Brawijaya Nyangking Buku. Itulah gelaran buku dan panggung diskusi akhir September dan awal Oktober lalu di kampus Brawijaya Malang. Mentereng, kampus papan atas dijadikan nama. Padahal, penyelenggaranya adalah panitia dari Fakultas Ilmu Budaya. Sembilan hari penuh, buku-buku dibentangkan membingkai panggung yang tepat berada di depan FIB, yang juga tepat di samping kanan gedung rektorat UB.
Sejujurnya, ini bukanlah gelaran buku murni yang diniatkan untuk berjualan atau membincang tema-tema literasi serius. Tidak ada EO perbukuan yang menggerakkan. Tidak dari perpustakaan, tidak dari komunitas buku, tidak juga dari organisasi ikatan penerbit yang gagah itu. Ini adalah gelaran buku yang ‘diselipkan’ dalam rangkaian acara Dies Natalis FIB UB Ke-9. Buku-buku hadir dalam pesta ulang tahun yang biasanya lekat dengan kesenangan berfoya. Terasa aneh, tetapi justru di situlah menariknya, kesenangan perut dialihkan pada kesenangan otak. Buku yang awalnya lekat dengan ‘kesepian’ menjadi turut bergembira bersama bertambahnya umur penyelenggara.
Dies Natalis tingkat fakultas mengangkat wajah melek literasi kampus. Merupakan tanda fakultas yang sadar pada jati diri civitas akademika. Pendidikan dan penelitian, tentu saja bertalian erat dengan barang yang disebut buku. Pengabdian yang kemudian dilakukan, seharusnya tidak kosong, ia mesti dilandasi pada nalar kuat. Dan buku adalah barang yang mengikat sumber-sumber penalaran. Buku dicangking alias ditenteng oleh orang-orang kampus, di mana-mana, ke mana-mana.
Senyampang dengan itu, gelaran ini benar-benar bersahabat anatara penyelenggara dengan para pelapak buku. Forum Pelapak Buku Malang, yang ikut memeriahkan, tidaklah pusing memikirkan biaya sewa tempat dan sederet tagihan. Semua sudah disediakan oleh penyelenggara. Pelapak hanya menyumbang sekian buku untuk dijadikan koleksi anyar perpustakaan fakultas. Sebab, begitulah semestinya, fakultas tidak mencari uang. Ia mencari titik temu antara kelemahan para mahasiswa dalam membaca dan berdiskusi dengan kekuatan sumber refrensi dan semangat para pelapak buku. Harga wajar pada buku-buku tidak perlu dinaikkan demi menutup pengeluaran, sehingga pembeli dan pembaca sama-sama bergembira. Malah, di tiga hari terakhir para pelapak sempat menyumbangkan beberapa buku untuk dijual dengan harga bebas yang seluruh hasilnya untuk disumbangkan pada korban gempa di Palu dan Donggala. Syahdu, kemanusiaan lebih tinggi daripada logika dagang apalagi kejar omset yang tidak seberapa.
Tidak hanya buku. Deretan diskusi didengungkan setiap hari. Mulai dari media massa, bedah karya sastra, hingga budaya popular. Sayangnya di sinilah muncul karakter asli para mahasiswa kiwari. Tidak jarang diskusi sepi. Sepi dalam artian peserta yang hadir, juga sepi dalam artian dinamika tema-tema yang dibincang. Lebih mirip disebut parade ceramah para pembicara, dan pertanyaan normatif syarat sah sebuah diskusi. Aduhai.
Kemenyatuan para mahasiswa dengan setiap acara diskusi tidak terlihat. Padahal tema-tema selaras. Wacana-wacana yang dilempar gagal ditanggapi bahkan hampir gagal ditangkap. Ini memang tugas berat pembawa acara setiap diskusi di era generasi milenial hari ini. Ia tidak hanya memandu jalannya diskusi, tetapi harus mengerti wacana terbaru dari para pembicara yang biasanya menjulang tinggi dan menjadi jembatan bagi para mahasiswa miskin wacana yang biasanya terperosok menyedihkan.
Brawijaya Nyangking Buku adalah wahana informal bagi para mahasiswa untuk mendekat pada tradisi keilmuan, dimulai dari buku, dijajaki dengan membaca runut. Ia selayaknya bisa mengantikan kebiasaan menenteng gawai, menjadi intim menenteng buku. Teks-teks remeh media sosial ditepikan, digeser teks-teks bernas dari lembar-lembar buku. Obrolan tidak penting, sedikit direcoki dengan obrolan yang mengharuskan pikiran diluruskan.
“Tidak ada buku baru atau buku lama, yang ada kita belum membacanya”. Begitulah jargon salah satu pelapak. Buku yang sudah berpindah tangan dari pelapak ke pembeli, ditenteng entah tangan kanan atau kanan kiri, entah disandingkan dengan gawai atau tidak, pada akhirnya ia harus dibaca.
Bila begitu, tentu saja muncul harapan, diskusi menjadi dinamis dan menyenangkan. Sama-sama menyenangkannya dengan perayaan ulang tahun. Sama-sama menyenangkan dengan para pelapak yang bukunya laku. Sama-sama menyenangkan dengan pembeli buku dari dalam maupun luar kampus yang menemukan buku incarannya. Tapi, aduhai, itu hanya harapan. Ini memang zaman yang berat.
Tapi penyelenggara sudah memilih selipan yang tepat, para pelapak sudah melakukan yang bisa dilakukan. Ini barangkali muara besar para pelapak buku Malang sekian tahun bergerak. Bagaimana buku-buku di kota Malang bergerak. Dari lapakan ke lapakan. Tentu saja selain toko buku besar, serta dua pasar buku Wilis dan Velodrome. Buku-buku senantiasa berpindah tempat. Sejak Kenduri Literasi di kafe Pustaka UM tahun 2016, para pelapak buku lalu ‘diundang’ untuk melapak di berbagai tempat gelaran acara. Buku dijadikan ‘peramai’ atau ‘pemanis’ sebuah acara. Meski seringkali gagal sebab tidak menemukan pembeli sekaligus pembacanya. Brawiajaya Nyangking buku berhasil menjadi labuhan yang cukup bagus. Meski tidak sempurna.
Komunitas sastra luar kampus, pers mahasiswa kampus, dan peminat perbukuan bergairah. Segala kekurangan semestinya ditambal oleh para pelakunya masing-masing. Tingkat melek literasi meningkat, tingkat perbincangan wacana meningkat. Para pelapak buku guyub rukun. Buku-buku bacaan ringan laris, buku-buku bacaan berat lalu juga lambat laun ditekuni. Buku-buku terus bergerak. Semua bergembira.
Siapa tahu, kampus lain (atau fakultas lain) membuat gelaran yang lebih maju dalam memperlakukan buku dan parade diskusi. Pelapak bersemangat. Buku-buku dihadirkan semakin melimpah. Penerbit buku memproduksi wacana-wacana dan karya-karya anyar. Pembaca bertambah luas. Muncul penerbit-penerbit baru di kota Malang. Syukur-syukur, Malang punya gelaran buku besar. Bisa Malang Nyangking Buku atau apalah nanti namanya. []