Judul Buku : Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan
Penulis : Steve Crawshaw & John Jackson
Penerjemah : Roem Topatimasang
Tahun : I, November 2015
Halaman : xiv + 261 hlm
Penerbit : INSISTPress
Sudah ada terlalu banyak heroisme dalam sejarah. Buku-buku memberi tahu kita betapa dahsyatnya perjuangan Lenin dalam Revolusi Bolshevik 1917 di Rusia; atau bagaimana bergeloranya demonstrasi akbar di Lapangan Tiananmen pada tahun 1989. Sementara itu, televisi akan terus memutar kisah agung Leonidas dan ketiga ratus prajurit Spartanya melawan gempuran invasi imperium Persia; juga lemparan sepatu al-Zaidi kepada George W. Bush junior, penjahat perang yang awal milenium ini menginvasi Irak.
Kisah-kisah epik itu bukannya tanpa masalah. Narasi-narasi besar tentang heroisme meniscayakan naiknya seorang figur, sang juru bicara, ke atas panggung sejarah—kita tentu tahu di sana ada nyala lampu sorot dan derai tepuk tangan berkepanjangan. Itu artinya: semangat perlawanan yang muncul darinya kian susah dipisah dari hasrat terhadap ke-pahlawan-an—siapa yang tak ingin jadi sehebat dan sebesar Leonidas, Lenin, atau Che Guevara? Artinya lagi: alih-alih merancang perlawanan yang kontekstual dan konsisten, orang bisa jadi lebih berhasrat untuk sekadar menjadi figur—si penerima sorotan dan tepuk tangan di atas panggung itu. Ini tentu mengaburkan makna perlawanan. Pada akhirya, siapa jadi lebih penting daripada apa dan bagaimana; simbol perlawanan lebih besar daripada perlawanan itu sendiri.
Di hadapan masalah seperti itulah buku Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan menjadi penting dibaca. Jika segala epik ke-pahlawan-an ibarat berhala-berhala Namrud maka buku ini, bagi saya, tak ubahnya Ibrahim yang meruntuhkan semua berhala itu—dengan kata lain: ini adalah sebuah ikonoklasme tanpa ampun. Karya kolaborasi Steve Crawshaw dan John Jackson ini juga merontokkan berhala heroisme lainnya: pakem bahwa perlawanan haruslah berupa tindakan berskala besar, yang revolusioner itu adalah gagasan besar. Kisah-kisah yang ditulis Crawshaw dan Jackson—duet jurnalis dan aktivis kemanusiaan internasional—menjungkir-balikkan semuanya.
Buku setebal 275 halaman ini terbagi dalam 15 bab. Tiap babnya berisi 4-5 cerita perlawanan dengan pola dan bentuk berbeda—berasal dari lintas benua dan lintas masa. Dari bab pertama hingga terakhir, seperti tadi saya bilang, kita tak akan menemukan cerita akbar yang dilakukan para figur (memang ada satu cerita tentang Muhammad Ali tapi yang Ali lakukan di cerita itu pun sungguh sepele). Kisah-kisah dalam buku ini memuat tindakan-tindakan biasa, tindakan kecil sehari-hari, yang dilakukan oleh orang-orang biasa. Meski sepele, kisah-kisah itu justru memberi kita makna baru atau perpspektif alternatif tentang perlawanan.
Secara umum, tindakan-tindakan kecil dalam buku ini mengingatkan saya pada apa yang Graeber sebut sebagai protest dan civil disobedience.¹ Dalam bab-bab awal, misalnya, kita akan menemukan kisah-kisah pembangkangan sipil yang sepele, agak lucu, tapi sukses membuat rezim tiran kalangkabut; mulai dari pembangkangan warga Świdnik di Polandia yang memilih membawa televisi mereka jalan-jalan pakai kereta bayi ketimbang harus nonton siaran propaganda rezim komunis yang mereka benci, aksi cuci bendera nasional berjamaah yang dilakukan masyarakat Peru sebagai bentuk protes atas ‘kotor’nya pemerintah mereka yang korup, hingga kisah legendaris Cassius Clay alias Muhammad Ali yang lebih memilih kehilangan gelar juara dunia tinjunya daripada harus mengikuti wajib militer untuk berperang ke Vietnam (sebuah negara yang warganya pun bahkan tak memanggil Ali sebagai negro!). Ada juga bentuk protes unik tapi klasik: para istri di Sudan dan Kenya bersatu menolak berhubungan seks agar para suami mereka berhenti terjun dalam perang saudara dan mulai memikirkan perundingan damai (sebuah gerakan perlawanan yang jauh lebih efektif daripada semua basabasi diplomasi lembaga-lembaga perdamaian internasional).²
Ada satu kisah menarik tentang Jan Rensaleer, seorang insinyur teknik industri, yang menolak instruksi untuk menyetrum orang lain dalam sebuah penelitian rekayasa di Connecticut pada awal tahun 1960-an.³ Penolakan Rensaleer memang tampak sepele dan jelas tidak heroik. Tapi, di hadapan kenyataan bahwa nyaris semua orang mematuhi instruksi amoral itu, ketidakpatuhan Rensaleer tampak sebagai perlawanan yang esensial. Ia teguh mempertahankan nilai luhur kemanusiaan: bahwa kita tak bisa membenarkan improper violence hanya karena ia terlegitimasi instruksi—sekalipun dalam rekayasa. Sementara itu, dalam keseharian, kita bisa dengan mudahnya menemukan pembenaran umum—baik lewat persetujuan frontal maupun sikap diam—terhadap penggusuran, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan.⁴ Jelas, kita butuh lebih banyak orang seperti Reensaler.
Selain itu, hal lain yang membuat buku ini menjadi penting adalah nama penerjemahnya: Roem Topatimasang. Roem bukan orang sembarangan. Ia telah puluhan tahun hidup dalam dunia pergerakan dan terlibat dalam banyak sekali pengorganisasian rakyat di banyak tempat. Satu karya klasiknya yang terbit pada 1998, Sekolah itu Candu, masih terus dicetak hingga saat ini—antologi pamflet-kritis yang satu itu sangat mempengaruhi cara pandang saya tentang dunia pendidikan. Ia juga menerjemahkan dan mengeditori banyak sekali buku bertema gerakan rakyat. Kalau anda membaca Sekolah itu Candu dan/atau buku-buku Roem lainnya, anda tak akan berpikir Roem menerima buku sembarangan untuk diterjemahkan.
Sebagai penerjemah, Roem juga memberi kata pengantar untuk buku terbitan INSISTPress ini. Kisah-kisah dalam buku ini, menurut Roem dalam kata pengantarnya, adalah bahan belajar yang sangat baik untuk memahami perubahan sosial secara esensial. Di kata pengantarnya itu, Roem menulis:
Perubahan sosial sesungguhnya bukan hanya soal mengganti rezim kekuasaan politik dan ekonomi, melainkan juga soal keberanian dan ketegaran mempertahankan ruang dan cara-cara kehidupan yang mampu membendung segala bentuk kerakusan dan kepongahan kekuasaan—termasuk kekuasaan budaya—yang selalu memaksakan kehendaknya sendiri.
Bagian itu menghentak kesadaran saya. Roem, sebagaimana juga buku ini, membuyarkan bayangan heroik kita semua tentang perlawanan sebagai semata gerakan antirezim. Ia menyibak kabut tebal heroisme dan menyuguhkan kita pandangan yang lebih jernih tentang perlawanan: usaha mempertahankan kelestarian kehidupan. Dalam pandangan itu, perlawanan ini jelas bersejalan dengan pelestarian akal sehat.
Dari situ, saya jadi bertanya-tanya: di tengah menjamurnya gerakan-gerakan bernapaskan kutipan puisi Wiji Thukul—hanya ada satu kata: lawan!—apa yang sebenarnya kita lawan sekarang ini? Apakah kita hanya hendak melawan penguasa tapi diam-diam menerima kekuasaannya? Jika orang bisa sebegitu berhasratnya menghentikan iring-iringan mobil presiden untuk menyampaikan protes; apakah mereka juga memiliki hasrat untuk menghentikan destruksi insignifikan dalam laku sehar-hari? Jika kita sangat ingin menurunkan wali kota korup dari jabatannya; bisakah kita juga menurunkan jumlah limbah plastik-sekali-pakai yang kita produksi setiap hari?
Dan, tak kalah pentingnya: apakah semangat perlawanan kita hanya mengarah ke luar atau juga ke dalam? Sebab, musuh yang harus kita lawan mungkin bukan cuma rezim tiran atau hal-hal besar yang ada di luar diri kita. Barangkali, musuh terbesar yang mendesak kita taklukkan justru adalah diri sendiri: diri dengan hasrat-hasrat heroik penuh “ajakan perubahan” yang gencar dikotbahkan pada orang lain tapi abai kita lakukan sendiri; diri penuh waham. Bagaimanapun juga, kesuksesan gerakan perlawanan tidak melulu diukur berdasarkan kemampuannya menumbangkan satu dunia besar yang bobrok tapi juga ditakar dari ikhtiar intensnya memugar satu dunia kecil dalam diri.
¹ David Graeber, seorang antropolog anarkis yang menulis Direct Action: An Ethnography, membagi 3 bentuk tindakan perlawanan lewat ilustrasi berikut: jika di kampungmu tidak punya pipa dan air karena walikota dan pemilik air swasta memonopoli kepemilikan air; jika anda berdiri di depan rumah walikota itu namanya “protest”, jika anda memblokade rumah walikota itu namanya “civil disobedience”, tapi “direct action” adalah anda membuat pipa sendiri dan mencari air sendiri. Maka itulah anarkisme.
² Taktik ini diterapkan secara harfiah dari kisah klasik Aristophanes. Dalam kisah itu, disebutkan bahwa Lysistrata mengajak para perempuan mogok seks untuk menghentikan Perang Peloponnesia yang berkecamuk di Yunani pada abad 5 Sebelum Masehi.
³ Selama tahun 1960 sampai 1963, sebuah penelitian uji coba diselenggarakan di New Heaven, Connecticut. Peserta penelitian, yang dipilih secara acak, akan diminta berperan sebagai guru dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada orang lain yang berperan sebagai murid. Sang Murid didudukkan di kursi listrik dan Sang Guru akan diminta menekan tombol setrum jika Sang Murid salah menjawab pertanyaan. Asisten peneliti yang mendampingi menegaskan bahwa Sang Guru terbebas dari tanggung jawab apa pun jika terjadi hal-hal tak diinginkan pada Sang Murid. Penelitian yang dipimpin oleh Stanley Milgram dari Universitas Yale itu resminya, “Dinyatakan sebagai penelitian tentang sifat alamiah dari ingatan manusia.” Namun, penelitian itu sebenarnya adalah rekayasa soal kepatuhan (orang-orang yang berperan sebagai Sang Murid pun adalah aktor-aktor terlatih yang, dengan sangat meyakinkan, berpura-pura mengerang kesakitan). Tujuannya: menguji sejauh mana atau bagaimana warga awam menerima instruksi untuk menyiksa bahkan membunuh orang lain yang tak dikenal. Hasilnya: 65% peserta yang berperan sebagai Sang Guru menekan tombol setrum sampai daftar pertanyaannya tuntas. Jan Rensaleer adalah satu dari sedikit sekali peserta yang menolak menekan tombol setrum sejak awal. Rensaleer , meski hanya melakukan penolakan sepele, berada dalam medan perlawanan yang sama seperti Muhammad Ali yang menolak panggilan wajib militer ke Vietnam.
⁴ Sejarah Indonesia dibanjiri darah korban kekerasan yang terlegitimasi oleh negara; mulai dari genosida pasca-G30S 1965, aneksasi Timor Timur sejak tahun 1975 hingga 1999, pemberlakuan Daerah Operasi Militer di Aceh, hingga yang baru-baru ini teradi di Papua. Kekerasan-terlegitimasi-negara juga meliputi penembakan-penembakan misterius (Petrus) pada tahun 1970-an, penyiksaan dan penghilangan aktivis pada akhir tahun 1990-an (dua kasus paling menonjol: pembunuhan Marsinah dan hilangnya Wji Thukul), dan berbagai konflik agria serta penggusuran lahan masyarakat adat atas nama program pembangunan.
Bahan tulisan ini disampaikan saat #TadarusBuku pada tanggal 27 Mei 2018 di Griya Buku Pelangi Sastra.
#TadarusBuku adalah kegiatan rutin komunitas Pelangi Sastra Malang saat bulan Ramadan.