Bonsai (Edith Tiempo)
Semua yang kucintai
Aku lipat sekali
Dan sekali lagi
Agar pas masuk kardus
Atau diselipkan dalam bis surat
Atau dalam sepatuku.
Semua yang kucinta?
Tentu sementara saja—
Atau seterusnya, atau keduanya.
Sesuatu yang mudah dilipat dan disimpan,
Surat dari anak atau dasi murahan ayah,
Gambar foto seorang ratu,
Selendang India warna biru,
Bahkan selembar uang kertas.
Inilah sesungguhnya sublimasi,
Prestasi, kemampuan hati ini
Untuk selalu
Memperkecil cinta
Hingga dapat digenggam
Sampai kerang-kerang itu hanya serpihan
Dari gigi-gigi Tuhan yang cemerlang
Dan hidup serta cinta adalah
Hal-hal nyata yang bisa
Kau jalankan dan
Serahkan
Kepada anak semata wayang.
*diterjemahkan dari bahasa Cebuano
Edith L. Tiempo adalah salah seorang penyair, prosais, pengajar dan kritikus sastra terbaik yang pernah dimiliki Filipina. Dia menulis dalam bahasa Inggris. Karya-karyanya dikenal memiliki paduan yang seimbang antara gaya, substansi, teknik, dan wawasan. Puisi-puisinya merupakan transfigurasi verbal yang mendetail atas pengalaman-pengalaman penting, sebagaimana tercontohkan dengan baik pada dua karyanya “The Little Marmoset” dan “Bontai.” (diterjemahkan dari situs Silliman University)
Tidak Semua Yang Jatuh Akan Turun (Adonis Durado)
Bayangkan kawanan burung yang terbang
membuang kotoran di balik awan tebal di atas langit
Apa yang akan terjadi dengan kotoran mereka?
Akankah meluncur utuh
ke atap?
Atau musnah,
Seperti bintang jatuh, yang hancur lebur jauh sebelum
Mencapai telapak tangan kita yang menengadah?
Mungkin tak semua yang jatuh akan turun
Tak semua proyektil punya target –
Segala yang lepas dari tangan (Atau jatuh dari langit)
tak perlu mendarat di mana pun.
Penerjun payung itu hanya beruntung
diselamatkan atap, seperti layangan
yang terjerat tiang listrik;
Buah mangga yang terhempas dari tangkainya;
Hujan yang menetes dari lubang di atap
pada kaleng bekas berkarat—semua ini
mematuhi hukum fisika.
Tapi di manakah (jika benar ada) gelakmu terpelanting
Saat kita melompat sambil cekikikan di atas sumur tua?
Nama-nama dan kata-kata yang sudah kabur dari kenangan:
Ke manakah semua itu pergi?
(Serupa anak yang bertanya:
Angin, yang juga membawa kotak makan siangnya,
bertiup ke mana, jika tidak tertelan gerhana?)
Dan siapa yang berani menjamin cincin
Yang tergelincir dari jarimu dan
Melompat ke ombak itu,
barangkali masih turun,
hingga tiba di kedalaman entah?
Kini, aku ingin percaya
Jiwa-jiwa pasangan kekasih yang meloncat dari tebing itu
Masih terapung-apung entah di mana,
Melayang-layang di udara.
Adonis Durado adalah penyair, ilustrator, desainer grafis Cebuano. Dia lulusan jurusan Seni Rupa University of San Carlos, Filipina. Dia sudah meraih beberapa penghargaan sastra, termasuk penghargaan bergengsi Emmanual Lacaba Prize utuk puisi berbahasa Cebuano. (diterjemahkan dari Goodreads.com
Gerilyawan itu Seperti Penyair (Jose Maria Sision)
Gerilyawan itu seperti penyair
Gemar gemerisik dedaunan
Patahnya reranting
Riak air sungai
Aroma api
Dan abu keberangkatan.
Gerilyawan itu seperti penyair.
Ia telah menyatu dengan pepohonan
Semak-semak dan bebatuan
Ambigu namun jitu
Paham betul hukum gerak
Dan menguasai berbagai citra.
Gerilyawan itu seperti penyair.
Berrima dengan alam
Ritme lembut daunan hijau
Keheningan batin, keluguan lahir
Teguh membaja dalam keanggunan
Yang menjebak musuh.
Gerilyawan itu seperti penyair.
Dia bergerak dengan gelombang alam
Dalam semak yang membara dengan bunga merah
Yang memahkotai dan mengobarkan semangat
Menerjang medan bagai banjir
Hingga akhirnya berderap
Menuju benteng musuh.
Lihatlah tema abadinya
Gelombang kekuatan tak kunjung habis:
Epik rakyat, perang rakyat.
Jose Maria Sison dikenal sebagai penyair radikal yang menjadi tahanan politik rezim Ferdinand Marcos. Dia pernah menjadi dosen sastra Inggris di University of the Philippines. Dia dipenjara selama sepuluh tahun dan menulis satu jilid penuh puisi-puisi yang tidak hanya membahas tentang nasibnya selama di narapidana, tapi juga keteguhan pandangan politiknya. Sison bisa dianggap sebagai tahanan politik paling penting selama masa darurat sipil di Filipina. Sison pernah belajar bahasa Indonesia di Jakarta pada tahun 1962 dan kembali untuk mengajar di Manila. (diterjemahkan dari situs josemariasison.org)