Sastra Untuk Kemanusiaan


Gulaline Bapak

Sumber: iStock

“Pak, itu lihat Pak bagus yo Pak yo?” ujarnya di belakangku. Suaranya mugil dan aku pun tak kuasa menahan tawa ketika mendengar kekonyolan pertanyaannya. Ah tapi aku harus mengharaginya. Usianya juga masih bocah, huruf “r” saja tak mampu diucapkan dengan sempurna. Untuk itu aku harus menunggingkan senyum di bibir sembari menahan geli tawa dari setiap tanda tanya di bibir anakku.

“Pak sampai Pak, wes teko panggone! Holeee!” ucapnya riang.

“Ayo pelan-pelan saja turunnya!” ujarku menimpali.

Kutegakkan kedua kakiku menapak di tanah sembari kukencangkan posisi sepedah yang sedang kunaiki ini. Tentu itu semua agar anakku dapat turun dan melompat dengan mantap. Setelah ia turun, aku menuntunnya ke tepi alun-alun, ke tempat parkir sepedah. Aku sangat bersyukur karena sepedah ini teramat kuat dan tidak pernah rewel rantainya, rodanya pun juga tak pernah bocor bahkan jarang sekali gembos. Lewat sepedah inilah aku sering mengajak anakku jalan-jalan. Mengitari Idjen Boulevard hingga alun-alun kota. Terlebih setiap Malam Minggu, ia selalu minta diantar pergi ke alun-alun. Dia seperti punya ritual sendiri ketika berada di tempat ini.

“Pak itu ada Pak Min!” ujar anakku sembari menunjuk ke arah penjual gulali di bawah pohon beringin. Ia menarik ujung bawah kaosku dan mengajakku segera bergegas pergi ke arah penjual gulali berambut putih itu.

“Nak, mulai sekarang kalau mau tumbas[1] gulali, Bapak tunggu dari sini saja ya? Ini uangnya!” kataku sembari mengulurkan dua keping gulden[2].

Ia hanya menatapku nanar, seolah tak paham akan keputusanku.

“Bapak kenapa ndak ikut to? Bapak ndak sayang to?” tanyanya penasaran.

“Bapak ingin membuatmu lebih berani Nak! Coba lihat anak-anak yang beli gulali di sana, mereka bergerombol kan? Ndak ada orang tuanya kan?”

Mendengar pertanyaanku, dia menatap ke arah Pak Min yang dikerumuni anak-anak kecil. Ia lalu mengangguk seolah paham dan ingin mengiyakan semua tanya yang kulemparkan padanya.

“Wes, sekarang kamu tumbas sendiri ya, sama kenalan juga biar kamu punya banyak teman. Nanti kalau mereka nakal, kamu cukup noleh ke belakang dan panggil Bapak, Bapak akan lari menolongmu!” ucapku meyakinkannya.

Ia tetap merenung sejenak, lalu menatapku dan mengulurkan jari kelingkingnya,”Janji ya Pak, Bapak ndak ninggalin aku?”

Betapa terkejutnya aku mendengar tanyanya yang lagi-lagi teramat polos. Kali ini aku tak dapat lagi menahannya, gelak tawaku pun menggelegar sembari kuulurkan jari kelingkingku menyambut kelingkingnya yang mungil.

“Jangan lupa beli dua, untuk Bapak juga! Itu uangnya cukup untuk beli dua!” teriakku saat dia mulai berlari.

Dia menoleh ke belakang, tersenyum lalu berlari ke arah Pak Min penjual gulali manis.

***

Dari kejauhan aku melihat anakku semakin mantap langkahnya. Berlari ke arah kerumunan penjual gulali. Dalam kedua bola mataku, aku melihat sayap yang menyembul dari punggungnya. Sayap-sayap kebebasan, kemerdekaan, dan kebanggaan pada tanah yang dipijaknya. Mungkin bayangan yang kuembankan di punggungnya terlalu berat, tapi inilah faktanya. Aku yakin hampir semua Bapak muda sepertiku juga memimpikan hal yang sama. Kami ingin merdeka dan kami ingin bebas dari segala bentuk penjajahan ini. Oleh sebab itu, aku menamai anakku, Satriya Wira supaya menjadi pejuang yang kelak memerdekakan bangsanya.

Kini dari kejauhan kulihat ia sedang berdesak-desakan di antara teman-temannya. Ada yang gempal, ada yang tinggi, tapi juga ada pula yang sekecil putraku. Kulihat ia berani menyusup masuk di antara teman temannya dan tak butuh waktu lama baginya untuk mengulurkan tangan ke arah Pak Min.

Dari kejauhan aku bertepuk tangan, melihat semangat anakku berlipat ganda membeli dua batang gulali. Ia pun segera beranjak dari kerumunan itu lalu berjalan ke arahku. Tunggu dulu! Itu ada anak bertubuh gempal mengikutinya dari belakang! Apa yang mau dilakukanya?!

“Hei!” triakku.

Namun percuma, suaraku tak sampai ke arahnya. Malam ini alun-alun teramat ramai. Kulihat anak bertubuh gempal itu mendorong Satriya hingga tersungkur. Aku ingin berlari menghampirinya. Menolong puteraku!

Tapi sebentar! Aku jadi ingat sesuatu! Dulu aku juga pernah digebuki anak sebaya, seusiaku karena memenangkan pertandingan kelereng. Saat itu, aku hanya hidup bersama ibuk dan aku punya tugas melindungi ibuk. Itulah sebabnya aku menghadapi anak-anak yang dulu mengeroyokku itu meski dengan penuh luka. Akhirnya, mereka bersahabat denganku hingga sekarang. Jika aku menolong Satriya, maka jiwanya akan semakin lembek dan dia tidak akan berkembang. Baiklah aku akan mendekatinya secara sembunyi-sembunyi, kutunggu respons apa yang dilakukannya menghadapi lawan pertamanya itu.

Kulihat Satria jatuh! Ia memegangi lututnya, tampaknya memar. Anak gembul itu tertawa melihat Satria. Kurang ajar! Satria menoleh ke arahku, dia mencariku. Mulut Satria seolah berteriak, ia memanggil-manggil namaku. Aku tahu ia sedang membutuhkanku, tapi aku yakin anak ini akan mampu mengatasi masalahnya sendiri.

Si anak gembul biadab itu menendangnya kembali dan Satria tersungkur untuk kedua kalinya. Gulalinya jatuh ke rerumputan. Gembul menginjak salah satu gulali yang terkena lumpur tanah. Ia menginjak dengan teramat keji. Membuat gulali itu rusak dan tampaknya tak bisa dimakan lagi. Satria menyaksikan peristiwa itu. Dari kejauhan kulihat ia merundukkan kepala, sepertinya ia menangis. Aku harus bergegas. Si gembul itu mendekat lagi ke arah Satria.

“Tunggu!”

Tiba tiba langkahku terhenti. Aku melihat Satria mendongakkan kepalanya ke arah si gembul itu. Memang benar dari kejauhan matanya mengeluarkan air mata, bibirnya mangap terbuka sambil berteriak menangis memanggilku. Tapi tangan dan kakinya seolah maju menghampiri Si Gembul itu. Maju seperti banteng yang sedng marah. Ia memukul serampangan ke arah tubuh si Gembul itu. Kali ini kulihat Satria benar-benar marah, dari kejauhan tampak Si Gembul itu tersungkur ke tanah. Ia sejenak menoleh ke arah Satria lalu berlari terbirit-birit sampai terjatuh berulang kali melihat Satria yang marah. Satria terus mengejarnya. Ia benar-benar marah.

“Satria hoi Satria!” ujarku mengejar Satria.

Ia tak mau berhenti tapi untung langkahku lebih cepat. Kuraih tubuhnya, kuangkat dan kugendong tapi ia malah meronta mita turun. Tangan dan kakinya menendang-nendang serampangan seolah masih menuntaskan dendam pada si gembul.

Aku mendekapnya dalam gendongan. Kubelai rambutnya dan kudekap semakin dalam.

“Cup Nak, Cup jangan nangis lagi, sampun nggih[3] Nak!” ujarku menenangkan.

Satria masih sesenggukkan mengatur ritme nafasnya. Tangan dan kakinya sudah tidak bergerak liar lagi. Kini ia hanya perlu menangkan diri. Sementara dari kejauhan, aku menyaksikan anak gembul itu lari pada seorang lelaki yang bertubuh gembul pula. Ia menangis sambil memeluk perut gembul lelaki dewasa itu. Namun naas, lelaki itu malah menamparnya.

“Kamu memalukan!” ujar lelaki itu pada anak gembul yang jatuh ke tanah karena tamparan kerasnya. Aku pun pura-pura tak melihat kejadian itu karena aku menduga bahwa mereka adalah ayah dan anak.

“Hey!” teriak lelaki gembul itu ke arahku. Aku pun menoleh dan dia mengacungkan ibu jari kepadaku.

Aku hanya mengangguk tersenyum saja lalu pergi sembari mengacungkan ibu jari pula padanya. Sepertinya ia menyiratkan pesan sportif mau mengkui kekalahan anaknya dan menerima kemenangan anakku.

Meskipun demikian kulihat Satria tak merasa sebagai pemenang, dia masih saja sesenggukkan meskipun suaranya tak sekencang tadi. Aku pun menggendongnya ke salah bawah tiang lampu berwarna kunang-kunang. Itu adalah tiang lampu favorit Satria. Kami selalu menghabiskan waktu di situ sembari makan gulali. Namun kali ini berbeda, bukan gulali yang kami makan tapi tangis Satria yang mulai mereda. Kududukkan dia di sampingku.

Ia menatap lampu itu dengan air yang masih berlinang di matanya.

“Pak, aku minta maaf!” katanya.

“Minta maaf kenapa Nak? Hari ini kamu jadi anak yang hebat bisa mengalahkan anak yang tubuhnya lebih besar darimu!” ujarku.

“Aku kalah Pak Sepurane[4]!” katanya.

“Kalah kenapa to Nak? Tadi anak itu sampe ketakutan lho sama kamu Nak! Bahkan Bapaknya memberi ucapan pada kita dengan mengacungkan jempol!” kutenangkan Satria.

“Aku ndak bisa menjaga gulaline Bapak!” setelah berujaar demikian ia menunduk lagi lalu menangis.

Sungguh trenyuh aku mendengar jawabannya yang begitu polos. Aku pun harus segera mengembalikan semangatnya yang pudar.

 “Owalah Nak, jadi laki-laki itu ndak boleh gembeng, sampeyan harus bisa kuat baik di saat menang atau kalah! Sampeyan tadi pemberani lho, tapi sayang sampeyan nagis jadi musuh sampeyan tahu kelemahan sampeyan. Mulai hari ini, sampeyan belajar ga boleh gembeng lagi ya, apalagi di depan Bapak, karena bagi Bapak, Satria tetap pemenangnya hari ini. Janji nggih!” kini giliran aku yang mengacungkan jari kelingking padanya.

“Janji Pak,” sahutnya lirih sembari menyambut jari kelingkingku!

Tar!!!!

Suara itu terdengar keras di atas kami, aku lalu mendekap anakku dan melindunginya. Kulihat suasana mmenjadi gelap. Suara jeritan silih berganti. Lampu di atasku telah rusak. Suara tembakan beruntun ke arah lampu-lampu alun-alun. Aku pun menggendong Satria dan mengajaknya bersembunyi di pepohonan.

Sejenak kemudian, terdengar bunyi menggelegar. Ada bom yang baru saja dilontarkan ke arah gedung sebelah alun-alun. Aku berlari ke arah pohon beringin yang paling rindang. Namun percuma, mortir-mortir dari serdadu yang sedang patrol dilemparkan ke segala arah dengan membabi buta. Mereka datang dari perempatan gedung Condordia. Di sisi lain, dari arah stasiun aku melihat puluhan laskar nekat masuk ke arah alun-alun. Suasana sangat mencekam. Pemberontakan dilakukan.

Onok opo onok opo[5]?” tanyaku pada salah seorang lelaki yang kutarik kaosnya.

Belandanya marah! Salah satu anggota mereka baru saja tertembak di samping Concordia! Mereka lalu menangkap pelakunya, dan laskar daerah stasiun ndak trima Masujar lelaki itu dan ia kembali lari terbirit-birit.

Aku mendekap dan menggendong anakku. Aku tetap berlari menuju ke tempat yang aman. Di hadapanku hanya ada hotel pelangi, jalan ke sana sangat terbuka. Aku tahu ada rasa perih menyayat di punggungku tapi tak kuhiraukan. Aku tetap mendekap anakku. Sembari berlari, kudekap dia sambil berkata. “Tenang Nak, aku akan melindungimu sampai titik darah penghabisanku, kamu lebih berharga dari gulaline Bapak!”.

 

Catatan:

[1] beli

[2] mata uang Belanda

[3] Sudah ya

[4]maaf

[5] Ada apa

 

Pernah dimuat di Radar Malang pada edisi 27 Januari 2019

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.