Malam yang cerah di Sabtu malam (12/5) dipadati oleh puluhan pengunjung yang berdatangan hendak menyimak dan mengenal bagaimana sosok dari seorang Wahyu Prasetya, seorang penyair yang terkenal dengan ‘sikap keras kepala dan sosok dingin’nya. Acara yang diadakan dalam rangka mengenang penyair Wahyu Prasetya ini juga meluncurkan buku dwi-antologinya bersama Irawan Sandhya Wiraatmaja berjudul Literature Suara dari Hutan Jenar yang sebelumnya telah dilaksanakan di PDS HB Jassin oleh komunitas Dapur Sastra Jakarta.
Memperbincangkan sosok Wahyu Prasetya di dalam ‘Mengenang Wahyu dan Peluncuran Buku Puisi Literature Suara dari Hutan Jenar ‘ dipandu oleh Denny Mizhar sebagai moderator bersama kelima narasumber lainnya; yaitu Bu Dewi yang merupakan istri dari almarhum, Nanang Suryadi, Tengsoe Tjahjono, Akaha Taufan, dan Djoko Saryono.
Acara ini dibuka dengan liris oleh Han Farhani yang membawakan puisi-puisi Saut Situmorang dari albumnya yang berjudul Disebabkan oleh Saut yang sebelumnya telah diluncurkan di beberapa tempat di kota Malang maupun kota-kota lainnya di luar Malang. Selanjutnya, pembacaan teks-teks puisi Wahyu Prasetya yang terhimpun di dalam Literature Suara dari Hutan Jenar yang dibacakan oleh beberapa rekan sebelum acara berlangsung.
Denny Mizhar selaku moderator yang memandu acara ini, memulai pengalaman-persentuhannya dengan Wahyu Prasetya yang belum pernah bertemu secara langsung.
“Saya mengenal Wahyu pada tahun 2010, waktu itu Ragil Sukriwul yang mengenalkan saya dengan puisi-puisinya Wahyu. Saat itu kita membuat acara yang bertajuk ‘Membaca Wahyu’, dan acara ini pula yang menjadi penanda berdirinya komunitas Pelangi Sastra Malang.”
Dalam acara ini, para narasumber menceritakan pengalaman bagaimana selama bersentuhan-bersinggungan dengan sosok Wahyu Prasetya.
Akaha Taufan Aminuddin menceritakan bagaimana pengalamannya bersama Wahyu Prasetya ketika mengadakan acara yang bertajuk Kebangkitan Nasional I pada tahun 1994, lalu disusul Kebangkitan Nasional II pada tahun 1995, serta yang terakhir dan juga sebagai penutup karena saat itu Indonesia mengalami krisis moneter di tahun 1998, yaitu Kebangkitan Nasional II pada tahun 1996. Respon penyair di luar kota Malang yang mengikuti Kebangkitan Nasional I, II, maupun III cukup besar, karena pada saat itu, acara ini merupakan gerak perlawanan terhadap Jakarta. Hal ini pun diungkapkan oleh Wahyu Prasetya kepada Akaha Taufan, “Iki tradisi iki. Gak oleh penyair karbitan. Koyok penyair H2TA. H2TA iku penyair ‘hangat-hangat tai ayam’. Menjadi penyair itu enggak boleh main-main.”
“Enggak mesti penyair itu dibaptis di Jakarta. Karena penyair itu ternyata dibaptis dari bumi kita sendiri. Kalau kita lahir di Batu, berarti kita di Batu. Berkarya yang kuat, hebat, dan bisa menembus koran nasional. Mas Wahyu itu termasuk penyair yang enggak main-main,” ungkap Akaha Taufan lebih jauh tentang sosok Wahyu Prasetya.
Dilanjutkan oleh Nanang Suryadi menceritakan bagaimana pengalamannya bersama Wahyu Prasetya. Bagi Nanang Suryadi, sosok Wahyu merupakan guru yang sangat sadis. Nanang menceritakan pengalamannya ketika memberikan puisinya kepada Wahyu, lantas puisi tersebut dicoret dan dikatakan jelek oleh Wahyu.
“Proses belajar itu harus sama ahlinya dan saya merasa salah satu ahli puisi itu Mas Wahyu. Saya pernah diceritakan oleh teman, Mas Wahyu jika sedang menulis puisi, Ia langsung berhadapan dengan mesin ketik manual. Begitu menghadapi mesin ketik, jarinya langsung bergerak, lalu jadilah berapa-puluh puisi, dibaca oleh teman-temannya, semuanya kagum dan mengatakan bagus. Bukan dalam arti puisi yang instan, akan tetapi ini artinya pengungkapan dari pengendapan yang lama dari pengalaman-pengalaman yang telah hadir dari dalam dirinya dan muncul di dalam puisinya. Kalau kita baca memang luar biasa. Dalam skripsi saya, di bagian ucapan terima kasih, saya mempersembahkan dengan mengutip puisi dari Mas Wahyu yang kalau tidak salah berkaitan dengan mengantarkan anak-anak ke fajar. Kalau enggak salah judulnya itu Cincin Berlian untuk Dewi. Puisi itu sangat menyentuh,” ungkap Nanang Suryadi lebih jauh.
Berbeda dengan Akaha Taufan dan Nanang Suryadi, Tengsoe Tjahjono menceritakan pertemuannya pertama kali dengan Wahyu Prasetya bermula sejak tahun 1983. Saat itu, Tengsoe Tjahjono masih berstatus sebagai mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Malang. Tengsoe menjelas tentang sosok Wahyu yang baginya saat itu merupakan sosok yang silau (baca: luar biasa) karena telah menjadi seorang penyair, sedangkan dirinya sendiri saat itu masih baru memulai untuk belajar menulis.
“Wahyu menjadi luar biasa karena relasinya luar biasa. Pergaulannya dengan penyair di kota lain yang membuat bentuk ucapnya susah dicontoh ketika itu. Saya kali pertama bertemu dengannya ketika di bus menuju Yogyakarta. Saat itu ada lomba menulis puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa Yogya, yang salah satu panitianya yakni Bambang Widiatmoko. Kebetulan pada saat itu saya masuk lima besar dan saya diundang ke Yogya, Wahyu juga diundang pada waktu itu. Sebelumnya saya belum tahu wajahnya. Ketemunya saat di bus itu. Kalau melihat sosoknya, sosok yang seram. Ada tatonya, berperawakan tinggi besar, sehingga saya merasa semakin tidak ada apa-apanya ketika itu. Waktu itu kami tidur di rumah Bambang Widiatmoko. Saat itulah saya mulai mengenal dan bergaul dengannya, yang lebih dikenal dengan nama ‘Pungky’. Saya sering ke Hotel Serayu (hotel peninggalan orangtuanya), saya belajar banyak dengan dia. Dia kritik puisi saya, terutama pada ending puisi. Kata dia, puisi saya tidak memberikan kejutan pada bait terakhir. Itu masukan yang sangat baik, saya belajar dari situ, walaupun saya tidak mengikuti gaya puisinya. Akhirnya saya belajar membuat ending yang baik. Wahyu punya kebiasaan, setiap hari menulis puisi. Biasanya 20 puisi, walaupun biasanya yang matang hanya 2 puisi. Kata Wahyu, itu melatih untuk kesetiaan menulis, refleks estetika, refleks puitika. Eksplorasi Ia lakukan terus menerus. Wahyu ini sosok yang unik, dari penampilan dan gayanya, dulu banyak yang takut,” ungkap Tengsoe Tjahjono. Sebelum menutup pembicaraannya mengenai sosok Wahyu Prasetya.
Tengsoe Tjahjono mengungkapkan satu hal lagi bahwa pada tahun 1983 Ia sempat membentuk komunitas sastra di kota Malang, ketuanya adalah Wahyu Prasetya, sedangkan sekretarisnya adalah Ia sendiri. Komunitas itu bernama Lingkar Studi Sastra Malang yang saat itu berkantor di Sarangan, juga sempat mengadakan lomba menulis puisi, disponsori oleh Suara Indonesia, dan karya-karya yang lolos tersebut diterbitkan oleh Suara Indonesia.
Sebelum beralih menuju Dewi yang akan menceritakan bagaimana pengalamannya yang jauh lebih intim selama mendampingi Wahyu Prasetya selama 23 tahun sebagai istri, Denny Mizhar membacakan puisi yang dijadikan sebagai foto profil whatsapp oleh Dewi:
Dewi, mencintaimu seperti aku bernapas
Bagaimana aku bisa berhenti?
(Wahyu Prasetya)
“Wahyu memang adalah orang yang sangat total dalam berpuisi atau menjadi seorang penyair. Pernah saya bilang pada suatu hari, kenapa kamu memilih menjadi penyair? Penyair itu enggak ada duitnya, hidupnya susah. Tapi, dia hanya ketawa. Kalau di rumah tangga hanya mengandalkan honor puisi, gak usah hidup, saya bilang begitu. Lalu dia bilang ke saya, kamu yang sabar, kalau kuat menjadi istrinya penyair itu nanti masuk surga,” kenang Dewi sekaligus memecahkan tawa para pengunjung yang tengah khusyuk mendengarkan.
Dewi mengaku bahwa Wahyu Prasetya memiliki pribadi yang unik. Sosok yang sangar, badan penuh tato dengan kehidupan yang sangat ekstrim saat itu. Dewi mengungkapkan bahwa Wahyu sangat serius ketika menulis puisi maupun menjalani kehidupan sebagai penyair. Sebelum menyukai puisi, Dewi sangat membencinya. Hal ini ia ungkapkan yang pada waktu sebelumnya Ia tidak mengerti dan membenci puisi, pun ketika mencerima undangan pembacaan puisi. Dewi selalu marah dan Ia mengatakan bahwa dirinya sangat anti-puisi. Tetapi, Wahyu Prasetya menjadi suami cum penyair yang sabar dan tak pernah bosan menyodorkan puisi. Lama kelamaan, dari sinilah Dewi menjadi terbiasa oleh puisi, ditambah dengan Wahyu yang melatihnya bagaimana membedakan puisi yang baik dan buruk. Setelah itu, Dewi dan Wahyu bekerja sama menerjemahkan puisi-puisi asing; antara lain puisi William Bright, Dylan Thomas, Rumi, dan lain-lain.
Dewi pun sempat menceritakan fase kehidupan Wahyu Prasetya sebelum hijrah menjadi sosok yang lebih ‘benar’ lagi dalam artian tanda kutip.
“Selama overdosis, Wahyu terkapar selama satu setengah tahun. Saat itu kita sudah enggak memiliki apa-apa lagi, ditambah pula dengan dokter yang sudah angkat tangan karena darah yang keluar dari hidung dan telinga Wahyu. Hal ini terjadi kira-kira pada tahun 1997/1998 yang saat itu saya masih menganggap Wahyu adalah orang yang ber-Islam KTP. Lalu saya bilang ke dia, kamu minta ampun sama Allah. Dia bertanya, bagaimana caranya meminta ampun? Saya pun menjawab salat dan mengajarkannya bagaimana cara salat. Beberapa esok kemudian ketika kondisinya mulai membaik, saya mengajarinya membaca bismillah. Sampai sekarang ketika saya ditanya oleh teman-teman mengenai suami saya yang bisa sembuh, saya hanya bisa menjawab karena salat, walaupun banyak dari teman-teman yang enggak percaya. Tetapi, begitulah, semua karena salat. Setelah fase itulah akhirnya kami memutuskan untuk berhijrah dari Malang. Dari sini pula lah awal mula Wahyu bermetamorfosa. Dia mencari Tuhan. Alhamdulillah, pada tahun 2010 kami diizinkan menunaikan ibadah haji. Di depan Kakbah, dia menangis. Dia hanya meminta satu hal, Tuhan izinkan saya bisa mengaji. Sepulang dari tanah suci, suami saya tak pernah lagi meninggalkan salat. Ketika BNN meminta kesaksian kepada Wahyu tentang dirinya yang bisa sembuh, Wahyu menolak hal tersebut. Ia mengatakan bahwa Ia tak menjual masa lalunya,” kenang Dewi lebih jauh lagi yang menambah atmosfir-emosional semakin menyentuh hati pengunjung yang mendengarkannya.
Sebelum menutup pembicaraannya tentang sosok Wahyu, Dewi menjelaskan ketika pertama kalinya Wahyu memberikan gaji setelah berpuluh-puluh tahun be-rumah-tangga hanya memberikan honor puisi. Gaji tersebut didapatkan Wahyu dari pekerjaannya di rimba Muara Tewe. “Terima kasih kamu sudah sabar selama 23 tahun mendampingi saya dalam jatuh bangun susah senang kita selalu berdua,” ungkap Wahyu kepada Istrinya, Dewi sambil meneteskan air mata haru.
Malam semakin larut dan kedatangan Djoko Saryono lantaran keterlambatan langsung menceritakan pengalamannya mengenai sosok Wahyu Prasetya.
“Saya mulai mengenalnya pada tahun 1993-1994 sebelum dia ke Jerman. Bagi saya Mas Wahyu ini merupakan sosok Umar bin Khattab-nya penyair Indonesia. Ia meninggalkan kemewahan menuju jalan kefakiran-sufistik. Ketika semuanya kere, Wahyu ini enggak kere karena orang tuanya memiliki hotel. Tapi itu semua dia tinggalkan. Dia jual semuanya. Demi mencintai puisi, demi mencintai keindahan. Ia pernah mengalami proses mabuk, badannya penuh tato, lalu kemudian tatonya dihapus dengan setrika atau begitu rupa, saya kira itu adalah sebuah proses yang hebat. Saya selalu mengatakan tidak ada kupu-kupu yang hebat paling indah tanpa menjadi ulat yang menjijikkan. Kalau melihat dataran hidupnya ia sudah melewati tahap Kawah Candradimuka yang luar biasa,” ungkap Djoko Saryono.
Djoko Saryono juga menceritakan bahwa di dalam sejarah Sastra Indonesia terdapat lubang hitam yang tak sempat terekam-tertulis di dalam sejarah Sastra Indonesia. Pada tahun-tahun di mana rezim Orde Baru menerapkan petrus yang di mana orang-orang bertato ini pula yang menjadi korban. Hal inilah yang membuat Wahyu Prasetya kabur ke Jerman, dan di sana pula bertemu bersama Emha Ainun Nadjib.
“Jika Wiji Thukul memiliki kata kunci ‘Hanya ada satu kata: lawan!’, Wahyu pun memiliki kata kunci, ‘hanya ada satu kata: mabuk’. Mabuknya Wahyu mengalami transisi dari benar-benar mabuk whisky menuju mabuk kemanusiaan, lalu berakhir pada mabuk Tuhan. Ini adalah gambaran perjalanan hidup Wahyu Prasetya,” ungkap Prof. Djoko Saryono memungkasi perbincangan mengenang Wahyu Prasetya.
Acara ini pun ditutup dengan musikalisasi puisi Wahyu Prasetya yang berjudul Luka, dibawakan oleh Yuris dan Muh. Ilyas. Setelah itu pembacaan puisi oleh rekan-rekan pengunjung lainnya.
LUKA I
belum sembuh pedih
aku mesti rebah kembali
belum hilang nyeriku
aku terkubur kembali
ujung belati dan peluru di sela hari
menggurismu berulangkali
ujung kuku dan tinju di gelap hari
menghentakmu berulangkali
masih kurasa rintihan dalam petaka
masih kudengar jeritmu dalam kata-kata
dendam yang rebah
tanpa nisan dan singgasana.
(Berlin 1983)