Bedah kumpulan cerpen “Perempuan Berkepang Kenangan” karya Sinta Ridwan dilaksanakan pada hari Senin tanggal 05 Februari 2018 bertempat di Kafe Pustaka Universitas Negeri Malang. Diskusi karya sastra ini diprakarsai oleh Pelangi Sastra Malang yang berkerja sama dengan Penerbit Ultimus Bandung. Dibuka pada pukul tujuh dengan petikan gitar Han Farhani dan alunan saxophone Uci, puisi-puisi Saut Situmorang membahana memenuhi kafe yang mulai sesak oleh audiens.
Didapuk menjadi moderator, Ahmad Fatoni membuka diskusi dengan memperkenalkan sosok penulis dan pembedah dalam acara bertajuk “Bincang Buku Kumcer Perempuan Berkepang Kenangan” itu. Para pembedah adalah Fitrahayunitisna (dosen sastra UB) dan Ahmad Junaidi (Pegiat Pelangi Sastra).
Fitrah memulai perbincangannya bahwa kumcer Sinta Ridwan adalah sebuah catatan perjalanan yang berbentuk fiksi. Narasinya berupa potongan-potongan laporan penelitian tradisi lisan yang akrab dengan mitos-mitos. Ia juga mengungkapkan bahwa unsur lokalitas dan kesederhanaan bahasa buku ini begitu kuat. Penulis seperti pendongeng yang menciptakan tokoh-tokoh seperti Nona Laut untuk mengajak pembaca bertemu dengan tokoh-tokoh tersebut dan menyelami setiap karakternya. Di akhir ulasannya, Fitrah juga menyelipkan beberapa catatan dan kritik mengenai kesalahan berbahasa yang ditulis oleh Sinta Ridwan.
Junaidi, sebagai pengulas kedua, menyukai cara penyampaian kritik ekologi melalui sastra yang tergambar melalui cerpen “Nona Laut” yang mencari kembali hubungan nelayan dan laut. Ia juga mengulas tentang romantisasi kenangan melalui simbol rambut sebagai saksi penantian akan seseorang yang dicintai.
Sinta Ridwan sebagai penulis menyatakan ingin mengungkap apa yang ia yakini dan apa yang ia gelisahkan. Pertama, tentang studi filologi (naskah kuno) yang minim peminat dan mahasiswa. Melalui karya sastra, dengan model penceritaan yang berbeda, ia ingin menceritakan hal-hal kuno dengan model yang diminati anak-anak zaman sekarang. Ia berucap dengan nada yang miris tentang regenerasi akan studi naskah yang sangat sedikit, profesor-profesor yang sudah tua dan mulai langka, museum yang terlalu protektif dan budaya pemujaan masyarakat terhadap benda kuno yang kelewat batas. Kedua, ia mengungkapkan tentang keyakinannya akan kesetaraan. Bahwa manusia (laki-laki dan perempuan), alam dan hewan memiliki derajat yang sama dan diperlakukan dengan sama pula oleh satu sama lainnya. Dan kumpulan cerpennya secara tegas merekam apa yang Sinta yakini.
Sinta juga tidak menampik bahwa apa yang ia tulis adalah rekam jejak perjalanannya karena ia mengungkapkan bahwa ia tidak bisa menulis cerpen hanya 100 persen bermodal imajinasi. Tulisannya harus berasal dari apa yang ia lihat dan hayati dalam kesehariannya. Ia juga bersyukur bisa menjelajahi beberapa tempat yang ia impikan dan merekamnya dalam cerita pendek.
Beberapa audien yang hadir pada malam itu juga mengutarakan hasil bacaan mereka terhadap kumpulan cerpen Sinta Ridwan.
Hal ini menawarkan alternatif kritik yang lebih kaya hingga membuat diskusi lebih gayeng. Asrofi menitikberatkan kepada simbol-simbol alam yang universal dan berlaku di banyak kebudayaan negara lain. Simbol-simbol universal itu berupa laut sebagai ibu, pohon sebagai ibu, rambut sebagai penjaga dan lainya. Lyla, seorang wartawan, mengkritik unsur didaktik (menggurui) dalam narasi kumcer walaupun ia menyukai ilustrasi-ilustrasi yang mengundang dan membimbing imajinasi untuk masuk ke dalam cerita yang disajikan penulis. Respon juga datang dari Wawan, dosen sastra, yang menyayangkan unsur perempuan dan feminis yang tidak banyak disinggung dalam perbincangan.
Buku kumcer “Perempuan Berkepang Kenangan” menjadi menarik karena ia adalah ramuan cerita perjalanan, mitos, kritik pendidikan, kritik ekologi dan reposisi perempuan yang diolah sedemikian rupa oleh Sinta Ridwan dalam karya fiksinya.