Sastra Untuk Kemanusiaan


Berilah Ruang Bagi Perempuan, dan Ia Akan Mengguncang Dunia

Tentang Ruang Perempuan dan Tulisan

Dewi Noviami adalah sosok penting di balik terbentuknya Ruang Perempuan dan Tulisan, sebuah program hibah penelitian yang ditujukan untuk para perempuan periset dan penulis muda Indonesia. Program ini membuka kesempatan bagi para perempuan periset dan penulis muda untuk melakukan penelitian mendalam terhadap perempuan penulis Indonesia di masa lalu yang namanya terkubur dari permukaan narasi sejarah besar. Sepuluh periset yang terpilih dalam program ini telah menyelesaikan kajian terhadap sosok, karya, dan pemikiran sepuluh perempuan penulis Indonesia di masa lalu: Aura Asmaradana (Saadah Alim), Ayu Puspita Sari Ningsih (Hamidah), Dhianita Kusuma Pertiwi (Charlotte Salawati), Dwi Ratih Ramadhany (Ratna Indraswari Ibrahim), Giovanni Austriningrum (Rukiah Kertapati), Isyana Artharini (Suwarsih Djojopuspito), Ni Made Purnama Sari (Sugiarti Siswadi), Nur Janti (Maria Ulfah), Rain Chudori (Naomi Intan Naomi), dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (Tan Lam Nio).

Dari bulan Juli sampai September 2018, kesepuluh periset tersebut, dengan bantuan Dewi Noviami, Dewi Kharisma Michellia, dan Agnes Indraswari sebagai fasilitator, berupaya mengulik celah-celah kecil untuk membangun kembali narasi tentang para perempuan penulis Indonesia. Melalui presentasi dan diskusi setiap Sabtu, kami pun menyadari masih begitu banyak hal yang belum diungkap oleh narasi besar sejarah kesusastraan Indonesia yang cenderung didominasi oleh penulis-penulis besar laki-laki. Dan agaknya kami bertiga belas pun setuju, bahwa jika seorang perempuan saja diberi ruang untuk menulis, maka ia akan mengguncang dunia dengan karya dan pemikirannya.

 

Perjuangan dan Mitos di Tanah Sulawesi

Ruang Perempuan dan Tulisan memberikan kesempatan bagi saya untuk meneliti seorang perempuan yang berasal dari tanah Sulawesi bernama Charlotte Salawati. Tidak banyak orang yang mengenal namanya, bahkan di Sulawesi Utara dan Selatan pun yang menjadi tempat kelahiran dan tanah perjuangannya, ia bisa dibilang tinggal menjadi mitos. Beberapa orang mengingatnya sebagai seorang perempuan pejuang yang pernah menghadapi langsung Kahar Muzakkar dengan mengendarai kuda putih untuk menempuh jarak berkilo-kilo dan menembus hutan belantara dengan sejumlah pasukan nasionalis mengikuti di belakangnya. Tetapi hasil pencarian data yang telah saya lakukan selama tiga bulan membuktikan bahwa Charlotte Salawati lebih dari sekedar itu.

Dilahirkan di keluarga yang cukup terpandang di Sangir, Talaud, Sulawesi Utara pada 20 Maret 1909, Charlotte Salawati bisa dibilang jauh lebih beruntung dibandingkan kebanyakan perempuan di Sulawesi pada saat itu. Ia bisa mengecap pendidikan formal di sekolah Belanda sejak tingkat dasar sampai tingkat menengah[1] karena orang tuanya yang bekerja sebagai pengajar dan pendeta sadar betul pentingnya pendidikan, baik untuk perempuan maupun laki-laki. Setelah menamatkan sekolahnya, ia memulai kariernya sebagai guru dan kepala sekolah di institusi pendidikan Belanda dan juga mendirikan sekolah-sekolah partikelir yang bisa diakses oleh masyarakat lokal. Pada saat itulah ia mulai mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya aturan pembubaran sekolah-sekolah partikelir yang dianggap sebagai pendidikan pemberontakan.

Di tengah tekanan tersebut, Charlotte memutuskan pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan, pada penghujung tahun 1920-an. Di kota tersebut ia mendapatkan kesempatan untuk terjun ke dunia organisasi dan politik dan bergabung dengan Perserikatan Celebes pada tahun 1930. Pada saat itu pula Charlotte memulai kariernya sebagai penulis dengan menggarap sendiri bahan pidato yang berisi pemikiran-pemikirannya dan juga mengirimkan esai-esai pendek ke surat kabar. Sekali lagi, karena semakin gencarnya tekanan dari pemerintah kolonial, Charlotte harus berpindah dari satu partai ke partai lain sebagai rumah untuk menaungi dirinya.

Charlotte adalah seorang tokoh politik yang teguh dengan gagasan anti-kolonialisme, anti-pasifisime, dan pemberdayaan perempuan. Semua gagasan tersebut tercermin dalam tulisan-tulisannya di berbagai surat kabar lokal Makassar[2] dan juga pada teks-teks pidato yang dibacakannya di depan umum. Ia adalah orang yang mengagumi sistem pendidikan Eropa dan pola pikir a la Barat yang dianggapnya telah memosisikan perempuan sejajar dengan laki-laki. Charlotte juga mengkritik nilai-nilai dan norma-norma adat yang tidak menguntungkan perempuan, seperti pembolehan praktik poligami dan pembatasan hak pendidikan. Tetapi pada saat yang sama, ia juga turun langsung dalam perjuangan perebutan kemerdekaan Indonesia dan menolak mentah-mentah pembentukan negara federal Negara Indonesia Timur (NIT) oleh Belanda pasca 17 Agustus 1945. Ia menganggap NIT adalah program pasifikasi yang dilakukan oleh Belanda agar Indonesia tidak bisa mencapai kedaulatan utuh.

Tidak hanya dengan menulis, gagasan-gagasan revolusioner dalam kepala Charlotte juga tercurahkan dalam tindakan. Pada tahun 1933, ia mendaftarkan diri di sekolah kebidanan dan kemudian mendirikan rumah sakit bersalin dengan tujuan untuk menanggulangi masalah yang dialami ibu hamil dan melahirkan. Sementara itu, di bidang politik, ia tergabung dalam Dewan Haminte Makassar dan terpilih menjadi satu-satunya anggota perempuan di antara lima tokoh Dewan Kolegial Makassar[3] di bawah pemerintahan NIT sebagai strategi untuk menggulingkan kolonialisme. Pada tahun 1949, Charlotte memimpin pemberontakan kelompok nasionalis yang menginginkan kemerdekaan penuh dengan menyerang pos polisi Belanda. Karena tindakan-tindakan pemberontakannya tersebut, ia beberapa kali harus mendekam di dalam penjara Belanda. Charlotte juga dikenal sebagai salah satu jurnalis yang pernah mendirikan surat kabar Wanita pada tahun 1949 dan Bersatu pada tahun 1953 di Makassar[4].

Mitos terkait pertemuannya dengan Kahar Muzakkar yang masih dikenang oleh beberapa orang di tanah Selebes pun ternyata bukan sekedar isapan jempol. Dalam beberapa tulisannya yang dimuat dalam surat kabar Marhaen, ia menceritakan langsung perjuangannya untuk bertemu dengan tokoh pemberontak DI/TII tersebut. Tidak hanya itu, Saskia Wieringa juga mencatat dalam bukunya melalui wawancara dengan Kapten Westerling bahwa Charlotte pernah menemui langsung tentara Belanda tersebut untuk memprotes tindakannya yang telah membunuh 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan[5].

 

Dilambungkan dan Dijatuhkan di Ibukota

Pasca pencapaian kemerdekaan Indonesia secara penuh pada tahun 1949, Charlotte tidak menunjukkan tanda-tanda mundur dari kancah perpolitikan. Setelah mendapatkan mosi tidak percaya dalam rapat DPR Sulawesi Selatan pada bulan Juli 1950, Charlotte memutuskan untuk hijrah ke Jakarta dan melebarkan sayapnya. Walaupun ia masih tercatat sebagai Ketua Serikat Buruh Indonesia di Makassar, ia pada tahun 1956 didapuk sebagai Wakil Ketua II Gerwani Pusat. Bahkan di tahun yang sama, Charlotte diangkat sebagai anggota DPR RI oleh Presiden Sukarno.

Gayanya yang berani dalam bertindak tidak berubah saat Charlotte berkarier di ibukota. Bersama dengan tokoh-tokoh Gerwani yang lain, ia sering melontarkan kritik terhadap pemerintah, terlepas dari kedekatannya dengan Sukarno. Hal tersebut pun tidak membuatnya kehilangan kepercayaan dari Sukarno, terbukti setelah susunan DPR RI hasil Pemilu I dibubarkan, ia kembali terpilih sebagai anggota DPR-GR RI pada tahun 1960. Pada tahun 1962, Charlotte menerima penghargaan Bintang Maha Putra dari Presiden Sukarno atas perjuangannya sebagai tokoh nasionalis selama periode kolonial dan kinerjanya yang baik sebagai anggota DPR.

Sayangnya karier politik yang telah dibangunnya dengan susah payah harus berakhir karena tragedi Lubang Buaya pada tahun 1965. Dua minggu setelah peristiwa berdarah tersebut, Charlotte dan sejumlah perempuan anggota DPR lain[6] ditangkap dan dijebloskan ke penjara Bukit Duri, Jakarta, atas tuduhan keterlibatan dengan organisasi komunis. Bahkan di dalam tahanan pun, ia dikenal sebagai seorang perempuan yang berani melontarkan protes kepada petugas penjara yang berlaku sewenang-wenang kepada kawan-kawannya[7]. Charlotte kemudian dibebaskan pada tahun 1978 dengan syarat wajib lapor secara rutin. Ia bahkan kehilangan hak pensiun yang harusnya diterimanya sebagai mantan pejuang nasional dan pegawai negeri. Charlotte menghabiskan masa tuanya di Jakarta bersama anak dan cucu-cucunya sampai akhir hayatnya pada 10 Maret 1985.

 


[1] Charlotte sempat bersekolah di Sekolah Rendah tempat ayahnya bekerja pada tahun 1916, dan kemudian pindah ke HIS pada tahun 1919. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan tingkat menengah di Normalschool yang berlokasi di Tondano selama tahun 1922-1926.

[2] Surat kabar lokal yang memuat tulisan Charlotte antara lain Marhaen, Barisan Kita, dan Pedoman Rakjat. Sementara ini, baru sepuluh esai Charlotte yang berhasil ditemukan dari arsip surat kabar-surat kabar tersebut.

[3] Dewan Kolegial adalah sistem pemerintahan pasca proklamasi 1945 yang masih menerapkan pola Belanda. Pada saat itu, dewan kolegial Makassar terdiri dari lima orang yang bekerja layaknya walikota pada sistem pemerintahan saat ini. Hal ini yang menyebabkan banyak sumber literatur yang menuliskan Charlotte Salawati adalah walikota perempuan pertama di Makassar dan di Indonesia.

[4] Arsip surat kabar Wanita dan Bersatu masih belum ditemukan.

[5] Westerling merupakan kapten dari pasukan Belanda yang melangsungkan operasi counter insurgency di Sulawesi Selatan selama Desember 1946–Februari 1947. Narasi sejarah Indonesia mengenal kejadian ini dengan ‘Pembantaian Westerling’.

[6] Anggota DPR perempuan lain yang ditangkap bersama Charlotte antara lain Umi Sardjono, Ny. Mudigdo, Ny. Kartinah, dan Melayesiwi. Mereka sempat bersembunyi di Wisma DPR setelah rumah mereka dijarah dan dihancurkan.

[7] Menurut pengakuan para penyintas tragedi ’65 yang pernah ditahan di Penjara Bukit Duri, Charlotte pernah memprotes petugas penjara yang memberikan makanan tidak layak kepada para tapol. Ia juga pernah menginterupsi khutbah misa seorang pastor yang membahas politik di tengah upacara peribadatan tersebut.

 

Bahan diskusi pada tanggal 09 Januari 2019, di Kafe Pustaka

 

share on
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print

Pelangi Sastra Malang sebagai “Terminal” Sastra di kota Malang memiliki program-program dalam bidang kesusastraan di antaranya: mendokumentasikan karya-karya sastra yang lahir di kota Malang dan sekitarnya.

Setiap orang dapat berkontribusi dengan mengirimkan arsip karya sastra berupa cerpen, puisi maupun esai dengan kriteria sebagai berikut:

  1. Karya tersebut dari warga asli Malang atau warga luar Malang yang sedang berdomisili di Malang
  2. Karya tersebut telah dimuat di media massa, media daring, majalah, buku, maupun telah dibahas dalam sebuah forum/acara terbuka
    Karya dikirimkan melalui alamat surel [email protected] dengan subjek cerpen/puisi/esai

Karya tersebut akan kami arsipkan secara digital di website https://pelangisastramalang.org

Griya Buku Pelangi adalah Toko Buku yang menyediakan berbagai kebutuhan buku Anda. Banyak pilihan yang kami terbitkan baik dari buku pendidikan dan kesastraan. Untuk pembelian bisa melalui online di Marketplace kami atau kontak kami melalui aplikasi chat yang tersedia.