Sastra Untuk Kemanusiaan


Penulisan Sejarah Sastra: Pembabakan Sejarah Sastra Indonesia (7)

Bakri Siregar dalam Sedjarah Sastra Indonesia Modern (SSIM) (1964) mengemukakan pembabakan waktu dan angkatan sedikit berbeda dengan KBI. Dalam SSIM, pembabakan dan angkatan sastra Indonesia diklasifikasikan berdasarkan kesadaran nasional sesuai dengan kelahiran sastra Indonesia yang didorong oleh kesadaran nasional. Dikemukakan oleh Siregar dalam SSIM sebagai berikut: “Persoalan, bila dimulai sastera Indonesia modern tidak bisa dipisahkan dari masalah masyarakat dan bangsa Indonesia dalam perkembangan sejarahnya dan dengan alat sasteranya: kesadaran sosial dan politik nasion Indonesia dan bahasa Indonesia (modern) sebagai hasil produk kesadaran nasional. Dengan demikian, sastera Indonesia bermula dengan lahirnya kesadaran nasional tersebut, yang tercermin dalam hasil-hasil sasterawan dalam tingkatan dan taraf yang berbeda sesuai dengan masa dan lingkungannya sebagai senjata dalam kritik social dan cita-cita politik yang dikemukakannya, serta alat bahasa yang dipergunakannya.” (Ejaan disesuaikan dengan PUEBI, SSIM, 1964:10) Dalam kaitan ini, pembabakan sejarah dan angkatan sastra Indonesia dibingkai oleh tradisi revolusioner yang menghidupkan kesadaran nasional yang sebenarnya merupakan sosok sosialisme. Pengaruh-pengaruh asing yang ada dalam sejarah sastra Indonesia pun diletakkan dalam tradisi revolusioner ini (simak SSIM, 1964:13-14).

Sejalan dengan itu, dalam SSIM dikemukakan bahwa pembabakan sejarah sastera Indonesia ada empat macam, yaitu (1) sastra Indonesia periode pertama, terentang mulai awal abad XX sampai dengan tahun 1942 saat jatuhnya kolonial Belanda, (ii) sastra Indonesia periode kedua yang merentang dari tahun 1942 sampai dengan 1945, semasa pen-dudukan Jepang, (iii) sastra Indonesia periode ketiga, terentang mulai tahun 1945 sampai dengan 1950, dan (iv) sastra Indonesis periode keempat, terentang mulai tahun 1950 sampai dengan 1964. Ihwal pembabakan sejarah sastra ini dibahas dalam pasal Periodisasi Sastera Indonesia Modern (1964: 14-16). Perlu diketahui, masa sesudah tahun 1964 tidak terdapat dalam SSIM sebab buku ini ditulis pada tahun 1964. Kemudian hari, kalau tak salah pada dasawarsa awal 1980-an, Bakri Siregar pernah menulis esai panjang di Majalah Prisma perihal Angkatan 70-an Sastra Indonesia, yang berbeda dengan babakan sejarah dan angkatan sastra sebelumnya. Perkara angkatan 70-an sastra Indonesia ini juga pernah dikemukakan oleh berbagai penulis lain, antara lain Abdul Hadi dan Kuntowijoyo. Akan tetapi, analisis dan argumen Bakri Siregar berbeda dengan Abdul Hadi dan Kuntowijoyo.

Empat babakan sejarah dan angkatan sastra Indonesia tersebut tidak dibahas secara memadai dalam SSIM. Porsi pembahasan yang terbesar dalam SSIM justru babakan sejarah dan angkatan kedua, yaitu sastra pada zaman Balai Pustaka dan Pujangga Baru, yang menyita 91 halaman SSIM (halaman 31-122). Periode dan generasi pertama, yang disebut Siregar sebagai permula-an sastra Indonesia modern, dibahas secara singkat saja, hanya dibahas sebanyak 15 halaman (halaman 17-30). Periode dan generasi ketiga dan keempat ternyata tidak dibahas dalam SSIM. Mungkin periode ketiga dan keempat akan dibahas oleh Siregar dalam SSIM jilid 2 sebagaimana direncanakannya. Justru karya-karya penerbitan Medan yang umum disebut roman picisan dibahas dalam SSIM oleh Siregar (lihat halaman 123-124) walaupun tidak masuk dalam konsepnya mengenai periodisasi dan generasi sastra Indonesia. Hal ini sebenarnya merupakan ketidakkonsistenan.
Babakan sejarah dan angkatan sastra pertama sastra Indonesia disebut oleh Siregar dalam SSIM sebagai mula sastra Indonesia. Siregar membahasnya dalam satu tersendiri, yakni Bab II dengan judul Mula Sastera Indonesia Modern (lihat hlm. 17-30). Dalam bab ini dibahas ihwal kritik sosial terhadap kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme dengan menyingung karya Multatuli Max Havelar dan R.A. Kartini, peranan pergerakan nasional dengan membi-carakan berdirinya Budi Utomo, Partai Komunis Indonesia dan Taman Siswa, peranan pers nasional, dan tokoh dan karya tokoh yang dianggap sebagai pemula sastra Indonesia, yaitu Mas Marco Kartodikromo. Aspek-aspek yang di-bahas ini menunjukkan bahwa aspek di luar sastra dan di luar konsep Siregar mengenai periodisasi sastra banyak dibahas. Hal ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan konsep dan isi bahasan mengenai periodisasi yang dibuat dan dipedomani oleh Siregar dalam SSIM.
Babakan sejarah dan angkatan kedua sastra Indonesia tidak dibahas secara utuh dalam satu bab. Dalam SSIM, periode dan generasi kedua ini dipilahkan ke dalam sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru; dan masing-masing dibahas dalam satu tersendiri. Sastra Balai Pustaka dibahas dalam Bab III (lihat hlm. 31-71) dan sastra Pujangga Baru dibahas dalam Bab IV (lihat hlm. 72-122). Dalam Bab III yang dijuduli Sastera Balai Pustaka (lihat hlm. 31) secara berturut-turut dibahas tugas Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, politik bahasa (Indonesia) yang dija-lankan oleh Balai Pustaka, pejabat-pejabat Balai Pustaka, hasil-hasil Balai Pustaka terutama tema-tema sastra dan atau pikiran-pikiran yang dihasilkannya, dan beberapa tokoh penting Balai Pustaka beserta karyanya. Dalam pasal Hasil-hasil Balai Pustaka (lihat hlm.39) dibicarakan tema kawin paksa dalam beberapa novel penting dan pikiran-pikiran ideologis di balik beberapa novel Balai Pustaka serta jasa-jasa Balai Pustaka. Dalam pasal Tokoh dan Hasil (lihat hlm.51) dibicarakan Marah Rusli, Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Suman Hs, HAMKA, dan beberapa cerpen dan drama. Sementara itu, dalam Bab IV yang berjudul Sastera Pujangga Baru (lihat hlm.72) dibicarakan masalah gerakan kemerdekaan nasional, kesadaran nasional dalam kebudayaan, majalah PUJANGGA BARU beserta pengasuhnya, gerakan kebudayaan Pujangga Baru, gerakan kesusastraan dan bahasa Pujangga Baru, sikap politik Pujangga Baru, konsepsi kebudayaan nasional, konsepsi seni, esei-esei dalam Pujangga Baru, dan tokoh beserta karya sastra Pujangga Baru. Karya sastra yang dibicarakan mencakupi novel, cerpen, puisi, dan drama. Tokoh-tokoh yang dibicarakan adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Muhammad Yamin, Rustam Effendi, Sanusi Pane, Amir Hamzah, J.E. Tatengkeng, dan Asmara Hadi. Pembahasan antarbagian bervariasi kedalaman dan keluasannya.

Lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di Madiun, Jawa Timur. Saat ini menjadi Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang dan Kepala Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Pelanggan fanatik Kafe Pustaka-Perpustakaan Universitas Negeri Malang.
Lahir pada tanggal 27 Maret 1962 di Madiun, Jawa Timur. Saat ini menjadi Guru Besar di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang dan Kepala Perpustakaan Universitas Negeri Malang. Pelanggan fanatik Kafe Pustaka-Perpustakaan Universitas Negeri Malang.
share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.