu, mereka ini akan menjadi sangat eksklusif. Mereka merampas sastra dari publik, menjadikannya milik pribadi. Mereka menobatkan seseorang menjadi penyair dan menyebut seseorang lain sebagai sastrawan, dengan standar yang tidak pernah jelas. Padahal Umbu Landu Paranggi dalam tulisannya berkata dengan sangat jelas: “…puisi bukan hanya milik penyair. Puisi adalah milik semua orang.” (Tentu saja ini kita terjemahkan sebagai sastra pada umumnya, bukan hanya puisi).

Selain itu, komunitas-komunitas jika telah menjadi eksklusif, bergerak menjadi sesuatu yang sangat organisatif. Ia mempunyai aturan dan hukum tertentu, cara, adat dan aturan yang mengikat. Apalah artinya sastra dalam sebuah tatanan yang eksklusif, dengan kultur-kultur yang kaku dan membuat seseorang, alih-alih menjadi pekerja kreatif, malah menjadi sejenis politisi yang kaku. Akhirnya, komunitas ini tak kalah menyedihkan daripada fakultas sastra

Membubarkan komunitas eksklusif yang menyebut diri penyair dan sastrawan ini akan sangat penting untuk mengembalikan sastra pada publik, pada tempat di mana seharusnya ia berada.

  1. Hapus Divisi Sastra Dari Dewan Kesenian

Menghapus sastra dari posisinya sebagai salah satu divisi di Dewan Kesenian Malang memang akan menuai protes yang tidak sedikit dari berbagai kalangan. Namun, ini adalah salah satu cara sederhana untuk memberitahukan kepada publik bahwa sastra adalah milik publik. Sastra tidak seharusnya diletakkan sebagai bagian dari kerja birokrasi.

Katakan kepada para pejabat daerah, bahwa tugas mereka adalah membantu publik menghidupkan sastra. Bukan sebaliknya. Bukan kewajiban publik untuk membantu kepala daerah menghidupkan sastra. Karena sastra sebagaimana kesenian adalah milik publik. Sebut saja, tak ada divisi sastra, namun kepala daerah dan kaum birokrat wajib membaca puisi tiap hari senin, di alun-alun kota. Atau menulis cerpen bersama anak-anak di kampung anu tiap malam minggu. Ini untuk membantu menghidupkan semangat literasi di tengah masyarakat. Walaupun, saya cemas, ujung-ujungnya hal seperti itu, biasanya hanya akan dibelokkan menjadi alat kampanye politik, bukan demi sastra dan pengembangan kebudayaan itu sendiri. (Ya, mau bagaimana lagi? Mereka memang politisi, bukan seniman.) []

Pernah dimuat di koran Radar Malang, 1 Februari 2015

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.