Judul: Sang Pengoceh
Pengarang: Mario Vargas Llosa
Penerjemah: Ronny Agustinus
Penerbit: Penerbit OAK
Terbit: Cetakan pertama, Oktober 2016
Ukuran: 13×19 cm
Tebal: 374 hlm
ISBN: 978-602-72536-8-1
Suatu ketika, saya membaca sebuah buku dengan judul Metodologi Dekolonisasi yang ditulis oleh Linda Tuhiwai Smith, seorang aktivis yang berasal dari Suku Maori di Australia. Saya terbawa pada gagasan-gagasannya yang saya rasa cukup progresif dan revolusioner—mengingat Camus pernah merumuskan seorang revolusioner yang menginginkan segalanya atau tidak sama sekali. Smith dengan tegas memutarbalikkan sebuah perspektif tentang peradaban barat yang selama ini dipandang sebagai pembawa pencerahan. Ia memandang sinis itu semua karena dirinya adalah manusia dan sudah menjadi takdir ia mewarisi darah bangsa terjajah, yang dipandang oleh negara eks-penjajah belumlah menjadi manusia seutuhnya.
Melalui bukunya, Smith menawarkan sebuah determinasi bagi bangsa terjajah yang selama ini terus saja dibayangi kolonialisasi, baik secara subtil maupun eksplisit. Ia ingin menyadarkan seluruh masyarakat bangsa terjajah agar segala yang dibawa oleh barat sebaiknya ditelisik ulang mulai dari pengetahuan akademis, gagasan-gagasan, teknologi, seni budaya, hingga investasi-investasi yang semuanya bertujuan untuk kapitalisme barat itu sendiri. Tidak hanya itu, sejarah bangsa terjajah yang sudah dirumuskan oleh para penjajah di zaman dahulu juga ingin ia bongkar dan dekonstruksi. Ia ingin bangsa terjajah sendirilah yang merumuskan masa lalu dan masa depannya. Hal ini sangat dimaklumi mengingat Smith berpikiran jika para penjajah di zaman dahulu (dengan hasrat ingin tahu segala hal) hanyalah berpretensi telah mampu menyusun sejarah bangsa terjajah namun tidak sedikit pun yang mereka tahu kecuali secuil.
Jujur saja agak ngeri membaca buku ini ketika saya coba padankan dengan kenyataan yang ada. Rasa-rasanya tidak ada yang meleset dari analisa Smith. Praktik kolonialisasi, yang kini dirumuskan dalam post-kolonial, masih bercokol dan mengakar kuat di negara eks-jajahan (termasuk Indonesia). Semuanya gila impor. Sadar atau tidak, semuanya merayakan. Sedikit yang berpikir ulang. Mencoba menelisik mengapa kita menikmati segala yang ada, yang bersumber dari luar tanah ini. Kaum yang sedikit itu hanya bisa pasrah melihat arus modernisasi yang tak terbendung dari negara-negara adidaya. Kemudian, bagaimana sebuah dekolonisasi bisa tercipta? Itulah pertanyaan yang paling mungkin muncul bagi mereka yang sedikit.
Lalu datanglah seorang utopis, Saul Zuratas, dalam semesta Sang Pengoceh. Siapa ia? Ia lelaki berwajah buruk yang sering dihina oleh orang-orang yang berpapasan dengannya. Sebab tompel yang besar di wajahnya, ia memiliki julukan Mascarita (muka topeng). Perlakuan orang-orang yang merendahkan Mascarita membuat tokoh aku geram. Pernah suatu waktu tokoh aku memukul salah seorang pejalan kaki yang menghina wajah Mascarita. Perkelahian pun tak terelakkan. Uniknya, Mascarita malah memberikan surat kepada tokoh aku esok harinya. Surat itu berisi nasihat agar tokoh aku mau mengontrol emosinya karena bisa jadi amarahnya yang meledak itu dapat mengacaukan tatanan semesta. Yang lebih unik lagi, nasihat itu ia takik dari sebuah dongeng asli yang ia dapatkan dari Suku Amazon—Di awal novel, dirinya memang dikenalkan sebagai seorang mahasiswa etnologi yang sudah sering keluar masuk hutan demi mempelajari Suku Amazon.
Ya. Begitulah Mascarita atawa Saul Zuratas. Ia tidak pernah meledakkan amarahnya disebabkan hinaan-hinaan yang ia terima. Bukan ia tak mampu melawan. Di dalam novel, ia digambarkan sebagai tokoh yang memiliki tubuh jangkung dan besar. Ia bisa saja melawan. Namun tidak ia lakukan. Ia telah tercerahkan oleh ajaran-ajaran yang tersebar dalam komunitas Suku Amazon. Ia menjadi seorang lelaki yang asketik dan penyabar. Kemarahannya hanya ia tujukan untuk satu hal: humanisasi yang dilakukan oleh beberapa lembaga untuk Suku Amazon, yang menurutnya malah mencipta dehumanisasi.
Saya sadari betul jika Mascarita adalah seorang radikal. Ia menganut keyakinan jika tanpa peradaban yang dianggap maju pun sebuah komunitas suku tetap hidup dengan damai. Dengan mata yang mengisyaratkan keamarahan, ia bercerita kepada tokoh aku mengenai sebuah lembaga linguistik yang mencoba untuk mempelajari bahasa Suku Amazon dengan maksud menerjemahkan Kitab Injil.
Mascarita gusar. Dari semua upaya penyuluhan yang dilakukan oleh berbagai lembaga, nampaknya lembaga linguistik inilah yang paling berhasil mempengaruhi beberapa komunitas Suku Amazon. Mereka, lembaga linguistik itu, memegang kunci penting dari sebuah penghasutan: bahasa. Setelahnya adalah penjajahan pikiran, sebab bahasa berarti adalah ranah berpikir.
Lembaga ini mampu mencipta sebuah desa untuk Suku Amazon agar mereka tidak perlu lagi menjadi suku yang nomaden—Suku Amazon adalah suku pejalan. Inilah yang paling dibenci Mascarita, sebab pada akhirnya hutan yang tidak dihuni itu akhirnya ditebang dengan seenaknya. Dengan bertameng kemanusian, penjaga-penjaga hutan secara sukarelawan itu dipinggirkan dengan segala macam dalil.
Pada fase berikutnya, tokoh aku harus berpisah dengan Mascarita. Tokoh aku telah mengantongi pengetahuan perihal dendam Mascarita pada lembaga-lembaga yang mencoba mencerabut Suku Amazon dari hutan. Tokoh aku tidak lagi tahu kabar sahabatnya setelah itu. Mascarita menghilang begitu saja.
Puluhan tahun setelah berpisah, tokoh aku memiliki kesempatan untuk mendatangi desa-desa Suku Amazon yang sudah dikembangkan oleh lembaga linguistik. Dari segala informasi yang ia peroleh, ia mendengar kabar tentang seseorang dari Suku Amazon yang secara fisik seperti bukan dari suku asli. Ia bukan penghuni desa. Sesekali ia terlihat sekelebat. Ia dianggap bulenya Amazon. Orang itu sering terlihat bercerita untuk anggota suku lainnya tanpa pernah bisa diintip oleh orang dari luar suku. Perannya dalam komunitas diduga sebagai Sang Pengoceh.
Tugas ini ternyata cukup penting. Sang Pengoceh adalah seorang pencerita dan penyampai pesan bagi komunitas suku. Tidak hanya itu, ia memberikan spirit. Tak ada yang bergerak ketika Sang Pengoceh sedang bercerita. Semua khidmat mendengarkan. Seolah-olah tersihir.
Pada akhirnya, segala tanda yang ada di dalam novel, memastikan pembaca untuk menentukan si bule Amazon itu ialah Mascarita. Ia menghilang dari peradaban dan memilih menjadi Sang Pengoceh dalam komunitas Suku Amazon. Tindakan terakhir yang ia lakukan dalam novel ini ialah ia mampu kembali membakar jiwa pejalan bagi para warga desa Amazon dengan ocehannya—yang terlampau nyaman tinggal di sebuah desa namun hati mereka merasa gelisah.
Decak kagum dan heran pada tokoh aku terhadap pilihan Mascarita menutup novel Sang Pengoceh. Mascarita akhirnya memilih menjadi seorang anggota suku ketimbang bersinar dalam peradaban modern. Ia bisa saja menjadi etnolog yang mumpuni. Di bidang akademisi ia sudah sangat disegani oleh dosen-dosennya. Tetapi ia tinggalkan itu semua. Ia tahu bahwa ilmu pengetahuan yang ada di dalam lingkup akademisi hanya akan menjajah pemikiran dan menciptakan dehumanisasi-dehumanisasi baru. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh universitas hanya memberikan penghargaan kepada para peneliti tanpa pernah membawa dampak yang baik bagi yang diteliti kecuali perusakan dan penguasaan.
Sungguh irasional membayangkan seorang Mascarita dalam dunia nyata meski sebenarnya sudah banyak antropolog-antropolog yang akhirnya memilih menjadi anggota komunitas suatu suku di kehidupan nyata. Meski di kenyataan sudah ada, A.S. Laksana pernah berkata jika keabsurdan di dalam kenyataan sudah biasa terjadi; namun dalam fiksi, keabsurdan harus terbangun melalui logika cerita. Ini mungkin yang menyebabkan Llosa tidak menempatkan Mascarita sebagai tokoh aku. Llosa memilih Mascarita sebagai tokoh yang tindak-tanduknya diceritakan. Keheranan dari perspektif tokoh aku membuat pembaca bisa menerima keabsurdan dalam semesta fiksi yang terbangun.
Kembali ke Smith dan Dekolonisasi, memang aksi Mascarita terlampau radikal dan individual. Smith menganjurkan aksi yang lebih bersifat masif untuk mengusir penjajah sampai ke akar-akarnya. Namun demikian, Mascarita menunjukkan sebuah cara memperlakukan atau memandang sebuah komunitas suku. Secara eksplisit, Mascarita memandang jika mereka juga manusia dan cara menghumanisasinya adalah dengan tidak menganggap mereka sebagai bukan manusia. Dengan mempelajari suatu komunitas suku dengan utuh dan menjadi bagian dari komunitas, itulah yang diinginkan oleh Smith dalam bukunya menjadi kongkret. Mascarita membantu saya memahami itu.