Judul: Kiat Sukses Hancur Lebur
Penulis: Martin Suryajaya
Penerbit : Banana, 2016
Tebal: 216 Halaman
Dunia semakin menjerumuskan kita ke berbagai hal-hal instan, seperti ingin cepat kaya, cepat lulus kuliah, segera punya rumah, mobil, dan seterusnya. Maka, wacana kiat sukses dalam berbagai bentuknya mendapatkan sambutan gegap gempita. Tidak heran, dalam dekade terakhir banyak muncul profesi motivator yang laris manis, juga buku-buku kiat sukses, yang menguatkan budaya solusi cepat untuk mengatasi setiap masalah.
Jamaknya, buku-buku bertajuk “Kiat Sukses” menyodorkan janji-janji yang menggiurkan seperti,“Kiat Sukses Bisnis Tanpa Modal”, “Kiat sukses keluarga bahagia” dan sebagainya. Alih-alih memberi janji menggiurkan, buku Martin ini justru membuat pembaca tertawa panjang, sekaligus memikirkan ulang kehidupan yang dijalaninya, termasuk gagasan kesuksesan yang dianutnya. Alih-alih mendefinisikan sukses sebagaimana umumnya dipahami seperti kemudahan, kenyamanan, dan perolehan materi, buku ini mendekonstruksi konsep sukses. Sukses disandingkan dengan hancur lebur. Nah, sejak kapan hancur lebur merupakan sebuah kesuksesan?
Yang juga tidak biasa dari buku ini adalah rambu-rambu yang disampaikan di bagian sampul belakang buku ini, mewanti-wanti pembaca, “…novel debut Martin Suryajaya, yang bakal membuatmu merasa seluruh hidupmu sebelum memegang buku ini baik-baik belaka.” Akankah hidup kita jadi tidak baik-baik belaka setelah membaca buku ini? Ataukah memang sebenarnya hidup kita yang kemarin-kemarin sudah hancur lebur tanpa kita sadari?
Setelah menerbitkan buku-buku filsafat, ini pertama kalinya Martin menerbitkan buku berlabel novel. Alih-alih menyodorkan novel dengan segala unsurnya sebagaimana kita pahami selama ini, buku ini justru membongkar cara pandang kita terhadap novel.Kita tidak akan menemukan alur cerita, plot, konflik, karakter dan sebagainya. Pembaca diajak melupakan bentuk novel dengan segala konvensinya. Lalu apa yang didongengkan?
Metafora yang “nggilani”
Buku ini disusun sebagai kumpulan tulisan dengan berbagai tema, yang termaktub dalam delapan bab. Tema-tema dalam setiap bab nampak random, mulai perkara “Menjadi Pribadi Sukses”, “Manajemen Bisnis”, “Dasar-dasar akuntansi”, “Pemrograman Komputer dengan Sepuluh Jari”, “Resep Sukses Tes Calon Pegawai Negeri Sipil”, “Seputar Budidaya Lele”, “Etika Hidup di Apartemen,” dan “Cara Gampang Memakai Baju.” Judul-judul aneh tersebut menyiratkan bahwa setiap perkara akan dipertanyakan dan dijungkirbalikkan dengan cara yang jenaka, konyol dan seringkali dengan metafora yang ‘nggilani’.
Misalnya, Bab VII berjudul “Etika Hidup di Apartemen,” tidak begitu saja membahas berbagai kode etik orang kota yang tinggal di apartemen. Pembahasan etika di sini justru menyinyiri etika yang selama ini dibangun dan dipuja orang. Silakan baca definisi etika ini, “Apabila kita buka kuping, etika seperti bunyi kecoa yang terperangkap di dalam telinga.” Metafora kecoa di kuping ini tentu saja memunculkan sensasi rasa risih luar biasa dan jijik. “Etika terbayang seperti pemandangan WC umum di masa kolera”. WC umum saja memberi bayangan yang sangat bikin kita tidak doyan makan, apalagi WC umum di masa kolera, sungguh imaji yang mengerikan.
Membahas apartemen bukan hanya apartemen betulan, sebagaimana dipahami orang. Ada apartemen per accidens (alias rusun ambrol), dan apartemen per diem (apartemen gelandangan). Karena cakupan jenis hunian yang luas ini, maka etika apartemen yang dibahas pun ngalor-ngidul secara acak, sambil melontarkan ironi-ironi tajam mengenai etika. Hal itu misalnya, etika stres yakni tatacara menjalani stres yang dapat memicu decak kagum orang-orang mati. Etika amnesia yakni etika yang mengatur tindak tanduk orang yang lupa ingatan, cara menggaruk punggung yang mengandung unsur-unsur polemik kebudayaan. Etika bernafas yaitu cabang etika yang mengupas secara komprehensif tatacara menarik napas dan menghembuskannya seturut kaidah transparansi anggaran (hal. 174-175).
Ironi Kehidupan
Kasus bunuh diri di apartemen yang banyak terjadi tidak luput dari pembahasan ini, dengan sub judul “Teknik-teknik Bunuh Diri di Apartemen.” Disajikan 19 cara melakukan bunuh diri di apartemen, seperti membacok leher sendiri, bermain lompat galah di balkon, atau tidak melakukan apa-apa selama sebulan. Daftar teknik bunuh diri ini bisa diperpanjang, dan pembaca dipersilakan mengembangkan berbagai teknik yang genial. Pembahasan ini menyodok ironi kehidupan manusia kontemporer.
Ironi situasi yang disodorkan dalam buku ini menyindir secara ekstrim kejadian sehari-hari di mana ada kesenjangan antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan orang. Gambar dan tabel pun menjadi bagian dari ironi, melengkapi narasi dan metafora-metafora ganjil dan seringkali tidak berhubungan.
Ironi-ironi seperti ini bisa menjadi kudapan yang perlu dibaca oleh banyak pihak, seperti guru, politisi, pebisnis, dosen, akademisi, agamawan atau siapa saja yang ingin menyegarkan lagi dan memberi suntikan-suntikan kejutan bagi kewarasan jiwa raganya. Teknik permainan bahasa dalam bentuk istilah plesetan juga banyak ditemukan di buku ini. Nama-nama orang, tokoh dan merek juga dipelesetkan, namun pembaca bisa mengenali nama aslinya. Jargon dan istilah-istilah populer juga dipelesetkan.
Penulis buku ini tidak ingkar janji dengan judul “Kiat Sukses Hancur Lebur”. Pertama, banyak ide tersembunyi dalam buku ini yang membahas dan membongkar ideologi “kiat sukses.” Kedua, kiat sukses yang ditawarkan oleh sang penulis memang berujung pada pembongkaran (atau penghancuran) akan keyakinan kita mengenai berbagai hal.
Dekonstruksi seperti ini bisa jadi bermanfaat bagi orang-orang yang mabuk akut dalam hidup ini. Mabuk jabatan, mabuk cerita motivasi, mabuk agama, dan mabuk-mabuk lain yang menenggelamkan akal sehat. Resep yang ditawarkan buku ini adalah menggemburkan“mabuk” dengan kegilaan-kegilaan yang tidak kalah akutnya. Jadi, hancur lebur dan sukses sebenarnya merupakan dua wajah dalam sekeping koin.
Pernah dimuat di Harian Kompas, 10 Desember 2016.