Judul: Pemilin Kematian (Cerpen)
Penulis: Dwi Ratih Ramadhany
Penerbit: Pelangi Sastra
Tahun: 2017, Ceatakan Pertama
ISBN: 978-602-74629-5-3
Satu di antara sekian isu yang muncul dalam kumpulan cerpen Dwi Ratih Ramadhany, Pemilin Kematian (2015) adalah pertarungan antara pihak yang mengeruk kekayaan bumi dengan oknum yang berdiri pada sisi konservasi alam. Pihak pertama diwakili oleh lembaga korporasi, sedangkan oknum kedua adalah karakter-karakter yang memiliki kualitas feminin dan merasa menjadi bagian dari—apa yang disebut Aldo Leopold dalam A Sand County Almanac (1949) sebagai—komunitas biotik. Maka wacana tersebut dapat didedah dengan nomenklatur ekofeminisme.
Setidaknya terdapat tiga cerpen yang mengangkat konflik ekofeminisme dalam Pemilin Kematian, antara lain “Janda Sungai Gayam”, “Biaju Direngkuh Rengas Sungai Kahayan”, dan “Mangsen”. “Janda Sungai Gayam” adalah cerpen yang paling zahir menampakkan adanya relasi intrinsik antara perempuan dengan alam. Ratih, tokoh janda dalam cerpen tersebut, digambarkan sebagai sosok yang memiliki sensibilitas komunitas biotik. Ia adalah perempuan yang mempunyai keintiman dengan pohon gayam, sungai, dan bahkan dengan entitas gaib.
Adegan sadis dalam fragmen “Mereka mulai mengepung Ratih dan menyeretnya ke bibir sungai. Rambut panjangnya dijambak semena-mena dan kulit mulusnya dicakar dalam-dalam. Dengan segala upaya Ratih meronta dan berlari ke tengah sungai. Ia menangis sejadi-jadinya” paralel dengan ratapan seorang kepala suku Indian Smohalla yang dikutip Brian Easlea dalam Science and Sexual Oppression (1981): “You ask me to plough the ground: shall I take a knife and tear my mother’s bosom? You ask me to cut grass and make hay and sell it and be rich like white men; but how dare I cut off my mother’s hair?” Di sini ditunjukkan bahwa opresi terhadap perempuan adalah kata lain dari eksploitasi terhadap alam atau sebaliknya. Dalam cerpen tersebut, Ratih bersinonim dengan pohon gayam atau pada asosiasi yang lebih makro, ia adalah Terra Mater itu sendiri. Maka tak heran jika para pelaku kekerasan terhadap Ratih (dan atau alam) diberangus oleh kekuatan misterius (bencana) Sungai Gayam yang James Lovelock (2007) sebut sebagai “revenge of Gaia”.
Baik cerpen “Biaju Direngkuh Rengas Sungai Kahayan” maupun “Mangsen” secara eksplisit/implisit menekankan perhatian pada soal eksploitasi alam yang dilakukan oleh korporasi. Di sini, karya Vandana Shiva, Staying Alive (1988) bisa digunakan sebagai kaca pembesar untuk meneropong isu yang dibincangkan kedua cerpen tersebut. Dalam buku itu, Shiva mengkritik habis-habisan kapitalisme sebagai lanjutan dari proyek kolonialisme dengan mengatasnamakan angin surga “development”. Baginya, apa yang disebut sebagai development pada hakikatnya adalah maldevelopment, sebab kapitalisme telah menancapkan kuku monsternya untuk menghancurkan ekosistem demi—apa yang disebut Naomi Klein dalam This Changes Everything (2014) sebagai—“brutal money”. Untuk melegitimasi perusakan terhadap alam, kapitalisme menjalin perselingkuhan setan dengan sains modern, sebab keduanya memiliki basis ideologi gender yang sama, yakni patriarki.
Uniknya, Tapang, karakter dalam “Biaju Direngkuh Rengas Sungai Kahayan” yang memiliki perhatian terhadap konservasi alam bukanlah seorang perempuan. Shiva mencatat, “In this non-gender based philosophy the feminine principle is not exclusively embodied in women, but is the principle of activity and creativity in nature, women and men.” Artinya, Tapang yang berjenis kelamin laki-laki juga memiliki kualitas feminin karena ia telah menunjukkan kepeduliannya terhadap alam.
Bertolak belakang dengan Tapang, gadis-gadis dalam “Janda Sungai Gayam” justru memiliki tendensi maskulinitas destruktif yang oleh Mary Daly dalam Gyn/Ecolgy(1978) disinggung sebagai perempuan yang beraliansi dengan sistem falosentris nekrofilia. Gadis-gadis yang kulitnya melepuh lantaran salah pakai buah gayam itu adalah representasi perempuan masa kini yang gandrung terhadap kosmetik (arsenik yang meracuni tubuh) dan aksesoris (diproduksi oleh pertambangan yang menghancurkan lingkungan). Jadi, dalam cerpen-cerpen tersebut, wacananya bukan lagi kontestasi antara laki-laki dengan perempuan, melainkan antara maskulinitas-destruktif dengan femininitas-kreatif.
Ratih, Tapang, dan Mangsen adalah karakter-karakter yang memiliki kesadaran komunitas biotik dan tahu bahwa kehancuran alam akan menjadi kematian umat manusia itu sendiri. Mereka menanggalkan asumsi antroposentris dan berteguh bahwa alam merupakan axis-mundi sejati. Karena itulah “ribuan kali Ratih menjelaskan bahwa alam telah memilih gayam-gayam terbaik dengan cara melepasnya dari ranting pohon dan bukan untuk dipetik.” Tapang menasihati adiknya, “Tapang tak pernah serakah. Dulu waktu bapak masih hidup, bapak ajari Tapang untuk pakai pohon seperlunya. Biar kita bisa tetap hidup di lanting.” Sementara itu, Mangsen memiliki sebuah visi bahwa wabah yang terjadi di desanya disebabkan oleh ketamakan korporasi tambang. Berbeda dengan motif sintas Ratih dan Tapang, korporasi kapitalis merampas kekayaan alam dengan orientasi profit.
Di sinilah letak keberpihakan cerpen-cerpen tersebut. Berbeda dengan Prof. Djoko Saryono dalam pengantar Pemilin Kematian yang berpendapat bahwa cerpen-cerpen Ratih tak menampakkan “fungsi kritik dan negasi”; cerpen-cerpen yang hanya “mengokohkan estetika daripada konstruksi wacana meskipun bukan berarti kosong gagasan”, saya justru menilik Ratih telah meletakkan aktivismenya dengan cara yang tepat, yaitu advokasi khas seorang penulis fiksi. Dengan cara subtil, Ratih telah menghindarkan karya-karyanya jatuh ke dalam khotbah atau retorika LSM. Dengan jalan alternatif, cerpen-cerpen tersebut tidak hanya bermain-main dengan bangunan estetika, tetapi menjadi wacana yang di dalamnya sarat praktik yang mengorganisasi dan kalau mau bombas, berpotensi mengubah konstelasi sosial—meminjam dalil Michel Foucault.
Lantas, dengan berlaga ekofeminisme, apakah cerpen-cerpen Ratih adekuat untuk dianggap sebagai karya feminisme? Barangkali perlu penyelidikan lebih dalam untuk dapat menjawabnya, sebab sejumlah cerpen dalam buku tersebut masih menghadirkan penokohan yang justru ditolak oleh beberapa feminis, yakni demonisasi (pengiblisan) perempuan. Arketipe “perempuan laknat” tampak dalam sejumlah karakter, sebut saja sang Janda Sungai Gayam, tokoh Ibu dalam “Malam Merah Ibu”, serta Putri Salju dalam “Perempuan Bisu dan Cermin Ratu”. Untuk menjadi hebat, apakah perempuan harus menjelma hantu terlebih dahulu? Demikianlah tokoh-tokoh tersebut membuka kotak pandora kita tentang pembakaran nenek sihir di Eropa; tentang Lilith, Succubus, Medusa, Calonarang, Situbagendit, Mak Lampir, Kuntilanak, Sundel Bolong, dsb. Maka untuk menjadi sastra feminisme yang purna, Ratih mesti menyeret tokoh cerpen-cerpennya keluar dari mistifikasi perempuan yang berwatak demonik.
Pernah dimuat di harian Jawa Pos, 2 Agustus 2015