Sastra Untuk Kemanusiaan


Membaca Wahyu

Dok. Pelangi Sastra Malang

Kumpulan puisi (aum) Wahyu Prasetya berjudul Wahyu Menulis Puisi akan diluncurkan di Kafe Pustaka, Universitas Negeri Malang, 16 Maret 2019. Akan tampil di acara itu orasi kesusastraan oleh Djoko Saryono (Guru Besar UM) dan saya. Saya ditunjuk panitia mungkin karena saya dianggap memiliki hubungan yang dekat dengan Wahyu Prasetya dan mengamati proses kreatif kepenyairannya.

Sejak tahun 80-an perkenalan saya dengan Wahyu Prasetya (Eko Susetyo Wahyu Ispurwanto) tidak hanya terbatas melalui surat menyurat saja namun juga tatap muka. Saya menyertakan puisi Wahyu Prasetya dan Tengsoe Tjahjono yang kala itu dikenal sebagai penyair muda Malang dalam antologi puisi Pendapa Tamansiswa: Sebuah Episode (1982). Perjumpaan menjadi lebih akrab saat pada tahun 1982 Danarto dan redaktur lainnya memilih Wahyu Prasetya, Irawan Sandhya Wiraatmaja, Heryus Saputra, dan saya ditetapkan sebagai penulis puisi terbaik majalah Zaman tahun 1982. Atas inisiatif Ragil Suwarna Pragolapati puisi-puisi saya dan puisi-puisi Wahyu Prasetya dimuat di majalah Semangat, Yogyakarta. Ragil lantas memberikan ide agar saya dan Wahyu Prasetya membuat antologi puisi berdua.

Sejak saat itulah Wahyu sering bertandang ke Yogyakarta untuk menemui saya. Sebaliknya saya juga sering ke Malang untuk menemuinya. Dalam proses selanjutnya terbitlah antologi puisi saya dan Wahyu Prasetya berjudul Nafas Telanjang, dalam bentuk cetakan dan bukan stensilan. Saya masih ingat kesepakatan untuk membuat judul bersama. Wahyu usul judul Nafas dan saya menambahnya dengan Telanjang.

Ada yang salah disebutkan oleh Korrie Layun Rampan pada ulasan Nafas Telanjang di Koran Pelita. Korrie menyebutkan dua penyair dari Yogyakarta dalam tulisannya berjudul “Nafas Telanjang” Dari Yogyakarta. “Dua penyair muda dari Yogyakarta muncul secara bersama dalam kumpulan yang dijuduli: Nafas Telanjang, masing-masing menampil 16 sajak,” tulis Korrie Layun Rampan.

Menurut Korrie Layun Rampan, Wahyu Prasetya menunjukkan sikapnya yang memuisi antara manusia dengan alam, manusia dengan hal-hal yang transendental—tapi temanya tidak mengarah pada sajak-sajak ketuhanan. Walaupun demikian, sajak-sajak Wahyu juga tidak kehilangan nuansa kontemplasinta, karenanya sajak-sajak kontemplatif pun bisa diangkat dari tema-tema di luar masalah religius; masalah kerohanian. Seperti misalnya bait akhir sajak Pudar Sudah (hal. 20) yang berbunyi, “terasa utuh dari pedih luka-peluh airmata jelaga rupa menengadah saja, menatap dusta-mencecapnya hingga tak sia kureguk dahagamu, keringkan bara.”

Ada kritik yang tajam disampaikan oleh Korrie Layun Rampan dalam tulisannya. Sebagai pemuisi yang muda belia, kedua penyair ini memang nampak masih mencari bentuk ucap yang khas untuk puisi-puisi mereka; keduanya nampak masih labil, kadang terseok-seok pada bentuk ucap para penyair senior; kadang pula tidak bisa menepis pengaruh, sehingga bias sajak-sajak pemuisi terdahulu kita temukan secara mentah pada keduanya tanpa pengolahan. Rupanya untuk menjadi penyair yang baik memang perlu banyak latihan, banyak membaca dan kemudian merenungkan—menangkan esensi bacaan, dan setelah matang baru merefleksikan kembali sebagai wujud ekpresitas diri sendiri, buah dari pengalaman jiwa ke-aku-an total yang didapat dari paduan kontemplasi, pikiran dan pengalaman kemanusiaan.

Sampai pada tahun 1982 Wahyu Prasetya sudah mulai produktif. Saya pernah menuliskannya di harian Pelita, selain “Nafas Telanjang”, Wahyu sudah memiliki antologi puisi “Dinding”, “Nyanyian Tulang”, “Lakon”, dan “Tonggak-Tonggak” (bersama 14 penyair lainnya). Hanya saja empat antologi puisinya selain “Nafas Telanjang” beredar secara terbatas.

Entah apa makna tahun 1982 bagi Wahyu Prasetya, karena pada tahun itu juga dia menerbitkan kumpulan puisi tunggalnya berjudul “Pintu” dalam bentuk stensilan (yang tahun 80-an antologi stensilan sangat lazim dilakukan). Kumpulan puisi “Pintu” hanya setebal 44 halaman. Pada era itu memang kumpulan puisi yang terbit rata-rata tipis-tipis, sangat berbeda dengan penerbitan antologi puisi di zaman milenial ini.

Dalam catatan saya di rubrik budaya harian Pelita terhadap kumpulan puisi “Pintu”, seperti kebanyakan puisi Wahyu yang lain, dia berbicara tentang keterasingan, impian-impian dan suasana alam. Sebagai penyair muda seperti penyair lainnya yang baru merintis karya, masih belum mampu menjaga intensitas dalam penulisan sajak-sajaknya. Sajak-sajak Wahyu sarat dengan suasana rindu dan haru. Tertuang dalam sajak Catatan Haru: dari geliat hari-hari silam/ derai cemara meliuk dalam-dalam/ selepas angin silir yang bawakan salam bagimu/ kutahu dari mana saat kau kutunggu/ dalam retakan sunyi, sesunyi gaung itu sendiri/ mainan rindu hanya tersimpan di hati/ bagai musim luruh dan bangkit/ kadang membasah, kadang kering/ satu hal kuingat guratan manis di kening/ tapi belum paham pada kebeningan.

Dalam kumpulan puisi ini ada sajaknya yang menarik berjudul Tuhan, Aku Hanya Menyerah PadaMu: apapun terjadi, tak lepas aku dari genggammu/ terus berlangsung hingga nasib melantun/ hempasan musim demi musim beruntun/ tapi kau lebih memahami ketololanku dalam sunyi/ Tuhan, aku hanya menyerah pada-Mu/ kutulis pada nisan kubur hidup matiku/ guratan tajam di kedua tangan/ makna ucapan tertuang di alun kekumalan (hal. 12)

Dalam sajak ini Wahyu menyenandungkan kekerdilan di hadapan Tuhan, di mana kita akhirnya akan menyerah kepada-Nya, setelah segala keganasan hidup menyerang dan menghantam. Setelah waktu demi waktu terurai dengan meninggalkan kita di garis seberang. “Antara hidup matiku kuserahkan padamu”.

Pada perkembangan selanjutnya Wahyu Prasetya amat produktif menulis sajak di berbagai media massa daerah dan pusat (istilah tempo doloe). Pada tahun 1987 Wahyu Prasetya diundang untuk mengikuti Forum Penyair Indonesia 1987 oleh Dewan Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Lembaga yang pada waktu itu dikenal sebagai barometer kesusastraan di Indonesia telah menempatkan Wahyu Prasetya sebagai Penyair Nasional.

Pada tahun yang sama (1987) sajak-sajak Wahyu Prasetya dimuat dalam Tonggak, Antologi Puisi Indonesia Modern 4 penerbit PT. Gramedia. Dalam buku itu dimuat karya penyair kelahiran tahun 1948 sampai 1962. Antara lain Hamid Jabbar, F. Rahardi, Daman Moenir, Korrie Layun Rampan, Yudhistira ANM Massardi, Eka Budianta, Afrizal Malna. Dalam buku Tonggak, ada 10 sajak Wahyu Prasetya yang dimuat, dan uniknya ada yang berisi mengenai kematian. Kematian II: sudah kusedekapkan amal kedua tanganmu/ yang pernah mengulurkan ayat sepanjang waktu/ dari jarak beranda keberangkatan/ menuju bunga-bunga layu di seberang tempat/ karena ruang milikmu, karena jam milikmu/ kutetapkan pada mawar, kibasan tentang duka/ setiap petaka di kedua mata basahku adalah doa/ melambung ke sisi pembaringan/ luka cokelat di tanah menghadap langit sambil terpejam/ jangan lupakan/ mana maut tunggal sekuat lautan/ dan hidup melaju ke depan, mencari tubuh untuk membujur/ melengkapkan kesetiaan napas yang kini terang/ memetiknya di jari Tuhan (hal. 263)

Sangat perlu bagi peneliti sastra untuk mengkaji sajak-sajak Wahyu Prasetya yang bertema kematian, sebab di tahun 2018 pun Wahyu Menulis sajak berjudul Doa Kuburan: lebih terisak dari kesenyapan kamboja/ harum napas rumputan dan sisa hujan/ akulah tanah yang merembang dalam bayangan/ saat zikir digenapkan, 99 jalan hening dilanjutkan Tuhan/ rerimbunan manusia yang diam/ dan hamparan amal mereka yang kini membeku/ hanya akar dan serangga. Kudengar wiridnya/ aku permisi. Mengulur langkah dari sepi/ kembalikanlah amal dan keikhlasan bagiku/ yang terbaring dalam doa segala musim/ akulah tanah yang kini dilambungkan/ berjalan pada kota pada desa Tuhan, jumpa kita di mana?

Seusai acara yang berskala nasional itu, pertemuan saya dengan Wahyu mulai jarang terjadi. Wahyu lebih banyak berkelana di berbagai negara ASEAN dan ke Jerman Barat untuk bekerja, tapi saya yakin dia tetap menulis sajak dan menyimpannya. Perjumpaan saya terakhir dengan Wahyu Prasetya pada acara temu sastra HP3N di Batu, Malang.

Pada dekade terakhir Wahyu Prasetya menghubungi saya lewat pesan di facebook melalui akun Haji Eyang. Dia mengabarkan keberadaannya di sebuah tambang batubara di Kalimantan Tengah dan meminta saya membantu memublikasikan puisinya. Jika ada sinyal, maka buru-buru Wahyu mengirim sajak-sajaknya ke saya. Atas permintaannya sajak-sajaknya saya kirim ke majalah sastra Horison dan tak lama kemudian dimuat. Hal ini menunjukkan sajak-sajak Wahyu Prasetya memang berkelas.

Satu hal yang saya sesalkan adalah mengapa profil Wahyu Prasetya tidak dicantumkan dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia terbitan Yayasan Hari Puisi Indonesia, terbitan tahun 2017 tebal 675 halaman itu?


Pernah dimuat di Magelang Ekspres pada edisi 16 Maret 2019

Esai ini dibacakan saat orasi kesusastraan, peluncuran buku kumpulan puisi
Wahyu Menulis Puisi karya Wahyu Prasetya,
16 Maret 2019, di Kafe Pustaka (Universitas Negeri Malang)

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.