Kota-kota kecil atau yang kadangkala dikatakan sebagai kampung, kerap kali memiliki kesan tersendiri bagi tiap-tiap orang, begitu pun Raudal Tanjung Banua sebagai penulis buku kumpulan cerpen Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai, melalui kata pengantar dalam buku tersebut, ketertarikannya pada kota-kota kecil pertama kali hadir ketika Ia diajak ke pasar oleh ibunya, sebuah tempat yang ramai di kampungnya, lalu pada suatu hari, Ia bertemu dengan Invisible Cities karya Italo Calvino. Invisible Cities lah yang menegaskannya untuk bercerita perihal kota-kota kecil yang pada akhirnya, menjadi sekumpulan dalam sebuah buku yang berjudul Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai.Kota-kota yang Diangan dan Kujumpai justru campuran antara esai dan cerita pendek, padanya kita menemukan betapa data mentah yang berlimpah ruah berjalinan dengan luwesnya cerita
Namun, lain halnya dengan Invisible Cities dengan kota imajinernya dari catatan-catatan Marco Polo, Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai bukanlah kota yang hadir melalui imaji, tetapi kota ini benar adanya; mulai dari nama hingga beragam sesuatu di dalamnya. Menurut Sunlie Thomas Alexander dalam epilognya di buku tersebut, “Kota-kota yang Diangan dan Kujumpai justru campuran antara esai dan cerita pendek, padanya kita menemukan betapa data mentah yang berlimpah ruah berjalinan dengan luwesnya cerita. Dengan demikian, garis demarkasi antara fakta dan fiksi, laporan jurnalistik dan sastra, yang tadinya tegas dan distingsi, kini mencair. Bahkan batas-batas disiplin pun menjadi nisbi, sehingga banyak teks tak bisa lagi dikenali berdasarkan fesini yang ada apakah ia tulisan faktual atau fiksi, laporan perjalanan, kajian antropologi, traktat filsafat, ataupun karya sastra.”
Pada hari Rabu, 20 Februari 2019, komunitas Pelangi Sastra Malang berkesempatan menghadirkan Raudal Tanjung Banua dalam acara yang bertajuk Bincang Buku Kumpulan Cerpen “Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai”, yang juga menghadirkan, Yusri Fajar, sastrawan juga pengajar Sastra Inggris di Universitas Brawijaya, sebagai pembicara.
“Apa yang ditulis oleh Raudal sangat dekat dengan apa yang kita kenal sebagai sastra perjalanan,” ungkap Yusri Fajar mengawali penyampaian hasil pembacaan. Lanjutnya, “Saat ini kebanyakan tulisan perjalanan lebih pada gambaran rekreatif atau turistik sebagai tujuan-tujuan wisata. Raudal mengeksplorasi budaya, sejarah, ekonomi, serta arsitektur tempat yang dikunjunginya.
Ada tiga hal yang menjadi inti penyampaian Yusri Fajar dalam menyampaikan hasil pembacaannya atas Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai. Pertama, Raudal menghadirkan kota-kota di masa lalu dan kini. Kota-kota kerap mengalami dialektika antara masa lalu dan kini sehingga kita bisa menemukan komparasi atas kritik terhadap kondisi sekarang. Kedua, secara teknik penulisan, yang menarik dari cerpen-cerpen tersebut ialah memiliki sentuhan puitik. Tak seperti sebagai besar catatan-catatan perjalanan lainnya yang kerap alpa memasukkan unsur sastrawi juga membangun interteks atas teks-teks lainnya. Raudal juga menampilkan kritik atas ketimpangan di daerah tersebut, baik dari lingkungan maupun ekonomi. Tak hanya kesenangan berwisata dari sebuah kunjungan. Terakhir, Ketiga, melalui cerpen-cerpen yang terdapat dalam Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai, kita bisa mendapatkan gambaran ragam kota yang dikunjungi oleh Raudal Tanjung Banua melalui tulisannya.
Melalui Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai, kita dapat melihat apa yang terjadi pada kota-kota yang jarak tampak pada sebuah media. “Apa yang dalam buku ini merupakan upaya minimal agar kota-kota yang kecil pun dapat bersuara, sumber cerita tersebut melalui hasil pengamatan juga perbincangan bersama masyarakat sekitar,” ungkap Raudal. Yusri Fajar juga menambahkan bahwa dalam kumpulan cerpen Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai, pembaca tak akan menemukan konflik antar tokoh, melainkan konflik batin yang menghadirkan kegetiran atas ketimpangan yang terjadi pada kota-kota kecil yang dikunjungi Raudal tersebut.