Judul Buku : Samaran
Penulis : Dadang Ari Murtono
Editor : Rozi Kembara
Cetakan : Pertama, Februari 2018
Halaman : 199 halaman
Penerbit : Penerbit Mojok
Pusat cerita dalam novel ini mengambil tempat di Desa Samaran, sebuah desa unik yang seluruh rumahnya berdesain sama, terbuat dari kayu jati dan menghadap ke barat. Penduduknya mengenakan pakaian dari kulit kelinci dengan latar waktu beberapa periode setelah Raden Brawijaya wafat.
Berbagai macam peristiwa yang dirangkai di Samaran ini menjadi objek penulisan novel perdana dari Dadang Ari Murtono. Penulis ini lebih dikenal sebagai penyair melalui kumpulan puisi Ludruk Kedua (2017) beserta puisi-puisinya yang muncul di media. Kehadiran Samaran ini menguji kepiawaian dan ketangguhannya dalam menulis kisah panjang tentang sebuah desa dalam bentuk novel.
Narasi dalam novel ini dibangun dengan sangat padat. Peristiwa-peristiwa saling berhimpitan begitu rapat. Pembaca seperti diajak berlari dengan terengah-engah mengikuti gaya penceritaan yang cepat. Humor hanya ditebar di beberapa tempat, dan hanya menjadi pelengkap belaka. Namun, kepiawaian penulis dalam merangkai diksi kalimat mampu menahan pembaca untuk terus mencari tahu apa yang terjadi hingga akhir novel.
Novel ini membawa pembaca menuju sebuah labirin gelap penuh kisah tragis dengan kutukan sebagai pusat cerita. Sebuah kedung yang dapat dicium aromanya oleh seorang tokoh bernama Yati Gendut menjadi benang yang menjahit keseluruhan cerita dalam novel ini. Penulis membentangkan imajinasi tentang bau kutukan yang mirip dengan bau kematian.
“Ada bau karat besi, cacing kepanasan yang belum kering benar, bau bangkai ikan, mawar, kamboja dan entah apa lagi.” (hal. 13)
Dengan narasi seperti itu, novel ini menyodorkan apa yang disebut sebagai realisme magis. Dadang seakan menghadirkan sesuatu yang magis sebagai peristiwa keseharian yang biasa terjadi. Diramu dengan bumbu fantasi, kata-kata seperti kutukan, dukun, makhluk halus (laki-laki tua, macan dan buaya putih) menjadi titik tolak bagi Dadang untuk membangun dunia magis dalam novel Samaran ini. Novel ini menawarkan kisah-kisah beraliran serupa seperti One Hundred Years of Solitude karya Gabriel Garcia Marquez atau Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan.
Namun, Dadang tidak merasa cukup dengan dunia magis yang ia ciptakan. Ia berangkat lebih jauh dan ‘kejam’ dengan melaburi setiap tokohnya dengan peristiwa-peristiwa tragis seperti perselingkuhan, pengkhianatan dan pembunuhan. “Kisah realisme magis yang gelap” menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan isi kandungan novel ini.
Novel ini juga menjadi upaya bagi si penulis untuk merekontruksi beberapa peristiwa sejarah yang berhubungan dengan Kerajaan Majapahit. Tentang desa yang penuh dengan buah maja, tentang dukun sakti yang masih keturunan pengawal raja, dan tentang bagaimana Raden Brawijaya mengakhiri hidupnya. Sebagai penulis kelahiran Mojokerto, Dadang seperti mengalami kegelisahan untuk mencari tahu bukti otentik akan keberadaan Majapahit. Tak pelak, dalam novel ini, ia menggambarkan bahwa keraton Majapahit lenyap begitu saja untuk moksa bersama Raden Brawijaya menuju ke langit. Hal ini mungkin dimaksudkan si penulis untuk menyatakan bahwa sampai saat ini bukti reruntuhan keraton majapahit belum pernah ditemukan.
Nilai-nilai falsafah jawa yang bertaburan menjadi nyawa bagi novel ini dan dapat dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Diantaranya adalah fungsi ruang di rumah-rumah, bagaimana menjaga kelestarian Kedung Baya (nama sungai), cara memilih tempat tinggal dengan melihat kenyamanan buang air besar dan adat tata cara pernikahan seperti menginjak gerabah sebagai simbol penaklukan kesulitan.
Dalam diskusi tentang novel Samaran di Universitas Negeri Malang, Dadang menyatakan bahwa novel ini lahir dari riset yang mendalam tentang ludruk. “Novel ini lahir dari sisa-sisa penelitian saya tentang ludruk yang tidak masuk dalam kumpulan puisi saya (Ludruk Kedua). Fragmen-fragmen yang tersisa jika tidak digunakan maka akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu, saya menulis novel ini.”
Tak pelak, di bagian kedua novel ini, Dadang cukup lihai menggambarkan dengan begitu detail tentang sebuah grup ludruk yang berpentas di Desa Samaran. Ia sangat memahami ragam lakon ludruk, tingkah seniman dan aktor di atas panggung, tata desain panggung, properti yang digunakan aktor hingga sistem ticketing bagi para penonton. Dialog antara Bestir (pimpinan ludruk) yang memberitahu kepala kampung tentang ludruk dan segala ihwalnya menjadi bukti bahwa Dadang ingin memperkenalkan ludruk kepada pembaca masa kini yang semakin jauh dengan salah satu kesenian tradisional ini.
Walhasil, melalui novel Samaran ini, Dadang berhasil memadukan kisah magis, falsafah jawa, seni tradisional dan sejarah menjadi sebuah prosa yang patut untuk dibaca dan dinikmati.