Sebagai moderator yang memandu diskusi sore hari tersebut, saya menjadi orang yang sedang tidak patuh dengan waktu lantaran kerja dan jarak tempuh perjalanan menuju Kafe Pustaka—tempat berlangsungnya diskusi—menguras detik demi menit.
Ketika saya tiba, ternyata diskusi belum berlangsung. Untung saja masih ada waktu untuk ngopi dan ngudud hasil palakan rokok dari si calon pengantin baru di bagian lapakan buku reguler dan lawasan, serta mengamati Alfian Dippahatang yang berbelanja Badrul Mustafa.
Sembari menanti para pengunjung memenuhi ruang diskusi, Faris membacakan sebuah puisi (satu nomor pertanyaan) dari buku Manurung, dengan gaya petarungnya yang gagal menjadi penyair, lalu dilanjutkan dengan pembacaan ‘prolog’ dari saya sendiri, kemudian mempersilakan Faisal Oddang untuk duduk di hadapan para pengunjung, beserta Yusri Fajar yang bersiap menyampaikan pengalaman membaca Manurung-nya.
Tajuk acara ini ialah ‘bincang’, makanya saya memandu diskusi ini dengan cukup santai dan banyak gelak tawa. Mulanya, Yusri Fajar menyampaikan pengalaman membaca Manurung-nya dari sisi histori-epik yang sudah banyak dikemas ulang ke dalam sebuah karya, namun Manurung merupakan karya pertama yang dikemas ke dalam bentuk pertanyaan-puisi yang kritis. Pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya—dan barangkali tak. Manurung merupakan sumbangsih yang baik untuk khazanah puisi di Indonesia. Selanjutnya, Faisal menceritakan ihwal Manurung—yang bisa dibaca secara singkat melalui kata pengantar buku tersebut (silakan dibeli di toko terdekat) dan prosesnya selama mengikuti residensi di Belanda yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional pada tahun 2016.
Di saat diskusi sudah hampir menemui akhir waktunya, saya sempat bertanya kepada para pengunjung yang mengikuti diskusi tersebut, “Angkat tangan dong yang asalnya dari Makassar!” Ndilalah, hampir setengah dari seisi ruang mengangkat tangannya. Ini merupakan sejarah baru untuk penyelenggara acara Pekan Sastra; Pelangi Sastra Malang, yang mendapat kunjungan ramai dari mahasiswa asal Makassar di Kafe Pustaka.
Terakhir, sebelum saya menutup diskusi, saya mempersilakan Alfian Dippahatang untuk memberikan pengalaman intimnya bersama Faisal Oddang sebagai kawan dekat ihwal proses kreatif Faisal.
Semoga, di lain waktu, kita bisa memperbincangkan kelezatan coto di dalam Dapur Ajaib atau barangkali, tentang kematian di dalam novel barunya. Mungkin, suatu saat.