Penerbitan karya terjemahan belum menunjukkan gelagat akan surut. Bagaimana mungkin akan surut kalau sebagian besar penduduk Indonesia bukanlah penutur bahasa Inggris atau Spanyol atau Prancis atau Arab, sementara masih banyak karya sastra asing bagus yang belum diterjemahkan dan tetap banyak penulis asing yang terus menghasilkan karya-karya bagus. Maka, penduduk yang sangat suka baca dan selalu mengharapkan bacaan itu masih akan tetap menjadi pasar bagi dunia penerbitan yang ingin mengenalkan (atau meraup keuntungan dari menjual) karya-karya sastra asing. Dan seiring meningkatnya budaya membaca di Indonesia, kemugkinan besar penerjemahan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia akan terus, atau bahkan meningkat. Kecuali kalau tiba-tiba prosentase penutur bahasa Inggris atau bahasa asing yang lain di Indonesia ini meningkat drastis berkali-kali lipat. Nah, di tengah tren yang seperti ini, di tengah makin banyaknya karya baru yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia ini, apa menariknya sebuah buku terjemahan karya-karya sastra yang bukan baru? Saya di sini mengacu ke buku kumpulan cerpen terjemahan berjudul Kekasih yang Tak Bahagia karya “lima penulis perempuan dunia” buah terjemahan a elwiq pr (selanjutnya saya sebut Mbak Donik) ini? Setidaknya saya punya tiga alasan untuk merayakan buku ini, yang menurut saya semestinya bisa menjadikan kita pembaca yang bahagia.
Pertama, buku ini adalah kumpulan karya-karya sastra terjemahan tapi penerjemahnya dengan sadar hadir dan tidak melesak ke balik buku. Dari pengantar terjemahan, kelihatan bahwa penerjemahnya sendiri sejak awal hadir sebagai kurator yang memiliki pendapat mengapa karya-karya ini perlu untuk diperkenalkan ke pembaca yang lebih luas. Ada pertanyaan tentang mengapa tokoh-tokoh ini dihubungkan dengan feminisme. Salah satu kalimat pertama dalam pengantar buku ini berbunyi: “Mengapa setiap perempuan yang menulis, mengangkat bukan hal yang manis-manis laiknya tabiat yang diingini dari seorang perempuan, lalu dikategorikan feminis?” (v). Dan pada bagian menjelang akhir pengantarnya, Mbak Donik mengatakan “… pada gilirannya karya-karya [lima penulis perempuan ini] memang menggelitik para (aktivis) feminis untuk tak hanya meributkan situasi dan posisi lelaki dan perempuan, tetapi lebih pada olah rasa dan pikiran mengenai kemanusiaannya sebagai perempuan” (xiii). Maka perlulah kita sadari, penerjemah ini sudah ketahuan punya agenda. Di sini, tampaklah bahwa penerjemah tidak hanya mengalihbahasakan sebuah teks yang sudah jadi, tapi sebelumnya dia membaca, melihat fenomena, mengumpulkannya, dan menyajikannya. Kalau kita ngomong perkembangan budaya manusia, Mbak Donik ini penerjemah yang bukan hanya berburu, tapi juga meramu.
Kedua, kalau kita masuk ke dalam kumpulan cerita pendeknya itu sendiri, kita tahu bahwa cerita-cerita ini memang berwarna-warni dan punya keragaman yang tinggi. Ini berhubungan dengan agenda Mbak Donik di atas. Cerita-cerita oleh perempuan yang dianggap feminis itu ternyata tidak hanya membicarakan kesengsaraan perempuan yang tertindas karena relasi jender yang tidak seimbang. Untuk menunjukkan keragaman cerita ini, biarkan saya sajikan premis-premis dari cerita ini. Saya harap kita semua menyadari bahwa sebuah premis (yang hanya satu kalimat ini) tidak akan bisa merangkum keindahan sebuah cerita–tapi setidaknya kita akan bisa tahu apa yang ingin disampaikan oleh cerita itu. Cerita pertama, “Kekasih yang Tak Bahagia” karya Marguerite de Navarre bercerita tentang betapa sengsaranya seorang lelaki yang mencintai perempuan tapi kandas karena lingkungan sosial menghalangi cintanya. Mungkin, untuk zaman sekarang, seorang lelaki yang hidupnya merana hingga sakit karena cinta itu akan kita anggap cengeng. Orang mungkin juga akan bilang bahwa kalau cerita semacam itu ditulis, mungkin dia tidak akan menjadi sebuah karya yang dianggap “Sastra.” Tapi, untuk awal abad ke-16 di Prancis, papda masa Renaisans Sastra Prancis, ketika kebanyakan kisah yang beredar adalah dongeng tentang petualangan dan kegagahan kesatria (atau istilahnya Chivalric Romance), kisah-kisah yang menyasar kehidupan cinta yang nyata dan diawaki oleh karakter lelaki yang bisa merana karena cinta seperti ini tampak menonjol dan tidak biasa (Romeo and Juliet karya Shakespeare yang fenomenal itu baru muncul di Inggris pada akhir abad tersebut). Dan lagi, penulisnya ini seorang perempuan, di masa ketika dunia tulis menulis itu adalah dunia lelaki (tentu saja ini tidak berlaku untuk Jepang, yang pada abad ke-11 sudah punya novelis cerita domestik terkenal Murasaki Shikibu).
Sementara itu, cerita kedua yang berjudul “Rumah Angker” karya Virginia Woolf terbilang paling unik (dan pendek). Cerita ini berkisah tentang hantu-hantu penghuni rumah yang terdengar kasak-kusuk mencari harta karun. Sebenarnya cerita ini tidak mudah untuk diikuti dan tidak biasa. Kisah berkutat pada kasak-kusuk hantu yang tidak jelas. Narator cerita pun tidak jelas siapa. Tapi yang jelas si narator mengetahui gerak dua hantu, laki-laki perempuan, yang sedang mencari sesuatu. Baru belakangan kita tahu bahwa ada seorang perempuan bangun dari tidurnya dan melanjutkan omongan si hantu dan mengatakan apa sebenarnya harta karun yang mereka cari itu. Inilah twist cerita tersebut. Kenapa begitu? Akhir cerita ini menunjukkan bahwa dalam diri setiap orang terdapat satu cahaya yang berharga, yang bahkan hantu pun mencari-carinya. Kisah yang tak biasa ini merupakan satu perwujudan dari gaya “alur kesadaran” yang dipopulerkan dalam dunia sastra oleh Virginia Woolf dan James Joyce (yang hidup semasa). Di sini, benda-benda yang ada di dalam rumah seperti hidup dan memiliki ceritanya sendiri karena–agaknya–si narator mengindera objek-objek itu dalam keadaan setengah tidur atau hampir terjaga. Teknik “alur kesadaran” ini, yang menjadikan cerita bergerak secara tidak standar seperti ini, kelak oleh teoretikus post-strukturalis Prancis seperti Helene Cixous sebagai “tulisan feminin.”
Cerita ketiga, berjudul “Perempuan yang Ingin Baik,” adalah satu cerita yang menurut saya akan selalu relevan dan kian relevan hari ini. Kisah ini kira-kira berpremis bahwa tidak mudah bagi seorang perempuan untuk hidup sendiri dan melakukan apa yang diinginkannya–dan premis tambahannya adalah bahwa tidak mengenal adalah pangkal dari masalah prasangka dan stereotipe. Di sini, seorang perempuan yang di kota dianggap biasa saja di desa tidak biasa karena tampak berbeda (memakai topi berjambul, jaket bulu cerpelai, dan sebagainya). Dia dicurigai baik oleh laki-laki maupun perempuan. Yang laki-laki merasa tidak nyaman karena ada perempuan yang dianggap tidak senonoh yang dirasa akan mengganggu kenyamanan (membuat istri mereka gusar), dan yang perempuan tidak nyaman karena takut suami mereka tergoda. Ada satu adegan di cerita ini yang sangat simbolis, yaitu ketika seorang tokoh lelaki, Suami Bau Kencur, menyapa si perempuan Blanche Devine dan si perempuan membalas sapaannya dan bahkan membawakan kue. Sayangnya adegan ini gagal terjadi. Padahal kalau terjadi kan mestinya sangat bagus. Ini simbolis karena agak dekat istilah “breaking the bread” yang dalam kisah tentang Yesus adalah tanda ketika seseorang itu sudah saling pengertian. Nah, hal tersebut tidak terjadi. Banyak permasalahan saling tuduh dan saling olok di dunia maya ini (terutama sekitar Pemilu 2014 terjadi karena kita tidak saling kenal). Dan istilah “tak kenal maka tak sayang” pun hari ini hanyalah klise yang kian membosankan karena ujaran ini hanya dipakai sebagai pengantar sebelum seseorang memperkenalkan diri sebelum presentasi atau pertemuan. Kisah inilah yang sebenar-benarnya “tak kenal maka tak sayang.”
Masih ada dua cerita lagi yang bisa kita bicarakan, tapi alangkah lebih baiknya kalau saya persilakan Anda sendiri membacanya. Yang jelas, dua cerita terakhir adalah cerita yang bisa dibilang saling berlawanan tapi juga saling melengkapi. Cerita “Menembus Gorong-gorong” karya Doris Lessing bercerita tentang seorang ibu yang berjuang dengan dirinya sendiri untuk membiarkan anak lelakinya yang berusia 11 tahun untuk menjadi bocah yang mandiri dan dewasa. Sementara cerita yang terakhir “Anak laki-laki dan Anak Perempuan” bercerita tentang bagaimana jender (atau jenis kelamin sosial) seorang perempuan dikonstruksikan oleh lingkungan. Kalau kita ngomong feminisme, mungkin dua cerita inilah yang paling menonjol terlihat seperti tulisan feminis.
Dengan cerita-cerita seperti ini, yang memang tidak hanya menggambarkan tentang hubungan antara laki-laki dan perempuan tapi lebih sebagai pengalaman hidup perempuan, tidaklah salah apa yang dikatakan oleh Mbak Donik. Tapi, perlu dimaklumi bahwa ujaran Mbak Donik di awal dan akhir pengantar ini bisa berpotensi negatif juga. Di satu sisi, ujaran tersebut mau tak mau membuat kita tergoda untuk melihat cerpen-cerpen ini dalam kaitannya dengan gagasan kesetaraan jender. Mungkin, akan lebih baik kiranya kalau kita pembaca tetap membebaskan diri dan menjadikan pemilihan berdasarkan gagasan feminisme ini sebagai satu alternatif saja, bukan satu-satunya. Dengan begitu, kita bisa menggunakan cara pandang lain saat membaca cerpen-cerpen ini. Sebagai misal, untuk cerpen yang kedua, kita bisa bebas menafsirkan cerita dalam cerpen ini sebagai keliaran imajinasi seseorang yang berada dalam keadaan antara tidur dan terjaga. Dalam keadaan begitu, kita bisa menganggap bahwa cerpen “Rumah Angker” ini adalah sebuah cerpen yang berhasil menangkap keliaran imajinasi kita, yang merupakan kemampuan para prosais modernis, yang berhasil menangkap “stream of consciousness” itu. Begitu juga dengan cerpen ketiga, kita bisa membacanya sebagai satu persoalan relasi antara laki-laki dan perempuan, tapi yang paling tampak di depan mata, ini adalah persoalan prasangka buruk.
Sekarang, tibalah kita pada persoalan ketiga, yaitu terkait pemilihan penulis untuk kumpulan tulisan ini. Ada yang kiranya perlu dipertimbangkan untuk ditingkatkan dari pengumpulan ini. Di satu sisi, adalah bagus bahwasanya Mbak Donik memilih penulis-penulis dengan berbagai gaya ungkap dan dari masa-masa yang cukup beragam. Kita merasakan cerpen dari masa Renaisans Sastra Prancis pada Marguerite de Navarre, ada Sastra Inggris periode Modernis pada karya Virginia Woolf, ada karya Edna Ferber yang menggarap tema-tema dari masa awal abad ke-20 di Amerika dengan ketegangan antara desa dan kota, ada kisah Doris Lessing yang tuwuk traveling dalam hidupnya, dan terakhir adalah Alice Munro yang berlatar pedesaan Kanada yang berupa kisah frontier (hidup di ujung peradaban). Pilihan ini menarik karena mampu menunjukkan berbagai pilihan lokasi dan masa. Mestinya tidak mudah untuk menjatuhkan pilihan yang sebisa mungkin menunjukkan sikap adil dan mewakili. Tapi “mewakili” adalah satu hal yang jauh dari kata mudah, apalagi mewakili “penulis perempuan dunia.”
Untuk itulah perlu ditanyakan: tepatkah pemilihan label “kumpulan cerpen lima penulis dunia” di sini? Urusan “dunia” seperti dalam istilah persoalan yang pelik sejak lama. Pengakuan seorang penulis sebagai “penulis dunia” itu tak bisa dilepaskan dari klaim politik dan keunggulan, dan seringkali seseorang mudah menjadi penulis dunia karena dia menulis dalam bahasa Inggris, yang memungkinkannya tertangkap oleh perhatian pembaca. Padahal, banyak penulis yang bagus dari berbagai penjuru dunia yang tidak tertangkap radar. Tapi, di masa yang nyaris tak terbatas dengan berbagai pilihan sumber informasi ini, saya menganggap setidaknya ada beberapa elemen yang semestinya disertakan dalam kumpulan ini untuk menjadikannya lebih sah lagi untuk disebut sebagai kumpulan cerpen penulis perempuan dunia. Yang pertama, kalau masih memilih wilayah geografis yang sama (Eropa-Amerika), setidaknya bisa dipertimbangkan menambahkan penulis-penulis dari ras non-kulit putih. Memasukkan penulis-penulis perempuan “native American” seperti Louise Erdrich, atau penulis Afro-Amerika seperti Zora Neale Hurston, atau penulis imigran asal Asia Selatan seperti Bharati Mukherjee akan berpotensi meningkatkan keterwakilan “dunia.” Atau, kalau ingin diperluas dengan zaman dan letak geografis yang lebih beragam, bisa juga mempertimbangkan memasukkan penulis-penulis dari Asia atau Afrika, misalnya Murasaki Shikibu yang dianggap sebagai penulis novel pertama berjudul Genji Monogatari atau Kisah Pangeran Genji. Atau, bisa juga dipertimbangkan menyertakan penulis Timur Tengah seperti Hoda Barakat dari Lebanon, atau dari Afrika Utara kita bisa mengajak Asia Djebbar, yang berasal dari Aljazair. Meningkatkan cakupan seperti ini berpotensi untuk lebih memperluas pengalaman keperempuanan, sehingga tidak hanya pengalaman perempuan kulit putih di Eropa dan Amerika.
Namun, tentu saja hal-hal semacam ini tak lebih dari sekadar saran yang bisa diberikan setelah sudah ada sesuatu yang hadir di meja kita–yaitu buku itu sendiri. Dan seperti biasanya, tidak ada buku yang sebegitu sempurnanya sampai tidak bisa diberikan saran lagi, kan? Mungkin saran-saran mengenai keterwakilan dan inklusivisme penulis dalam buku ini akan menjadi satu pertimbangan bagi penerbit Pelangi Sastra Malang saat mencetak ulang buku ini kelak. Mungkin dengan begitu buku ini tidak akan setipis sekarang, dan bisa dijadikan semacam sampel kecil karya-karya sastra oleh perempuan dari berbagai penjuru dunia dan waktu. Tapi tentu saja bukan untuk dijadikan pegangan seperti ensiklopedia. Bagaimana pun, cerpen-cerpen ini adalah karya fiksi, sebuah dunia rekaan, betapapun dia dekat dengan kenyataan. Dunia fiksi tetap hasil penyaringan kenyataan oleh pikiran seseorang. Maka, meskipun pikiran seseorang tersebut sangat terpengaruh oleh latar sosialnya, apa yang dihasilkan oleh pikiran itu bukanlah kenyataan, dan tidak perlu dianggap sebagai kenyataan. Hasil pikiran tersebut layak dipikirkan, dipertimbangkan, dan kalau ada kebenaran di dalamnya, bisa kita bicarakan dan bahkan dijadikan sebagai pendukung untuk amatan kita atas realitas. Di situlah uniknya berhubungan dengan karya sastra, dia selalu bisa disentuh, tapi tidak pernah bisa ditangkap. Tapi, hubungan seperti ini tentunya tidak akan menjadikan kita “Kekasih yang Tak Bahagia.” Justru kita lah kekasih yang berbahagia karena terus bermain-main dengan tanpa takut hubungan kita membeku.