Abdul Mukhid, penulis yang lama malang melintang di Kota Malang, baru saja meluncurkan kumpulan cerpen (kumcer) terbarunya pada Sabtu (07/02/2018) di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang (UM). Acara ini dikemas dalam bentuk bedah buku dan merupakan rangkaian kegiatan “Pekan Sastra dan Lapakan Buku Kota Malang #1”. Bedah buku dimeriahkan oleh penampilan Fatihatul Qoirot dari Tlogomas dan pembacaan cerpen oleh Rochi Machiano.
Buku yang diluncurkan oleh Mukhid ini bertajuk “Lelaki yang Mengandung Bidadari”. Cerita yang disajikan tergolong istimewa karena ditulis selama kurang lebih sepuluh tahun. Dalam kumcer tersebut, Mukhid mengumpulkan cerpen-cerpenya yang pernah ditulis sejak tahun 2006 hingga 2016. Beberapa di antaranya bahkan pernah memenangkan sayembara penulisan dan dimuat di media massa nasional. Oleh sebab itu, sudah layak dan sepantasnya apabila kumcer ini dibedah.
Pembedah kumcer dalam acara bedah buku tersebut adalah esais Wawan Eko Yulianto. Pria yang baru saja meraih gelar doktor dari Universitas Arkansas ini mengatakan bahwa cerpen-cerpen Abdul Mukhid ini didominasi oleh genre dongeng. “Ada kekuatan semacam hukum alam yang menentukan cerita!” ujar Wawan. Genre tentang dongeng sesungguhnya mulai nampak ketika pembaca disajikan judul pertama yaitu ‘Hanya Sebuah Dongeng’. Secara tidak langsung, beberapa pembaca bisa saja terbangun pikiranya untuk menganggap kumcer ini adalah sebuah dongeng.
Berkaitan dengan judul, Misbahul Amri, dosen Sastra Inggris UM mengatakan bahwa judul yang diberikan oleh Abdul Mukhid merupakan judul yang boleh diinterpretasi siapapun. “Karya yang bagus itu merupakan karya yang multi interpretasi” jelas Amri. Secara fisik, isi, dan pemilihan diksi pada judul, karya Abdul Mukhid adalah karya yang multi interpretasi.
Pada kesempatan itu, Abdul Mukhid tidak mau terlalu banyak memaknai bukunya. Dia benar-benar membuka ruang penafsiran bagi pembaca seluas-luasnya. Abdul Mukhid hanya mengatakan bahwa kumcer yang ada dalam bukunya merupakan irtenalisasi teknik bercerita. Beragam teknik bercerita yang telah diperolehnya langsung direkonstruksi menjadi sebuah cerpen, dan hasilnya ternyata maksimal. “Cerpen-cerpen yang saya tulis sejak 2006 yang ada dalam buku ini sesungguhnya adalah proses latihan saja, meskipun telah memenangkan sayembara dan dimuat di media,” pungkasnya dengan rendah hati.