Penulis: Royyan Julian
Penerbit: Dewan Kesenian Jawa Timur
Tahun Terbit: November 2015
Tandak merupakan kumpulan cerita yang memegang teguh pemaknaan tanpa berpretensi menceramahi. Keberanian mendekonstruksi tokoh menjadi kekuatan lain buku ini. Pada halaman terakhir buku, termaktub catatan tebal berbunyi, “Cerpen-cerpen pada Tandak merupakan kumpulan cerita (kumcer) yang padu serta (bahkan) mencapai pesan penulisan yang full makna.” Perlu digaris bawahi pernyataan “full makna” yang berarti dalam buku karya Royyan Julian, pemenang sayembara penulisan cerpen Dewan Kesenian Jawa Timur, ini, setiap cerpen memiliki makna tersendiri.
Ada pesan yang hendak disampaikan. Pernyataan itu juga sesuai dengan kaidah sastra, yaitu dulce et utile: menghibur dan bermanfaat. Sastra dijadikan sarana perenungan. Sarana kontemplasi yang di ilhami dari kisah fiksi yang lalu diteruskan dalam kehidupan nyata.
Prof Dr Djoko Saryono MPd, guru besar sastra Indonesia Universitas Negeri Malang, mengatakan, ketika kepercayaan tak lagi mampu mengajarkan nilai-nilai kebaikan, sastra adalah solusinya. Beberapa orang justru menjadi tercerahkan hidupnya, menjadi berubah haluan setelah membaca karya sastra yang bermakna.
Seturut dengan lontaran Djoko, Tandak merupakan karya yang memegang teguh pemaknaan. Dan pelajaran hidup yang coba diejawantahkan melalui kisah-kisah para tokohnya. Tapi, Tandak sama sekali bukan kumcer yang berpretensi menceramahi. Penulis seolah mengajak pembaca menelusuri belantika tanah Madura yang keras, penuh dengan keberanian, tapi juga segar dalam pelajaran. Juga menarik pembaca untuk masuk lebih dalam menyingkap tabir sosial masyarakat Pulau Garam. Dekonstruksi Tokoh Salah satu kekuatan dari cerpen ini adalah keberanian untuk mendekonstruksi tokoh-tokoh penting yang ada dalam masyarakat. Hitam tidak selamanya hitam dan putih tidak selamanya putih. Itulah ungkapan yang disampaikan sastrawan Mashuri ketika mengomentari penokohan Tandak.
Beberapa tokoh yang dianggap suci dan termasyhur namanya antara lain sosok kiai, oleh penulis didekonstruksi menggunakan gaya penceritaan yang berbeda. Dikisahkan dalam cerpen berjudul Tandak, ada tokoh bernama Kiai Bahrawi. Dia dituliskan sebagai tokoh yang sok suci. Tapi, pada suatu senja, setelah meng ajar mengaji, dia sempat menggerayangi seorang santri perempuan yang bertugas menggulung tikar pengajian (halaman 163). Penggalan kisah tersebut oleh penulis sengaja ditampilkan untuk melihat realitas yang ada. Bahwa gelar, jabatan, dan status sosial seseorang bukan prasyarat mutlak untuk menilai kearifan akhlaknya. Cerpen Tandak yang dijadikan judul kumcer memiliki panjang halaman lebih banyak daripada cerita lain (halaman 155–205). Tapi, kuantitas isi itu oleh penulis diimbangi dengan kualitas dan kedalaman. Cerpen Tandak memang sengaja di dedikasikan untuk kisah-kisah yang mengutamakan kedalaman dari pada batasan halaman. Penulis dengan leluasa ingin mencurahkan segala kegelisahan serta hasrat bersastranya dalam cerpen yang hanya dia sendiri yang mampu membatasi kecukupan penceritaannya. Selain cerpen yang bernuansa kultural dan lekat dengan kearifan lokal, Tandak menampilkan cerpen-cerpen berbau poskolonial. Cerpen berjudul Biografi Pohon Sidrah (halaman 12), Calon Menantu Tuan Duyvens (19), Bulan Mandi Darah (29), dan Barisan (58) merupakan contoh-contohnya.
Tidak semua cerpen disajikan dengan melankolis, romantis, dan men cengangkan. Ada juga cerpen yang ditutup dengan menggelikan. Kisah tersebut dapat ditemui dalam cerpen berjudul Calon Menantu Tuan Duyvens. Kisah tentang kesakralan keperawanan dalam pernikahan merupakan tema yang dimainkan dengan kocak oleh penulis sehingga mampu menghadirkan gelak tawa di akhir cerita. Melalui tokoh, tema, dan kebahasaan, pembaca diajak menangkap makna yang seutuhnya tersirat, bukan tersurat. Pelajaran yang dialami para tokoh sebaiknya menjadi pengilhaman tersendiri bagi pembaca agar tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.
Royan selaku penulis mengatakan, ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam proses kreatifnya. Salah satunya adalah memodifikasi cara kerja orientalis aliran Edward Said. Cara kerja orientalis merupakan cara kerja yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi tanpa adanya pembelaan dari tokoh-tokohnya. Celah itulah yang nanti perlu diperdalam lebih lanjut. Sekaligus memberikan pelajaran bagi para penulis lain agar mau dan mampu berinovasi dalam menciptakan tokoh. Tidak hanya mengeksploitasi tokoh yang merepresentasikan masyarakat. Tapi juga mampu menghadirkan sebab musabab mengapa tokoh tersebut berperilaku demikian. Ada justifikasi yang dilakukan tokoh terkait posisinya dalam sebuah cerita. Sama halnya dalam kehidupan bermasyarakat, setiap orang pasti punya alasan menjadi hitam atau menjadi putih.
Pernah dimuat di Jawa Pos, 20 Desember 2015