Sebagai komunitas sastra di Malang, Pelangi Sastra Malang memulai kelas baru dengan tema yang cukup mendasar yaitu Sejarah Sastra Nusantara dan Indonesia. Materi ini sengaja dberikan sebagai tonggak pondasi bagi anggota Pelangi Sastra Malang beserta para aktivis yang memiliki kepedulian di bidang sastra. Pemateri dalam pertemuan kali ini adalah Prof. Dr. Djoko Saryono. Kegiatan yang diselenggarakan di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang (UM) pada Selasa, (28-05-2018) benar-benar mengupas lembar demi lembar perjalanan sastra di Indonesia.
“Sastra nusantara itu beda dengan sastra Indonesia” begitu ucap Prof Djoko ketika memulai diskusi. Prof. Djoko mengatakan bahwa sastra nusantara adalah sastra yang menggunakan alat atau wahana bahasa daerah. Pada dasarnya sastra nusantara berakar dari kelisanan. Bagi sastra nusantara, hak cipta tidak terlalu penting karena pengarangnya sering kali tidak diketahui. Posisi sastra dalam masyarakat merupakan sebuah permainan yang diucapkan oleh petni, pedagang, dan segala elemen rakyat di massa itu.
Hal tersebut tentunya sesuai dengan hakikat sastra yaitu sehimpunan alat pengetahuan yang mendalam. “Jika ditelisik, sastra berasal dari sas yang artinya mendalam dan tra yang artinya pengetahuan!” tegas Prof Djoko. Sastra mengalami perkembangan menjadi susastra yang menambahkan unsur keindahan di dalamnya. Keindahan seorang pengarang sastra nusantara adalah kerendahan hatinya. Sastrawan nusantara selalu enggan disebut sebagai sastrawan dan selalu meminta maaf sebelum berasatra. Hal itu menunjukkan keindahan unggah ungguh atau sopan santun yang mengakar kuat dalam kesuastraan nusantara.
Setelah muncul sastra lisan, maka munculah sastra tulis. Semua budaya besar di Inonesia berasal dari tradisi baca dan tulis. Contohnya adalah sastra Jawa. Budaya Jawa yang mewujud dalam sastra Jawa, muncul melalui tulisan Ha Na Ca Ra Ka. Tulisan tersebut bahkan masih dikenal hingga sekarang. Punahnya sastra nusantara dalam bentuk tulis biasanya diakibatkan oleh bencana alam. Bencana bisa menyebabkan hilangnya kebudayaan dan tulisan yang pernah dibuat pada zamannya.
Menuju Sastra Indonesia
Tersebarnya sastra nusantara di berbagai penjuru nusantara menyebabkan tidak semua daerah memiliki kantung-kantung kesuastraan. Oleh sebab itu, Melayu hadir sebagai titik awal munculnya tonggak keusastraan sastra Indonesia. Sastra Indonesia dinyatakan hadir seiring dengan kemoderenan. Itu berarti kehadiranya diiringi persentuhan antara sastra dengan kolonialisme. Abdullah bin Abdulkadir Munsyi ditengarai sebagai salah satu orang yang turut ambil bagian dengan kemunculan sastra Melayu.
Seiring berjalanya waktu, orang Tionghoa yang berada di nusantara juga kerap kali menulis sastra. “Apabila diteliti, jumlah karya sastra yang dihasilkan oleh peranakan Tionghoa tidak lebih dan tidak kurang dari 15.000 eksemplar!” tegas Prof. Djoko. Selain peranakan Tionghoa, sastra Indonesia saat itu juga diwarnai dengan karya-karya peranakan Belanda. Ada Dick Hartoko, seorang anak administratur pabrik gula yang mendedikasikan hidupnya pada sastra di Indonesia. Masih banyak lagi para peranakan ini apabila mau diteliti oleh pemerhati sastra saat ini.
Warna-warni sastra peranakan tersebut nyatanya tak seindah kemunculannya. Kaum kolonialis tidak menyukai sastra yang ditulis oleh kaum peranakan ini, terlebih apabila sastra tersebut melemahkan posisi kolonial di mata masyarakat. Oleh sebab itu dibuatlah penyaring dengan nama Komisi Bacaan Rakyat. Komisi Bacaan Rakyat inilah yang nantinya didapuk sebagai cikal bakal Balai Pustaka. Kondisi ini menimbulkan perlawanan di kaum penulis. Salah satu penulis yang gigih adalah Tirto Adi Soerjo (TAS). Meskipun karyanya seringkali dilarang, tapi kegigihan TAS untuk menyuarakan kaum tertindas patut diacungi jempol. Di tengah hiruk pikuk konstelasi sastra tersebut, muncullah berbagai karya yang disadur. Karya saduran bukan hanya berasal dari Eropa, melainkan juga Asia Tengah, Asia Timur, dan Asia Barat.
Di kemudaian hari, ketika sastra Indonesia ini semakin dominan maka posisi sastra nusantara semakin tersisih. Namun yang terjadi saat ini adalah sastra Indonesia mendulang ilham dari sastra nusantara dan sastra nusantara lebih mengarahkan diri ke sastra Indonesia. Contoh kasus ini adalah novel Amba yang menggunakan pola Adiparwa yaitu Jawa-india yang diadaptasi daro Bisma Parwa. Hingga kini pola keterombang-ambingan.