Judul: Katalogue
Penulis: Misbahus Surur
Penerbit: Pelangi Sastra
Tahun: Cet. Pertama, 2019
Tebal: viii + 178 hlm
ISBN: 978-602-54106-9-7
Acapkali membaca tulisan Misbahus Surur–salah satu esais produktif yang punya sampingan dosen itu–dengan terpaksa harus saya akui ia berhasil membuat saya kepincut. Bagaimana tidak, ia tak hanya lihai bermain diksi, tapi juga piawai memilin-milinnya lantas meledakkannya menjadi sebuah tinjauan yang berisi. Begitu juga dengan buku ini.
Bunga rampainya yang kedua ini berisi tentang esai, sastra dan resensi, baik yang pernah dimuat maupun disortir media. Ia melabelinya dengan sebutan: katalogue.
Hampir sama seperti buku antologi yang pertama “Trenggalek pada Suatu Pagi,” (Akademia Pustaka, 2017), penulis yang belum lama memutuskan keluar dari jamiyah kopitalisme karena alasan kesehatan itu, berhasil mengumpulkan lagi fragmen-fragmen catatannya menjadi “sekumpulan organisme.”
Kenapa saya sebut sekumpulan organisme? Sebab Misbahus Surur, dengan meminjam kacamata Barthes, menganggap bahwa teks memancarkan suatu desire. Tulisan adalah kamasutra-nya bahasa. Dan keintiman, tidak hanya selalu dibangun atas materi yang bernyawa, tetapi juga tak bernyawa (buku) (h. 137). Pun di kalimat yang terakhir ini saya tak sepenuhnya sepakat kalau buku dianggap sebagai sesuatu yang tak bernyawa. Sebab, selepas buku dilempar ke pembaca, sosok penulis, lengkap dengan berbagai cara pandang, interpretasi juga ideologi tetap bersemayam di dalamnya. Misal, tak sedikit orang membeli buku dengan dasar siapa penulisnya. Maka, the death of author-nya Barthes tak sepenuhnya benar.
Buku ini dikelompokkan menjadi dua bab: pertama, esai sastra; kumpulan esai-esai tentang sastra baik ulasan puisi maupun resensi novel yang rata-rata pernah dipubilkasikan di media massa nasional sejak tahun 2008-2018.
Kedua, esai buku; segerombolan catatan mengenai litera(k)si dan “perbincangan” tentang buku-buku. Lebih tepatnya, bagian ini berisi catatan-catatan ritmis dan “erotis”, buah dari persenggamaan intens dengan buku-buku. Dan semua esai di bagian ini juga pernah dimuat di media massa.
Satu hal yang paling saya ingat dari perangai Misbahus Surur: ia tipikal penulis yang selalu ragu-ragu menyatakan bahwa tulisannya sudah rampung. Saban kali ia merasa bahwa tulisannya sudah hampir selesai, saat itu juga ia semakin banyak menemukan hal baru. Dalam hal editing tambah parah lagi. Ia bisa berpuluh-puluh kali mengecek sebelum benar-benar yakin dikirim ke media massa. Setidaknya itulah sepenggal memori yang saya ingat saat masih ngangsu kaweruh dulu.
Namun, seperti pepatah lama: tiada gading yang tak retak, begitu juga dengan buku ini. Tanpa bermaksud berlebihan, buku ini terlalu bagus untuk sekadar diterbitkan menjadi bunga rampai. Seandainya, penulis bersedia agak susah payah lagi, buku ini bisa menjadi dua judul besar yang jika dielaborasi, dipermak, dan ditarik benang simpulnya, bakal menjadi buku “utuh” yang lebih ciamik.
But so far, buku ini tetap menjadi penanda bahwa peradaban baca-tulis (esai) dan geliat menulis buku masih belum sirna, kendati banyak akademisi berlomba-lomba hijrah ke artikel jurnal ilmiah yang ketat.